03| KIPAS MATI

"Jika kita berada di planet berbeda dengan bidang masing-masing, maka kita anggaplah setiap planet dalam semesta antara kita berempat memiliki gaya gravitasi yang berbeda-beda. Jika soal nomor satu adalah V1 sebagai titik awal di mana sebuah benda terjatuh, maka gravitasinya adalah m/s, dengan m adalah jumlah soal yang terjawab benar, dan s adalah jumlah keseluruhan soal. Pemenang dari misi kita adalah yang gaya gravitasi planetnya paling besar. Dengan kata lain, tentang siapa yang nilainya paling mendekati sempurna, sebagai titik pusat sumber gravitasi."

Penjelasan panjang lebar Alfis diakhiri dengan anggukan kepala Mat. Saat ini, mereka berempat tengah berembuk dalam posisi melingkar, dengan masing-masing lengan saling berangkulan di pundak satu sama lain. Sudah seperti sebuah tim di kejuaraan sepak bola saja. Tanpa sadar, cengkeraman tangan mereka di bahu yang lainnya bertambah kencang, berniat mengintimidasi tanpa bahasa.

Lima menit lagi sebelum bel untuk pelajaran pertama di PAS ini berbunyi. Selain mengisi amunisi perut di food court Persatas, sebagian besar siswa memenuhi setiap jengkal lorong kelas masing-masing. Buku paket di tangan. Mata mereka terpejam. Khusyuk sekali menghafalnya, sampai terkantuk-kantuk dan hampir saja disambut setan yang terkutuk di gerbang perbatasan menuju alam mimpi. Semua atensi di sepanjang lorong itu seketika terpusat pada kumpulan anak MaFiKiBi Society yang lagi-lagi bertingkah mencolok. Tepat di depan ruang 08, ruang ujian bagi siswa X MIPA-1 dengan nomor absen satu sampai sepuluh, seorang perempuan dengan hand band khas berwarna hitam di pergelangan tangannya mengamati empat orang kurang waras itu dalam diam.

Teman perempuannya yang baru tersadar dari tidur lelap, kini mengedarkan pandangan ke sekitar untuk beradaptasi. Dia mengusap iler yang meleleh di sudut bibirnya dengan punggung tangan, lalu mengelapkannya pada Cewek Hand Band tadi. Sebelum korban menyadari aksinya, segera saja perempuan itu menyenggol Cewek Hand Band, mengalihkan perhatian. "Eh, eh. Kalea, itu Empat Bajing Loncat Berkarat sedang apa lagi?"

Cewek Hand Band yang teridentifikasi bernama Kalea itu mengedikkan bahu, tak peduli. "Tentu saja ritual, seperti biasa, 'kan? Waktu mau PTS juga begitu, Da. Makanya, jangan tidur melulu! Namanya ... apa, ya, mereka bilang ... Amfibi Society?"

"Amfibi? Hidup di dua alam?" gumam Nahda. Kedua alisnya mengerut, berusaha mencerna informasi yang diterimanya. "Masa iya? Mereka titisan katak zuma?"

Kalea berkali-kali mengibaskan tangannya di depan hidung, tak lupa diiringi batuk-batuk heboh. "Diam sajalah, kau. Aduh. Bau jigong! Cuci muka dulu, sana, sebelum UAS mulai, terus disuruh masuk kelas!"

Setelah sukses mengusir keberadaan Nahda dalam radius lima meter lebih dari posisinya, Kalea akhirnya melirik anak MaFiKiBi Society sekali lagi, lalu mengecek notifikasi yang muncul di ponselnya. Sementara itu, di pojokan lorong, empat makhluk absurd tadi masih tenggelam dalam dunia mereka sendiri.

"Tatakae!" geram Kiano, menekankan suara penuh kesumat sekaligus hasrat untuk memenangkan perang kali ini.

"Baiklah. Sejak terakhir kali perang di PTS sebelumnya, kita sudah berteman baik dan saling mendukung perkembangan satu sama lain, selama full setengah semester."

