01| Ekosistem Empat Spesies
Apakah kau pernah merasakan jantungmu dangdutan sehari semalam, tetapi bukan karena ditembak doi, dan sedang tidak ada acara akad nikah yang meriah di setiap penjuru sel tubuhmu? Saking bisingnya jedag-jedug itu, rasanya mau memejamkan mata pun tak bisa. Itu yang dirasakan Bintang dan Dematra.
Malam beranjak matang. Detik jarum jam sudah menyusuri pukul sepuluh malam. Akan tetapi, kedua anak yang baru masuk SMP semester lalu itu masih mempertahankan posisi rebahan di halaman rumah, mengamati rembulan penuh yang menggantung di atas garis horizon.
Sebelum mereka benar-benar dilahap senyap, Bintang angkat suara lebih dulu. "Mat, segerombolan gemintang itu rasanya mulai berputar dan jingkrak-jingkrak di kepalaku. Ah, apa kesiur angin malam ini mengandung unsur halusinogen? Kau bisa merasakannya?"
Mat tak mampu menahan tawa kecilnya. "Hm, begitulah. Kurasa, kita akan teradiksi untuk terus mengalami sensasi menyenangkan ini."
Malam ini, kata 'tidur' dan 'mengantuk', sepertinya benar-benar lenyap begitu saja dalam kamus kehidupan keduanya. Mereka sudah melakukan banyak hal, sejak mentari tenggelam ditelan cakrawala. Menonton ulang The Maze Runner, Captain Marvel, bahkan berulang kali membuka buku paket dan mengerjakan beberapa latihan soal HOTS. Namun, semua itu tak berpengaruh. Otak Mat dan Bintang masih terus aktif.
"Well, besok pengumuman hasil OSN. Meskipun kita bertetangga yang tinggal meloncat saja sudah sampai, kau tetap harus pulang, Bi. Kita mesti kembali. Angin malam tidak baik untuk tubuh, dan kalau lebih larut lagi, mamamu tidak akan menyiapkan sarapan untukmu, besok pagi. Bukankah begitu?"
Mau tak mau, Bintang membenarkan pernyataan Mat lewat gumaman tidak jelas. Bintang meregangkan badan. "Baiklah. Ini berbahaya. Aku mau pulang." Sebelum benar-benar menutup pintu rumahnya yang hanya berjarak tujuh langkah dari posisi mereka berbaring—yang memang sengaja berada tepat di titik koordinat rata-rata antara tempat tinggal keduanya—Bintang menolehkan kepala, sejenak. "Kita harus segera ke sekolah esok pagi, dan mendapati nama kita berada di peringkat teratas. See you!"
Perempuan bertubuh mini itu sudah hilang dari jarak pandang, tetapi Mat masih saja bergeming dengan seulas senyuman yang terkembang lebar. "Sure. We'll see us on top."
🏅 🏅 🏅
"Whoa, congratulations! Level up! Gas-lah, nasional!"
Ungkapan itu terus-menerus membombardir Mat, sejak menerima pengumuman hasil peraihan Olimpiade Sains Nasional di bidang Matematika tingkat Kota.
"Eh, Bintang juga, ya? Yang diambil, tiga besar, 'kan?"
Pada akhirnya, orang-orang pun menyadari eksistensi bintang kecil itu di antara kemegahan angkasa. Mendengar pujian yang terlontar menghujaminya malah membuat kurva di kedua sudut bibirnya semakin menekuk ke bawah, persis garis lengkung parabola pada diagram cartesius yang a-nya bernilai negatif dalam materi fungsi kuadrat kelas sembilan. Wajahnya masam. Terlanjur keki setengah mati. Bintang tak berniat menanggapi apa pun perkataan orang tentang pencapaiannya.
Mat menghela napas panjang. Jika sudah begini, Bintang akan tenggelam dalam dunianya sendiri. Bicara padanya adalah suatu kesia-siaan. Benar saja. Hingga berbunyi bel tanda jam pelajaran hari ini sudah berakhir pun, Bintang masih bungkam, mempertahankan mode cemberutnya. Sangat mencemari pemandangan di siang hari yang cerah ini.
Tak tahan dengan hawa panas yang terus membara dari sosok di sampingnya ini, Mat lekas-lekas angkat suara. "Mau batagor? Kukasih sebagai hadiah karena sudah berusaha sampai titik ini, deh."
Tak ada jawaban. Sudah mafhum dengan kelakuan absurd temannya sejak menghirup napas di muka bumi ini, Mat langsung menepi ke food court Mang Dod dan memesan dua piring batagor sebelum pulang. Bintang hanya membuntuti dalam diam. Pesanan datang. Mat memilih untuk membayarnya lebih dulu. Baru saja membalikkan badan, Mat sudah mendapati piring Bintang mulai tandas seperempatnya. Dengan senyuman geli, Mat akhirnya ikut memakan batagor, sebelum Bintang benar-benar memonopoli semuanya.
"Apa lagi yang masih bikin bad mood, sih?" Mat belum menyerah. "Kau dapat peringkat kedua. Nice job! Kau bahkan masih masuk ke provinsi, dua bulan mendatang. Kau tidak menginginkannya?"
