07| Bias Polaritas
Waktu terus berlalu tanpa mau menunggu, sementara semuanya sudah tak lagi sama. Agen MaFiKiBi Society masih sering mengadakan program rutin di basecamp, meski tanpa Kiano, dan suasana yang begitu suram. Terserahlah soal Kiano, prioritas utama mereka belajar. Akan tetapi, tanpa bisa ditampik, diam-diam ketiganya merasa bukan ini tujuan MS dibentuk.
"Dua minggu tidak menghadiri jadwal MS tanpa keterangan yang jelas," tekan Alfis, memperbaiki posisi kacamata di pangkal hidungnya. "Well, kalau aku kaptennya, kau sudah kutendang dari Perserikatan MaFiKiBi Society sejak awal, Bung."
Sejenak, Kiano memalingkan atensinya dari buku catatan milik Kalea di atas meja. Kini, tatapannya terarah pada Alfis yang—siapa pun tahu—sedang berada dalam mode iblis. Kiano nyengir lebar, lalu heboh berteriak, "Perserikatan MaFiKiBi Society? PMS! Nice idea! Kau kreatif sekali, Alfis!"
"Jangan mengalihkan pembicaraan."
Mampus. Kiano melayangkan tatapannya ke sana kemari, aduh, ke mana pun asal tidak saling pandang dengan makhluk ganas bernama Alfis itu. Di saat seperti ini, barulah Kiano tertarik mengamati jarum jam di pergelangan tangannya.
Ayolah, bel masuk! Kenapa tak kunjung berbunyi? Selamatkan aku dari persidangan ini!
Ah, masih lima menit lagi. Kiano terlanjur kena mental jika harus terus-menerus mengulur waktu untuk berhadapan dengan Alfis selama itu. Apa boleh buat. Jari telunjuknya teracung. "Ow, yea! Aku akan ikut, pulang sekolah nanti. Tentu saja. Aku tidak akan absen."
Sebelum Alfis mulai bertingkah dengan meminta jaminan dan pertanggungjawaban atas ketidakhadiran Kiano sebelumnya, lekas saja Bintang mndorong punggung kokoh Alfis dengan susah payah. Bintang sampai memejamkan mata dan menggeram untuk memaksimalkan penghayatan pada aksinya. Gadis itu merasa sudah mendorongnya jauh sekali. Akan tetapi, pada kenyataannya, Bintang justru hanya jalan di tempat. Gaya inersia Bintang jelas saja kalah jauh.
Mengenaskan sekali. Karena merasa prihatin, Mat pun memutuskan membantu Bintang dengan menarik lengan Alfis yang masih saja keras kepala untuk bergeming di posisinya. Perlahan, Alfis pun menggeser, meski berontak hebat.
Di tengah kericuhan kelas yang memang sedang jam istirahat itu, Alfis memperparah ingar bingar dengan teriakan kencangnya. "Hei, apa-apaan? Tunggu! Aku belum memberinya pelajaran! Oi, Kiano! Jika kau memang gentleman yang berbudiman seperti katamu, buktikan bahwa kata-katamu konsekuen dan bisa digenggam erat!"
"Cukup, Fis. Kiano sudah bilang akan hadir, nanti, 'kan? We'll see it. So, chill out."
Kalimat menenangkan dari Mat tidak lantas membuat Alfis jinak. Anak itu hanya mendengkus sebal karena Mat berhasil membuatnya diam di pojokan. Dengan tatapan keki, Alfis menyilangkan kedua tangan di depan dada.
Sementara itu, Bintang mendekati Kiano dan mengintip apa yang sedang dikerjakan Kiano sedari tadi di atas buku catatan. "Eh, apa ini? Seorang Kiano Aldebaran, masternya Chemistry, belum mengerjakan tugas Kimia dari Miss Syarah di pertemuan sebelumnya? Impossible!"
Kiano langsung menutupi buku, lantas memutar kedua bola matanya, malas. Sudahlah, Kiano terlambat menyadari. "Ini tugas Kalea. Dia kesulitan mempelajari cara menyetarakan persamaan reaksi. Sebagai pacar idaman, aku membantunya."
Sejenak, Bintang membiarkan keheningan mengisi di antara keduanya. Bintang menatap Kiano penuh kegamangan dan tanda tanya. "Eh, terus di mana, Kalea-nya? Bukannya dia yang mau belajar materinya? Kenapa kamu malah ditinggal?"