Bintang menyambung kalimat Mat, "Akan tetapi, di sini, hari ini, di ruangan ujian kali ini, kita kembali lagi menjadi rival. Kita sama-sama bertarung demi meraih kemenangan di semester ini. Mohon maaf saja, Bung. Tapi selama dua minggu PAS hingga pembagian rapor nanti, perang masih terus meletus di antara kita."

Keempat orang itu kompak memicingkan mata, mulai mengamati garis start tak terlihat di hadapan mereka, persis seperti seorang pemburu yang tengah mengunci target. Mat tambah membungkuk. Selain berempati pada Bintang yang tampak tenggelam di antara ketiga lelaki berbadan tiang di kiri-kanannya, Mat juga ingin menambahkan suasana rivalitas sengit di sana. "Bagaimana persiapan kalian? Sudahkah kalian menggenggam persenjataan masing-masing, Soldiers?"

"Yes, Commander!"

"Mental kalian?"

"Siap, Commander!"

"Dan bagaimana kesepakatan kita? Juara di akhir semester hanya bisa diraih oleh satu orang saja. Ketiga agen MaFiKiBi Society yang dapat nilai paling rendah di antara kita, akan mengorbankan apa?"

Bintang mengambil pose hormat, dengan kepala yang menengadah ke langit-langit lorong. Berusaha menguatkan hati, Bintang menjawab, "Mi ayam pangsit!"

Mendapat tolehan kepala dari Bintang membuat Kiano mengangkat tangan, gilirannya hormat. Dengan berjuta-juta kenarsisan dan kepercayaan diri tingkat akut, Kiano berteriak lantang, "Batagor Mang Dod!"

Kiano menoleh ke arah Alfis, yang langsung dibalas hormat juga. "Fresh milk!"

"Lontong sayur," sambung Mat, orang terakhir yang mengambil pose hormat. Detik berikutnya, tangan mereka serempak turun, kembali ke samping tubuh. "JAIMS, Janji Ikrar Suci MaFiKiBi Society?"

Alfis, Bintang, dan Kiano mengikuti gerakan Mat, serempak mengacungkan tangan terkepal ke udara. "JAIMS! Janji Ikrar Suci MaFiKiBi Society!"

"Semangat RSJ! Ranking satu, Sportif, dan Jujur! RSJ harga mati!"

"RSJ harga mati!"

"RSJ harga mati!"

"RSJ harga mati!"

Sehabis ritual ala pejuang itu, mereka kembali membentuk formasi melingkar dan mencengkeram bahu satu sama lain. "Baiklah. Dengan ini, KIPAS MATI, Kompetisi Penilaian Akhir Semester MaFiKiBi Society ...." Mat melirik jam di pergelangan tangannya. Pukul tujuh tepat. Bel bergema di setiap penjuru sekolah. Persis seperti tiupan peluit wasit di kejuaraan bergengsi, atau seruan kencang tanda perang sudah meletus. Mat mengeraskan rahang. "Resmi dimulai. Maju, Soldiers!"

🏅   🏅   🏅

Jika ada suatu hari di mana seluruh agen MaFiKiBi Society benar-benar berada dalam fase bermusuhan paling ekstrem, maka itu adalah hari ini: hari pembagian laporan hasil belajar anak-anak dalam satu semester. Setelah dua minggu menggeluti PAS, dua minggu untuk remedial dan jam kosong dengan berjuta kenikmatannya, tibalah hari ini.

Jika tingkat perdamaian MaFiKiBi Society dilambangkan dalam diagram cartesius, di mana semakin besar nilai y-nya mewakili semakin tingginya tingkat kedamaian, maka di hari ini, nilai a dari notasi fungsi kurva tersebut lebih dari nol. Tidak lain dan tidak bukan, kurvanya terbuka ke atas, dengan titik optimum yang berupa titik minimum. Amat-sangat-kacau.

Mat dan Bintang masih pulang-pergi ke sekolah berbarengan, boncengan di sepeda motor, seperti biasa. Ah, rasanya baru kemarin mereka naik angkutan umum bersama di masa-masa SMP. Bintang menggelengkan kepala berulang kali, mengusir memori yang sudah berniat kembali hinggap dan memancing Bintang untuk membuka percakapan. Tidak bisa. Tidak bisa dibiarkan!

