05| Transfigurasi Presensi
Like other people say, time flies, so fast.
Mat melirik kalender duduk di atas meja belajarnya. 7 Februari 2021. Sebelumnya, anak MaFiKiBi Society sudah mencoretkan bulatan tinta merah di tanggal 4 Juni, yang berdasarkan pemantauan pengumuman Kemendikbud di internet, adalah hari-h pelaksanaan KSN, Kompetisi Sains Nasional—yang dulunya bernama OSN. 116 hari lagi, atau berkisar hampir empat bulan. Pelaksanaan program MaFiKiBi Society harus lebih intensif, mulai saat ini.
Hari masihlah gelap gulita. Mentari belum juga memunculkan dirinya di batas garis cakrawala. Mat bangkit dari posisi berbaringnya di atas kasur, lalu membuka gorden untuk mengamati angkasa dengan lebih leluasa. Digesernya jendela lebar-lebar. Angin sejuk pagi buta langsung menyapa setiap senti wajahnya. Namun, kedua netra hitam legamnya masih terpaku mengamati gemintang yang berkelip, tampak berusaha keras untuk menampilkan eksistensinya di antara langit kelam.
Sebelum pikirannya terus menjelajah hingga lupa pulang, Mat lekas menggelengkan kepalanya sekilas. Baiklah. Jika meninjau jadwal pembelajaran di sekolah yang dikirim Bu Mastati, wakasek kurikulum Persatas yang terbilang masih berada di usia muda, kemungkinannya, KSN dan Penilaian Akhir Tahun akan diselenggarakan dalam waktu bersamaan. Mereka harus bisa survive dan mempertahankan stabilitas pelaksanaan kegiatan belajar untuk keduanya, harus seimbang dan maksimal. Olimpiade memang menjadi tujuan utama MaFiKiBi Society, tetapi mengorbankan nilai PAT bukanlah suatu hal yang layak dipilih.
Selain itu, ada Penilaian Tengah Semester di pertengahan bulan Maret. Ah, mereka akan memprioritaskannya lebih dahulu.
Mat mengambil handuk yang tergantung untuk dilingkarkan di lehernya. Dilewatinya dinding yang dipenuhi tempelan kertas bermuatan rumus-rumus dan beberapa teori Matematika, hasil dari pencariannya sejak bertahun-tahun lalu. Tak perlu waktu lama, Mat sudah bersiap berangkat sekolah. Mulutnya dijejali beberapa lapis roti isi selai kacang yang sudah disiapkan mamanya.
Jarum jam dinding masih menunjukkan pukul enam pagi. Akan tetapi, Mat sudah mengantungi kunci motornya, berpamitan pada Hera, lalu memasuki rumah sebelahnya yang hanya berjarak empat belas langkah bagi kaki panjang Mat. Yeah. Saking seringnya melakukan perjalanan kilat ini, Mat sampai hafal setiap titik di tanah yang selalu diinjaknya, sehingga empat belas langkah itu tak pernah berubah sekali pun.
Sesuai prediksi Mat, Bintang masih sibuk bersenang-senang di alam mimpi. Mamanya menyuruh Mat masuk dan membangunkannya dengan tenaga dalam. Baru menginjakkan kaki di dalam rumah yang tak begitu besar itu, mamanya Bintang langsung mendorong punggung Mat ke dalam kamar Bintang.
"Terima kasih, Mat! Ibu akan merasa sangat terbantu jika Mat mau menggantikan profesi Ibu sebagai alarm berjalan Bintang, saat ini. Anak itu kebo sekali, memang! Oh, lihatlah! Kebonya Pak Haji Amir bahkan jauh lebih rajin darinya, sudah produktif membajak sawah sejak pagi buta tadi. Ibu sudah bangunkan Bintang berkali-kali sampai cibay kesukaan Bapak hampir gosong. Cobalah, Mat! Ibu mau kembali mengecek kompor, mohon bantuannya!"
Mat mengiya-iyakan saja, singkat. Wulan, mamanya Bintang itu, kini sudah menghilang di balik gorden kamar Bintang. Mat menganalisis sekitar. Kamar sempit yang isinya hanya sebuah kasur lantai untuk seorang, lemari plastik setinggi dada, juga meja kecil yang dipakai sebagai tempat penumpukan buku. Di sudut-sudut juga ada buku dan alat tulis yang tergeletak sembarangan. Makhluk serampangan, memang. Jiwa perfeksionis Mat sungguh tak kuat lagi untuk merapikannya. Akan tetapi, dia datang kemari bukan untuk menjadi pembantu tanpa bayaran.
