08| Abstraksi Kontradiksi

Kanvas semesta sudah seperti dituangkan berliter-liter tinta berwarna perpaduan hitam dan biru tua dalam jumlah tak hingga. Awannya seolah menaburkan berjuta kemilau gemintang di setiap penjuru angkasa. Mentari sudah lama meninggalkan garis peraduan. Kegiatan MS pun berakhir sejak satu jam lalu. Akan tetapi, Alfis masih berkeliaran di luar rumah. Sepeda motor yang dikendarainya dalam kecepatan tinggi membelah jalanan yang mulai lengang.

Di balik helm full face-nya, Alfis menatap situasi jalanan kota lurus-lurus. Mesin motor Alfis berderu halus. Alfis teru-terusan tancap gas, meskipun tak tahu akan ke mana tujuan perjalanannya ini berakhir. Sedari awal, Alfis merasa tak ada satu pun tempatnya berpulang di seluruh muka bumi ini. Semesta seolah menolak eksistensinya.

Tak lama, benda persegi di saku celana seragam sekolahnya terasa bergetar beberapa kali. Itu sebuah panggilan. Tanpa merasa perlu mengeceknya barang sejenak pun, Alfis sudah tahu siapa orang yang sedang mencoba menghubunginya itu. Dengan rahang mengeras, Alfis pun turun dari sepeda motornya di halaman rumah bergaya klasik.

Ketukan sepatunya di atas lantai mengisi sunyi yang melingkupi. Sehabis meletakkan alas kakinya di rak secara asal, Alfis bergegas naik ke lantai dua, tanpa memedulikan seorang gadis yang berdiri di salah satu anak tangga, tampak mencoba untuk membuka pembicaraan dengan Alfis. "Uhm, kau sudah pulang?"

Basi. Alfis sudah muak. Lagi-lagi pertanyaan tak bermutu yang sungguh tidak penting untuk diajukan. Alfis memperbaiki posisi tali ransel di pundaknya, lantas berlalu begitu saja.

Masih ada beberapa langkah menuju pintu kamarnya. Akan tetapi, Alfis sudah dihadang seorang pria dengan usia yang sudah menginjak empat puluhan. Beberapa helai uban mulai menghiasi rambut tebalnya. "Dari mana saja, kau? Bukankah sudah kukatakan berulang kali, bahwa mulai jam tujuh malam, kau punya kewajiban untuk kuajari Fisika? Bukan malah keluyuran tidak jelas seperti ini!"

Alfis menengadahkan kepalanya untuk memandang pria itu dengan sorot penuh kontradiksi yang menyimpan banyak luka di baliknya. "Oke, fine. Aku sudah mendengarkanmu sejak belasan tahun lalu! Tidak bisakah giliran kau yang mendengarkanku sekali ini saja? Aku ingin memilih jalanku sendiri."

"Hei, apa-apaan cara bicaramu itu? Apakah Papa pernah mengajarkanmu bersikap tanpa adab dan sopan santun seperti itu?"

"Papa? Berani-beraninya kau menyebut dirimu sebagai seorang papa, setelah mengendalikan setiap sendi kehidupanku dengan aturan omong kosong itu?"

Jantung Alfis berdetak berkali-kali lipat lebih kencang, dari sebelumnya. Tidak, tidak. Bahkan rasanya, setiap sel yang bekerja di bagian peredaran darahnya seakan mau meledak sekarang juga.

"Tentu saja! Aku tidak pernah kau ajari apa pun selain hitungan, digit konstanta, juga rumus-rumus fisika sejak aku belum sampai lima tahun menghirup napas di dunia ini! Apakah Papa pernah mengajariku bicara tanpa adab? Tentu tidak. Karena aku tak pernah diberi kesempatan untuk memilih opsi antara jadi orang beradab atau tidak. Selama ini, kau hanya sibuk memastikan semua hal tentangku tetap berada persis di genggamanmu untuk kau kendalikan seenak hati."

"Itu semua demi kebaikanmu sendiri, Alfis!"

"Kebaikanku? Apakah kau yakin semua itu hanya untukku? Tak ada campur tangan hasrat besarmu untuk memenuhi gengsi dan ambisimu, sebagai orang berstatus fisikawan yang cukup ternama di nusantara?"