Di sisi lain, Alfis dan Kiano berangkat ke sekolah dengan sepeda motornya masing-masing. Well, empat minggu ini mereka berempat bertingkah seolah tak mengenal satu sama lain. Markas mereka di halaman depan rumah Mat pastilah bersih kinclong karena tak lagi dikunjungi makhluk-makhluk menyebalkan yang selalu menyampah dan mencemari pemandangan. Ah, bahkan Kiano yang no halu no life pun sungguhan menahan diri untuk tidak berbicara dengan Bintang, meski untuk menanyakan kondisi kebucinan pada spesies gepeng kecintaan mereka, atau sekadar merekomendasikan anime yang keren sekalipun.

Keempat orang itu berada di kelas yang sama, duduk di bangku yang berdekatan, tetapi mereka tampak fokus dengan pikirannya masing-masing. Infokom sekolah mengumumkan instruksi untuk berkumpul di lapangan. Detik itu juga, mereka bangkit bersamaan. Alfis melepas earphone yang sedari tadi hanya memperdengarkan nada dan nyanyian sunyi di telinganya. Tanpa memedulikan keriuhan sekitar, mereka turun dari lantai dua.

Di lorong teduh pinggir lapangan yang berdekatan dengan tiang bendera, tampaklah kedua guru muda kebanggan Persatas: Ayie dan Elis. Keduanya baru saja mengecek performa mikrofon di tangan masing-masing. 'Pengumuman peraihan nilai paralel', itu yang bisa disimpulkan dari pembukaannya.

"Untuk tingkat kelas sebelas, juara ketiga, dengan perolehan nilai 91.4, atas nama ... Elenio Saputra, XI MIPA-5!" Lelaki dengan tampang menyeramkan itu muncul dari keramaian, melintasi lapangan. Juara kedua dan pertamanya berasal dari kelas yang sama. Ah, itu Kak Raya, sekretaris OSIS yang juga menjadi pembimbing departemen Mat: kedisiplinan. Kalau Mat tidak salah dengar, juara pertamanya adalah Pilar Ardika. Uhm, Mat tidak begitu mengenalnya.

"Naaah, di akhir semester satu ini, ada yang menarik, Miss Ayie." Elis berdialog sebentar. "Selain kelas XI MIPA-5 yang sejak tahun lalu memang memborong peringkat di paralel, ada generasi penerusnya, nih! Semester ini, untuk tingkat kelas sepuluh, empat besar kejuaraan paralel diraih oleh anak-anak dari kelas X MIPA-1! Akan saya sebutkan nama-namanya sesuai urutan peringkat dari empat sampai satu. Selamat kepada Kiano Aldebaran, Bintang Rasi, Alfis Gamyaga, daaaaan juara pertama kita, Dematra Maherendra! Dengan total nilai masing-masingnya yang berselisih tipis sekali! 92.3, 92.9, 93.1, dan 94.0!"

Gerombolan siswa mulai buyar, membubarkan diri. Tak pelak lagi, food court Mang Dod jadi tujuan utama. Orang tua siswa mulai berdatangan untuk menerima rapor secara langsung, sekaligus rapat singkat mengenai efektivitas program pembelajaran untuk ke depannya.

Sementara itu, masih di tepi lapangan, Bintang jatuh terduduk. Dramatis sekali. Mukanya cemberut. "Mi ayam pangsit, batagor spesial, fresh milk, dan lontong sayur yang seharusnya jadi milikku .... Tidak, tidak. Aku memang sebal karena harus mentraktir Mat mi ayam pangsit, tapi fakta kekalahan nilaiku jauh berjuta-juta kali lipat lebih menyebalkan!"

"Well, terima saja kekalahanmu. Lain kali, berusahalah lebih keras, oke?" Mendapati ada sesuatu di sudut mata Bintang dan kurva bibirnya yang masih saja melengkung ke bawah, Mat langsung tertawa pelan. Ditepuknya pucuk kepala Bintang, lembut. "Baiklah, baiklah. Jangan lupa berterima kasih pada dirimu sendiri yang sudah sampai di titik ini."