Di atas kasur lantai, spesies akhlak-less itu tergolek sewenang-wenang dengan posisi abstrak. Kakinya melintang hingga tak lagi di atas kasur, kepalanya menengadah tanpa alasan, dengan satu tangan teracung ke udara, dan tangan satunya lagi tampak menopang dagu, persis seperti model yang sedang berpose sebagai salah satu penghuni rumah sakit jiwa. Uhm, baiklah. Posisi tidur Bintang adalah suatu hal yang cukup sulit untuk dideskripsikan. Mat sampai berpikiran bahwa Bintang selalu epilepsi atau ... ya, semacam kerasukan, setiap kali terlelap dalam tidur.
"Bi, Bintang! Hei, bangunlah." Sebagaimana pengalaman eksperimen Mat selama bertahun-tahun dalam membangunkan Bintang—yep, seharusnya Mat sudah dapat lisensi atas banyaknya pengalaman buruk itu—kelembutan dari seorang soft boy sepertinya tidak akan pernah sukses mengembalikan Bintang ke alam sadarnya. Terusik sedikit pun tidak.
Mat pernah meneliti berbagai upaya dalam membangunkan Bintang, dulu. Hasilnya, ada tiga tahapan dalam menjalani prosesnya. Fase pertama adalah kalimat seperti tadi. Dari kejauhan saja, tak apa. Dan memang selalu akurat, bahwa di tahapan ini, Bintang tak akan bergerak semili pun.
Mat bersiap menjalani tahapan kedua dengan menarik guling yang ditindih kaki Bintang, lalu menghantamkannya berulang kali pada muka Bintang. Tetap, tak ada respons. Guling hanya membuat suara dengkurnya teredam beberapa saat, juga menciptakan mahakarya basah dan lengket dari dagu Bintang, di guling.
Berikutnya, tahap terakhir. Mat berjongkok, lalu berbisik tepat di daun telinga Bintang. "Kapten Levi sudah kembali ke pangkuan Ilahi, menyusul Komandan Erwin."
"Tidak!" Bintang tersentak, lalu langsung bangkit duduk tanpa sadar.
"Selamat datang kembali setelah berpetualang di alam mimpi sana! Bagaimana penilaian perjalanan kali ini?"
Sesaat, Bintang mengerjap-ngerjap, kesulitan. Kelopak matanya terasa lengket oleh belek yang menumpuk. Bintang mengusap iler di sudut bibirnya, oleh-oleh berharga yang didapatnya dari destinasi ke dimensi mimpi. Bintang menoleh ke arah Mat sejenak. "Ah, ternyata cuma Mat."
Lagi dan lagi, Bintang malah kembali membaringkan tubuhnya dengan mata terpejam, tepat menindih selimut birunya. Kasihan selimut itu, di sini diperlakukan semena-mena. Mana masih muda. Tak menyerah, Mat langsung menyeret selimutnya, Bintang pun terbawa. Akan tetapi, matanya tak kunjung terbuka, meskipun tangan Bintang sudah terantuk dinding dan lemari berkali-kali. Mat mengancam, "Bi, aku jadikan kamu sebagai umpan titan, ya."
Bintang meregangkan tubuhnya, malas. "Baiklah, baiklah. Turunkan aku."
"Pantas saja Ibu mau menyerah dalam membangunkanmu, Bi. Tidurmu sudah seperti sampai ke isekai. Tsk. Bangun saja sendiri. Aku mau menghabiskan cibay Ibu di dapur."
Bintang melotot, tak peduli meski belek dan ujung poninya yang sudah panjang malah menusuk mata. "Mama bikin cibay?"
Tak perlu konfirmasi Mat, Bintang sudah berlarian ke dapur. Tanpa sikat gigi, atau mencuci muka, Bintang langsung menjejali mulutnya dengan tiga buah gorengan itu. Wulan mengomel, lantas barulah Bintang masuk ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Di sisi lain, Wulan menawari Mat untuk ikut merasakan cibay buatannya. Baru saja Mat mencomot satu, dari kamar mandi sudah terdengar teriakan.
"Hei, jangan macam-macam, ya. Aku yang memegang hak milik sepiring cibay itu!"
Sebal dengan kelakuan putrinya, Wulan turut menimpali dengan teriakan lain. "Baiklah. Mama tinggal buatkan tiga piring lagi untuk Mat."
"Ih, Mama! Jangan, dong. Bintang sayang Mama, lho!"
Mat hanya menahan tawa. Yea, another normal day for an abnormal creature like Bintang Rasi.