Gigi Razfy bergemeletuk, tak tahan dengan emosi di kepalanya yang sudah memuncak. Mukanya merah padam, terlampau geram. "Jaga bicaramu! Semua yang kuputuskan ini demi menjamin masa depanmu! Kau bisa lihat sendiri kakakmu yang Papa bimbing dari kecil. Dia mendapat medali di OSN bidang Fisika tingkat nasional, dan perguruan tinggi ternama dari seluruh penjuru negeri saling berebutan untuk menarik kakakmu di instansi mereka. Kakakmu sudah mau mendaftar ke Princeton University, institut dengan kualitas fisika tertinggi di dunia, yang bahkan tak mampu Papa tembus!"

"Lagi-lagi dia! Mau menjelaskan sampai berbusa sekalipun, aku tak akan pernah bisa menyamai terangnya cahaya yang dia pancarkan di matamu. Kita ini berbeda! Gemintang tetaplah gemintang yang selalu mendapat penolakan angkasa di siang hari. Benar. Mentari pun tetaplah sebuah bintang. Tapi karena kau adalah bumi yang berporos padanya, mau seterang apa pun bintangku di luar galaksi sana, tak akan pernah ada artinya di atmosfermu!"

"Alfis Gamyaga!" Razfy memanggil putra bungsunya berulang kali, mencoba menghentikan Alfis yang sudah melengos berbalik badan lantas kembali menuruni anak tangga. Razfy berteriak, "Mau ke mana lagi, kau? Aku belum selesai bicara!"

Di dekat pegangan tangga, perempuan tadi menahan pergelangan tangan Alfis. Cih, tak ada gunanya. Benar-benar naif. Tanpa perlu mengerahkan seluruh tenaga, Alfis sudah berhasil menghempaskan lengan itu untuk berhenti menggenggamnya sok peduli.

Suatu pengendali haus pengakuan dan seorang aktris yang selalu bertingkah seolah dia mengerti segalanya. Perpaduan yang keren. Fantastis. Kehidupan Alfis selalu menayangkan drama-drama yang saking berkualitasnya, sampai-sampai Alfis tak tahu mana topeng atau sekadar bayangan refleksi.

Indra pendengaran Alfis seakan ditutup kuat-kuat, hingga ia tak mengindahkan satu pun panggilan dari Papa atau kakak perempuannya. Masih dengan seragam melekat dan tas hitam yang belum diturunkan sama sekali dari bahunya, Alfis kembali menaiki sepeda motor yang terparkir di halaman. Di balakangnya, muncullah Razfy yang tak sempat menghentikan Alfis dan hanya bisa berteriak-teriak menyuruh Alfis kembali dengan suara yang hampir habis. Sebelum keadaan makin ricuh, Naya, anak perempuan tadi lekas saja menarik papanya untuk duduk dan menenangkan diri di sofa ruang tamu.

Adiknya butuh waktu sendiri dan mulai beradaptasi untuk memahami berbagai hal. Naya hanya berharap Alfis bisa kembali baik-baik saja, nantinya.

🏅   🏅   🏅

Lagi dan lagi, Alfis menyusuri jalanan sunyi di pinggiran kota tanpa arah yang pasti. Napasnya memburu. Didukung oleh kecepatan motornya yang melesat gila-gilaan. Dunia ini terasa menjemukan di matanya.

Di luar kesadarannya, Alfis malah kembali ke sekitar rumah Mat yang baru ditinggalkannya dua setengah jam lalu. Oke, ini di luar kendalinya. Mau apa Alfis kemari? Untuk bertingkah dan membanggakan diri sebagai seorang anak yang berhasil menentang orang tuanya habis-habisan, lantas meminta tumpangan untuk mengistirahatkan badan dan mengisi perut barang sedikit? Tidak. Menggelikan sekali.

Pada akhirnya, Alfis hanya termenung sendirian di dekat pohon. Lama. Terpekur dalam diam. Mendadak saja, sebuah tangan kecil mencengkeram bahunya erat. Alfis lekas membalikkan badan, dan mendapati Bintang dengan kaus abu-abu rumahan yang dipadu training panjang, tampak penasaran dengan kedua mata terbuka lebar.