Menonton sisi soft boy seorang Mat membuat Kiano berdeham keras, cari perhatian. "Hei, di sini nilaiku yang paling mengenaskan. Kenapa malah Bintang yang dapat perlakuan spesialnya?"

"Kau mau dielus dan dibelai penuh cinta?" Sebelum Kiano sempat memamerkan puppy eyes yang dibuat-buat nan memuakkan itu, segera saja Alfis menoyor kepala Kiano. "Biasanya, juara paralel hanya diumumkan sampai peringkat ketiga, 'kan? Hukum alam bersaksi, juara keempat selalu tak dianggap. Berterima kasihlah karena kau berada di kelas yang sama dengan kami dan mendapat 'perhatian' khusus."

Alfis mengalihkan perhatiannya pada dua orang lainnya. "Oke. Langsung saja pada kesepakatan kita, 'kan?"

Seisi food court masih dipenuhi siswa-siswi yang sedang mempersiapkan diri sebelum diberi siraman rohani selama tujuh hari tujuh malam di rumah hanya karena suatu kata bernama nilai, dan tak terelak lagi, ponsel pun sudah pasti akan menjadi korban tuduhan di persidangan itu. Mutlak.

Untunglah, agen MS masih punya kesempatan untuk menempati meja di bagian sudut. Tak begitu lama, meja sudah dipenuhi semangkuk mi ayam pangsit, batagor spesial, lontong sayur, dan dua kotak fresh milk yang estimasi perjenisnya sama-sama senilai delapan ribu rupiah. Mereka memang sudah sepakat menjadikan makanan favorit masing-masing untuk dihadiahkan pada pemenang.

Mat geli sendiri begitu mendapati Bintang dan Kiano yang sudah tampak lesu dengan merebahkan dagunya di atas meja. Mat angkat suara. "Hm, ini kebanyakan untuk kumakan sendiri, sejujurnya. Kalian juga makan saja."

Tak diragukan lagi, mata Kiano berbinar terang. "Ah, seriusan, Mat? Tentu saja! Tentu saja aku ikhlas jika—"

"Ih, jangan," sergah Bintang, dengan wajah sok bijak, sekaligus bermaksud menyembunyikan muka pengin-nya yang sangat terpampang jelas. "Mat bisa membungkusnya, kok, untuk di rumah. Kita ini jangan begitu, Kiano! RSJ, Rangking satu, Sportif, dan Jujur. Harga mati! Ayo, sportif. Kesepakatan adalah kesepakatan."

Mat menangkap pergerakan mata Bintang yang terus-terusan curi pandang ke arah mangkuk mi ayam pangsit yang masih mengepulkan uap panas. Mat mati-matian menahan gelak. "Yeah. Semua kesepakatan ini memang menjadi milikku. Aku punya hak miliknya. Dan karena itu, aku berhak memberikannya pada siapa pun. Ambillah lagi. Kita makan bersama. Kalian tinggal tambah pesanan biar sepaket."

Bintang memekik kaget, langsung menutup mulutnya sok kalem. "Baginda Maharaja Dematra Maherendra! Saya sungguh tersanjung. Bukankah menolak keinginan Raja adalah suatu hal yang tidak sopan? Saya akan menerimanya. Terima kasih atas kebaikan hati Anda!"

Detik berikutnya, Bintang sudah heboh sendiri, hiperaktif, persis seperti anak PAUD. Pada akhirnya, Bintang memesan es cokelat, Mat air mineral saja, Alfis memesan pempek sebagai teman fresh milk-nya, sementara Kiano memilih Teh Sisri favoritnya sepanjang masa yang teramat sangat ekonomis.

"Hidup Baginda Mat!"

🏅   🏅   🏅

Ps: Pssttt! Ada yang sudah kenal El, Raya, dan Pilar si juara paralel di angkatan kelas sebelas itu? Ya! Mereka main di Detik Detak, lho. Kalo belum ketemuan, ayo mampir dulu! Udah complete>.<

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top