"Yah ... Kalea tak sempat sarapan, tadi pagi. Perutnya perlu diberi amunisi biar bisa belajar."
Kok begitu? Bagaimanapun, tujuan Kiano hanya membantu Kalea agar lebih mendalami pemahamannya di materi Kimia, bukan malah pergi seolah lepas tangan begitu saja. Bintang sangat ingin mempertanyakan tindakan Kiano yang menurutnya irasional.
Namun, bisa mendengar kesanggupan Kiano untuk hadir di markas nanti sore, membuat Bintang tak mau menghancurkan mood Kiano. Punya kesempatan berinteraksi seperti biasa saja sudah menjadi suatu kemajuan yang impresif. Pada akhirnya, kalimat yang keluar dari Bintang hanyalah oh panjang.
Tak mau memusingkan hal-hal seperti itu, Bintang langsung meraih kemasan keripik kentang yang menjadi satu-satunya hal menarik di atas meja Kiano. Tanpa aba-aba, Bintang menyobek kemasan plastik itu, lalu menjejalkan lima keping isinya sekaligus ke dalam mulut.
Kiano mangap lebar, lalu menyembur rempong, "Oh, God .... Bintang! Itu Chitato-nya Kalea! Aku kasih itu pas masuk jam istirahat, lalu dia menitipkannya di sini selagi dia mau ke food court dulu bareng Nahda dan teman-teman basketnya dari kelas sebelah!"
"Eh, masa iya?" Sesaat, Bintang mengedipkan mata penuh keheranan dalam frekuensi yang terbilang singkat. Tatapannya bergantian antara muka nelangsa Kiano dan bungkus makanan ringan di tangan. Bintang tampak berpikir cepat. "Well, kesejahteraan perut nomor satu. Kiki beli lagi saja, ya, buat Kalea."
Sontak saja Kiano menggelepar lemas di atas kursinya. "Minta duitnya, dong, Tante."
Bintang menandaskan keripik kentang terakhir di mulutnya, lantas memasang wajah yang penuh simpati dan keprihatinan. "Ah ... hidupmu menyedihkan sekali, anak muda. Kasihan. Aku turut berbelasungkawa, ya. Yah, karena aku teramat baik hati dan tidak sombong, selalu peduli pada setiap makhluk bumi sampai alien sekalipun ... ini, kuserahkan ini sebagai donasi. Oh, tidak, tidak. Kau tak perlu berterima kasih untuk itu."
Tangan Kiano terangkat untuk menerima kemasan Chitato yang disodorkan Bintang, lalu melemparnya gusar ke sembarang arah setelah mengecek isinya yang melompong. "Ini, sih, kawananmu, Bi. Sama-sama sampah, Kelabang Ngambang!"
"Eiy, jangan asal bicara. Apa kau tahu, plastik Chitato ini bisa didaur ulang atau dijadikan tempelan suatu kerajinan sebagai hiasan yang estetik? Ha. Jelas saja itu lebih baik daripada sampah masyarakat sepertimu. Beban negara dan keluarga!"
🏅 🏅 🏅
"Welcome home, Bestie." Bintang bertepuk tangan, heboh sendiri. "Lihat! Betapa mengkilapnya lantai dan karpet basecamp MS tanpa remahan dan bau kaus kakimu yang biasanya merebak setiap membuka pintu. Ayo ucapkan salam!"
Layaknya seorang anak PAUD yang diberi aba-aba oleh gurunya, Kiano melambai-lambai semangat, dengan berjuta kenarsisan yang tentu saja selalu mendampingi, tidak seperti kewarasannya yang malah tertinggal jauh di rahim bundanya. "Halo, properti-properti MS! Merindukanku? Tentu saja. Lelaki paling keren dari ujung ke ujung semesta, ada di sini!"
Seperti biasa, keempatnya menyimpan tas di pinggiran karpet. Setelah duduk dan meregangkan badan, Mat dan Alfis sudah mengeluarkan alat tulis lebih dulu. Sementara itu, Kiano masih asyik menampilkan bakat tengilnya: mengelus setiap senti markas dengan penuh perasaan.
Langkah Kiano terhenti di dinding dekat lemari. Telunjuknya teracung menunjuk suatu titik di sana. "Oh! Bukankah ini upilku dua minggu lalu? Sudah mengering! Ini benda paling monumental di seisi ruangan MS, harus dimuseumkan!"