🏅 🏅 🏅
Jam olahraga, satu-satunya pelajaran yang membuat seorang ambis macam Bintang memilih untuk melambaikan tangan ke kamera, seketika. Hopeless. Suatu mata pelajaran yang tak punya harapan di rapornya, dan diyakini Bintang sebagai faktor penyebab terbesar dari kekalahannya di KIPAS MATI.
Di pojokan depan daun pintu kelas, Bintang meringkuk pasrah. Minggu ini, mereka mempelajari basket. Itu tidak apa-apanya jika hanya belajar teori—kelebihan Bintang. Akan tetapi, kalau harus praktik ... sungguh, itu jauh lebih mengerikan dari film horor mana pun.
Berbanding terbalik dengan Bintang, di tengah lapangan, Kiano justru bersemangat sekali, tampak berkali-kali melakukan peregangan. Jika dinilai dari kemampuan fisik, jelas saja makhluk cacingan yang hobinya kentut dan cosplay jadi pasien rumah sakit jiwa itu menang banyak. Apalagi, Kiano memang ikut klub basket, meskipun jarang hadir dan hanya tumpang nama.
Anak lelaki di kelas X MIPA-1 sedang bertanding dengan siswa XI MIPA-5. Mat mengenali seorang kakak kelas berperawakan tinggi dan jadi alasan di balik sorakan makhluk betina dari kelas-kelas yang jam kosong. Namanya Melvin, atasan Mat. Semenjak kepindahannya ke Persatas, Melvin langsung diangkat jadi ketua departemen kedisiplinan untuk menggantikan kekosongan yang ditinggalkan Hilwa.
Begitu pertandingan sudah mencapai kuarter empat dengan skor masing-masing yang seri, Alfis mengoper bola kepada Kiano yang bebas penjagaan di bagian sentral lapangan. Tanpa basa-basi, Kiano melakukan three-point shoot dari titik itu. Tim lawan terheran-heran, tak memprediksi sedikit pun bahwa Kiano akan menembak dari jarak sejauh itu. Namun, Bintang yang menonton malah ingin muntah tiga ember.
Pasalnya, belum juga basket itu memasuki ring, Kiano sudah mengedarkan pandangan ke sana-sini sambil melambai-lambaikan tangan dan melayangkan flying kiss pada kerumunan anak perempuan di lorong-lorong kelas yang sebenarnya ingin melihat ketampanan Melvin, bukan kenarsisan kutu betutu macam Kiano. Untunglah bola masuk, menghasilkan skor baru bagi kelas Kiano, sukses meruntuhkan keseimbangan poin satu sama lain. Kalau tidak, Bintang akan pastikan Kiano sudah dibuang ke segitiga bermuda.
Pak Uzaz meniupkan peluit panjang, tanda pertandingan sudah berakhir. Time's up. Kiano berselebrasi, makin menjadi. Tampang songongnya seolah mengatakan, 'Hey, look at me. I'm the MVP!'. Bintang dan anak perempuan lainnya yang menonton pun mengapresiasi Kiano dengan lemparan botol-botol minuman kosong. Kiano kabur, berlindung di balik punggung Mat.
"Nice shoot!" Seruan seorang gadis di dekat tangga sukses merebut segenap atensi Kiano. Tampaklah Kalea, dengan hand band hitam khasnya. Kiano mendekat, dan Kalea kembali melanjutkan kalimatnya. "Juga nice kill! Kau menjadi penyelamat tim di detik-detik terakhir, dan ... hei, itu melawan kelas sebelas! Keren sekali."
Sesaat, Kiano tak mampu menahan cengiran tengilnya lebih lama lagi. "Ow, interesting. Biasanya, segerombolan fans-ku di setiap penjuru semesta selalu membahasakan kekaguman mereka dalam bentuk ... yeah, sebaliknya, seperti botol-botol penuh cinta dan penghormatan tadi. Mereka semua tsundere. Kau ... kode Nomor Induk Ke-penggemar-an keberapa ribu? Bisa kulihat Kartu Tanda Penggemar-nya? Kau cukup langka. Satu-satunya wanita hebat yang berani mengutarakan kekagumannya padaku. Jika berkenan, kau akan kuangkat menjadi fans nomor dua, setelah Bintang."
"Ah, suatu kehormatan bagiku." Kalea mengikuti permainan Kiano, suatu hal yang membagongkan. "Oh, bukankah kau masuk klub basket juga, sepertiku? Kenapa kau jarang sekali ikut latihan? Padahal skill-mu sudah mantap! Kau tinggal mengembangkannya saja. Aku cukup yakin, kau bisa jadi pemain inti, shooting guard mematikan!"