"Alfis, ada apa? Kau membutuhkan sesuatu? Oh, apa ada barangmu yang tertinggal di sini?"

Alfis menjilati bibirnya, mencoba menyembunyikan kenyataan bahwa pertanyaan Bintang membuat dirinya cukup gelagapan saat ini. "Uhm, tidak ada."

Bintang mengamati kedua netra abu-abu milik Alfis lekat-lekat, mencoba menelisik ke dalamnya.

Alfis memalingkan muka. Seluruh agen MaFiKiBi Society tahu pasti bahwa kemampuan menganalisis gestur tubuh yang dimiliki Bintang sudah berada di another level. Alfis mencoba menghindar dari pemindaian Bintang.

Akan tetapi, sia-sia. Sensor Bintang terlanjur menyala. "Ah, aku mau antarkan pisang goreng ini ke Mat. Papaku baru pulang kampung dan membawa banyak sekali pisang. Di sana sedang panen besar. Kau harus ikut merasakannya! Ayo!"

Barulah Alfis sadari keberadaan sebuah piring jumbo berisi pisang goreng yang duduk manis di tangan Bintang. Tanpa mampu memberikan penolakan, Alfis pun menurut, menemui Mat yang akhirnya membuka kunci basecamp. Hera hanya mengambil beberapa pisang goreng, sisanya diambil Mat untuk menemani ketiganya di markas, malam ini.

Di tengah lengang yang mengawang-ngawang, Alfis memutuskan untuk mengecek ponselnya. Tampaklah belasan panggilan tak terjawab sejak tadi sore. Alfis mengeraskan rahang begitu membaca nama kontaknya: Kak Nay. Tindakan Alfis yang membanting ponselnya ke atas meja dengan kasar, berhasil menarik perhatian Mat dan Bintang. Alfis tampak tak mampu mengendalikan dirinya lebih lama lagi.

Mat bertanya, "Kenapa?"

Dan, pertahanan Alfis luluh-lantak dalam sejenak. "Mat! Kau ini leader di MS! Bahkan tak tanggung-tanggung, kau sudah dielu-elukan sebagai calon ketua OSIS berikutnya. Di mana ketegasan dan kepemimpinanmu dalam menindak pelanggaran yang Kiano buat?"

Ruangan diisi sunyi sesaat. Kalimat penuh amarah yang terlontar dari mulut Alfis cukup mendadak. Mat hanya memandangi mata Alfis lamat-lamat. Sontak saja, lagi-lagi Alfis memalingkan pandangan. Mat menimpali, "Tidak. Kau tidak bermaksud mengatakannya. Emosi itu tak kau tujukan padaku, bukan?"

Kini, Alfis kembali menatap Mat dengan nyalang dan kedua alis berkerut sempurna. "Apa-apaan maksudmu? Aku sudah menahan ini sedari awal. Kenapa kau tak juga becus menjalankan tugasmu?"

"Aku tahu semua itu hanya pelampiasan, Fis. Jika kau benar-benar marah, kau tak akan pernah melepaskan targetmu dari pandangan, meski sekadar untuk berkedip. Tapi, lihat? Kau malah berkali-kali memalingkan wajah sejak tadi."

Tangan Alfis mengepal kuat. Matanya kini bicara lain, semacam mati-matian menyembunyikan sorot sayu itu. Mat mengulas senyuman hangat. Yeah. Siapa pun tahu, Alfis tidak akan seniat itu dengan kondisinya yang masih berseragam sekolah dan mendatangi Mat selarut ini hanya untuk mengungkapkan ketidaksukaannya terhadap sikap Mat yang dinilai terlalu tenang.

Di pojokan, Bintang ikut tersenyum simpul. Yeah, Alfis memang terlihat berantakan sekali. Perilaku kasarnya yang sok kuat itu tak akan bisa menutupi segalanya. Bintang mengerti. Alfis tidak baik-baik saja.

Mat menarik lengan Alfis untuk kembali duduk di atas karpet. Masih dengan senyuman yang terbingkai di kedua sudut bibirnya, Mat berucap, "Kau butuh tempat untuk pulang, 'kan? It's okay. Tell me. Tell me everything. I'll listen."

🏅   🏅   🏅

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top