Bintang berlagak muntah, menjijikkan. "Buang, sana!"
"Hah, apa? Kau menginginkannya, Bi? Tak masalah. Aku bisa memproduksi upil baru, sekarang juga." Jari kelingking Kiano sudah mantap mengeduk-ngeduk asetnya di lobang hidung. "Mau ditempel di sebelah mana? Ah, dahi lebarmu tidak buruk. Singkirkan dulu poninya!"
Was-was, Bintang langsung bangkit dan sembunyi di balik punggung Mat. "Ya ampun, Ki! Tingkat kejorokanmu itu apa tidak bisa diminimalisir untuk beberapa saat? Ih, Mat! Kau menemukan artis margasatwa yang tersesat ini dari mana? Ayo kembalikan ke habitat aslinya! Bahaya!"
Kiano menghentikan kegiatan nikmatnya, lantas mengangkat kedua alis tak terima. "Hei, Bi! Apa-apaan maksudmu itu? Bukankah kita sama-sama Tim Pelestarian Upil? Aih, mengaku sajalah! Selain biologi yang sudah jadi kewajiban mutlak, kau juga hobi mengupil, 'kan!"
"Tentu saja! Tapi aku menyentil upilnya hingga tak merekat kuat di dinding sepertimu. Upilku punya malu, sembunyi di pojokan. Kau jauh lebih menjijikkan!"
Demi mendengar pengakuan secara tidak langsung itu, Mat refleks mengusap wajahnya yang terasa kebas. "Astaga, Bi .... Cukup."
Alfis yang masih sensitif hanya membuka buku paketnya dengan totalitas, menghasilkan bunyi kertas yang tidak santai. "Kita fokus ke UTS lebih dulu. Don't waste your breathe. Kontrak waktunya sampai pukul tujuh malam saja, kita masih harus mendalami materi bidang olimpiade masing-masing di rumah."
Teringat sesuatu, Kiano menyela, "Ah. Aku akan izin jam setengah enam sore. Mau jemput Kalea di RachMart."
Seketika, alis tebal Alfis berkedut tidak suka. Bintang memejamkan mata. Habislah. Alfis mengeluarkan sarkasmenya. "Kau tukang ojek pribadi anak itu?"
"Aku pacarnya."
Bintang sudah menghantamkan kepalanya berulang kali pada permukaan keras meja. Bodoh. Kiano bodoh. Bagaimana bisa dia sesantai itu menantang maut? Alfis membalas, "Kau mempertahankan hubungan omong kosong itu?"
Tak mau kalah, Kiano melayangkan tatapan nyalang. Wajahnya merengut sebal. Sungguh. Tak ada satu pun dari agen MS yang pernah melihat Kiano semarah itu. "Atas dasar apa kau merasa berhak mengatur kehidupanku?"
"Wait, wait." Sebelum suasana sungguhan meledak, Bintang lekas pasang badan di antara keduanya. "Uhm, Ki. Mungkin ... anu. Alfis hanya ingin mengingatkanmu agar tidak terlalu jauh menapaki jalan itu sendirian. Selama ini, kita melangkah bersama, bukan? Jika kau memisahkan diri, bukankah ada kemungkinan ada jurang atau perangkap di depan sana?"
Tatapan menusuk itu kini sempurna terarah pada Bintang. Suatu pemandangan yang tak pernah Bintang saksikan sebelumnya. Itu ... bukan Kiano. "Apa-apaan? Kau menganggap hubunganku dengan Kalea hanya akan berujung sebagai suatu kesalahan? Lawak sekali."
"Tidak, tidak begitu. Maksudku ...."
"Bintang, kau menyuruhku untuk istirahat sejenak, sewaktu di bawah langit senja kala itu, ingat? Dan biar kuberitahu, Kalea adalah tempatnya."
Detik berikutnya, Kiano kembali menggendong ransel di punggung. Lantas, suara debum pintu yang ditutup kasar itu menyisakan keheningan tidak menyenangkan di ruangan.
🏅 🏅 🏅
"Siapa namamu?"
"Kiano Aldebaran."
"Apa statusmu?"
"Pacarnya Kalea."
"Apa tugasmu?"
"Mengerjakan semua tugas pacar."
"Good boy."
🏅 🏅 🏅
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top