"Yaaah ... aku punya banyak jadwal." Untuk uwu-uwu bersama Kimia dan menonton setumpuk watchlist anime di laptop demi memenuhi asupan halu, lanjut Kiano dalam hati. "Tapi aku masih bisa menyesuaikannya dengan situasi. Aku punya skala prioritas yang tersusun sistematis."
"Hm, tampaknya kau tipikal lelaki yang selalu mendahulukan orang tersayangmu. Well, beruntung sekali orang itu."
Mendengar itu, sontak saja Kiano menyugar poni rambutnya ke belakang, sok jantan. Matanya terarah pada sosok kekar Pak Uzaz yang sedang menginstruksikan beberapa peraturan pada anak perempuan yang akan mencoba pertandingan, selanjutnya. Bintang tampak di sana, pasrah dan tak bertenaga. Payah. Kiano melintangkan cengiran lebar. "Yep! Tentu saja. Mengapa? Apa kau mau mendaftarkan diri?"
Selagi Kiano tergelak heboh, Kalea melontarkan kalimat singkat yang membuat kehidupan Kiano terasa jungkir balik: "Why not?"
A-apa ini? Tidak, tidak. Ini bukan jawaban semestinya. Bukan sekali-dua kali Kiano mengatakan hal yang sama pada orang-orang. Respons sewajarnya adalah dengan makian, sumpah-serapah, dan pandangan ilfeel ... bukan begini! Kiano refleks menyentuh dadanya sendiri, memastikan jantungnya masih berdetak secara normal. "Are you kidding me?"
"What? Nope. Obviously, not. It's serious. What's wrong about that idea?"
Kiano tak mampu berkedip. Rasanya, baru kali ini ia menemukan seseorang yang menatapnya sedalam itu. "Be mine!"
🏅 🏅 🏅
Jam olahraga sudah berakhir. Tim putri dari X MIPA-1 kalah telak. Tentu saja. Perbedaan yang teramat jomplang. Di XI MIPA-5 ada Sabrina, kapten tim basket putri Persatas, mana bisa mereka berkutik! Apalagi Bintang, kerjanya hanya lari-lari ke sana kemari, lantas berkali-kali malah terpental jatuh karena tubuhnya yang kelewat ringan dan kekurangan tinggi badan. Mat susah payah menahan diri untuk tidak menertawakan Bintang. Kini, keduanya terpisah karena habis ganti baju ke seragam batik. Pelajaran selanjutnya Sejarah Indonesia.
Bintang baru masuk kelas dan menyimpan seragam olahraganya di tas, ketika salah satu kakak kelas yang tadi bertanding dengan kelasnya mengetuk pintu, lalu menyembulkan kepalanya. "Ada Dematra, Alfis, Bintang, dan Kiano? Dipanggil Bu Enden."
Tak merasa perlu menunggu Mat dan Alfis yang masih sibuk dengan minuman masing-masing, Bintang keluar kelas.
Bintang bisa mendengar kakak kelas itu mengeluh, "Sial. Kenapa aku malah ke ruang ganti lewat ruang inspirasi, sih? Jadi babunya Bu Enden, 'kan! Habis ini, mesti ke kelas MIPA-3, pula. Hm, apa kata Pilar kalau tahu malah aku yang masuk tim olimpiade Matematika? Aku harus mengundurkan diri."
Mendadak, spesies tengil sejenis Kiano yang sedang nikmat mengupil di kelokan lorong pun mengacungkan tangan tinggi-tinggi, lalu berteriak pada kakak kelas di hadapan Bintang. "Oi, Lun!"
"Ken AlvaRongsok! Bisakah kau kalem sebentar saja? Mau sampai kapan eksistensimu yang mengenalku itu menjatuhkan image-ku sebagai seorang senior? Perhatikan baik-baik, ini lorong adik kelas!"
Bintang mengabaikan adu argumen tak penting itu, lantas ke ruang guru lebih dulu. Mat dan Alfis menyusul. Bu Enden tampak sudah menunggu, langsung memberitahu intinya. "KSN empat bulan lagi. Kalian Ibu tunjuk sebagai tim delegasi sekolah. Ah, apa ada yang belum datang?"
Mat menyenggol Alfis dan Bintang yang berdiri di kanan-kirinya. "Kiano mana?"
🏅 🏅 🏅
Woaaa, ada Ken dan Luna dari Detik Detak! Udah baca, 'kan?:3
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top