Detik berikutnya, Bintang menggebrak meja, bersamaan dengan batagor di piringnya yang tandas. Matanya mengarahkan tatapan menusuk pada Mat. Jika matanya bisa mengeluarkan laser layaknya Superman, Mat yakin kepalanya sudah bolong detik ini. Bintang menegaskan, "Itu bukan yang terbaik. Sekecil apa pun selisih nilainya, kedua ya kedua. Bukan yang pertama!"
Oke, whatever. Mat tak lagi berminat meneruskan perbincangan. Tanpa kata, keduanya meneruskan langkah, susah payah menerobos kerumunan siswa yang berdesakan di halte persimpangan depan, persis seperti gerombolan lima kecamatan warga semut yang mengerubungi gula. Seperti biasa, Mat mendorong punggung Bintang agar badan cebolnya tidak terbawa arus sana-sini.
Sesak. Kepadatan yang sudah menjadi pemandangan biasa pada jam pulang sekolah. Apalagi, Jalan Simpang Citapen memang persis berada di seberang alun-alun kota yang menjadi sentral dari empat sekolah favorit di Tasikmalaya; salah satunya Persatas. Jadi, begitu bel berbunyi, tak heran persimpangan itu mendadak jadi medan perang yang membenturkan empat pasukan sekaligus dalam memburu angkot.
Dalam sekedipan mata, Bintang akhirnya mendapati angkot berwarna kuning yang sudah menunggu di tepi jalan. Awipari, jurusan angkot yang mereka tuju. Tinggal menembus tiga barisan lagi. Bintang mengepalkan tangan, penuh semangat menggelora. "Tatakae! Shinzou wo sasageyo!"
Well, unsur wibu dalam diri Bintang malah kumat di saat seperti ini. Nasib baik, Mat dan Bintang masih sempat duduk manis di dalam angkot, sebelum jok itu diklaim hak miliknya oleh orang lain.
Begitu angkot melaju, lekas saja Bintang membuka kacanya lebar-lebar, membiarkan masuknya angin silir di tengah hiruk-pikuk kota. Panas. Bintang jadi membayangkan setiap bulir keringatnya ini adalah es jeruk buatan Mang Dod. Bintang mangap sambil memejamkan mata, menghayati deru angin sejuk yang menyapa, tak peduli rambut panjangnya menampar-nampar muka.
Berbanding terbalik, Mat justru mengelap peluh di pelipisnya dengan kalem. Diamatinya seisi angkot. Sekawanan siswa berseragam turun dari angkot. Kini, yang tersisa hanyalah Mat, Bintang, dua lelaki dengan almamater sekolah tetangga, dan seorang wanita berusia kepala empat yang menggendong seorang anak.
"Fis, kau dapat kedua, ya?" Perhatian Mat dan Bintang sontak saja teralihkan pada percakapan kedua siswa lain di angkot. Diam-diam, keduanya mencuri dengar dengan sopan. Lelaki yang bertanya itu kini tergelak heboh, sampai melupakan Teh Sisri yang sedari tadi diseruputnya. "Bagaimana bisa? Payah sekali. Sudah kubilang untuk ikut sains saja, 'kan? Yeah, akibatnya, yang terbaik di sains adalah makhluk supermemesona, Kiano Aldebaran. Ah, aku tahu popularitasku akan semakin melonjak, sehabis ini. Karena kau sahabatku sejak SD, kuberi bonus tanda tangan gratis, oke? Kalem. Aku akan mengangkatmu jadi fans pertama. Bukankah itu merupakan suatu kebanggaan terbesar selama—"
"Kiano Aldebaran!" Demi mendengar interupsi suara cempreng itu, Mat yang sedang dalam mode menyimak, seketika tersedak salivanya sendiri. Lihatlah! Tanpa tedeng aling-aling, makhluk bernama Bintang itu tahu-tahu menyerobot perkataan lelaki tak dikenalnya. Belum sempat dihentikan Mat, Bintang terlanjur kembali bertanya, "Kau Kiano Aldebaran? Dari SMP Perdutas, yang katanya dapat peringkat satu di OSN bidang sains itu? Kau?"
Mat mengusap wajahnya yang terasa kebas. Lagi-lagi begitu. SKSD, Sok Kenal Sok Dekat, Bintang sekali. Rasanya, Mat ingin menjedotkan kepalanya ke jendela angkot agar bisa bertingkah seolah melupakan fakta bahwa Bintang adalah sahabatnya. Tidak, tidak. Siapa makhluk memalukan itu? Mat tidak mengenalnya.
Namun, di luar dugaan, anak bernama Kiano itu justru kembali terbahak kencang. "Ow, tepat sekali! Kau lihat, Alfis? Penggemarku sudah merambah ke berbagai penjuru dunia! Termasuk perempuan ini ... anak Persatas kah? Yeah, come on. Apa yang kau mau? Tanda tangan di jidatmu? Atau mungkin, foto bersama?"
Tak peduli dengan berjuta kalimat narsistik lawan bicaranya, Bintang masih mempertahankan mode monsternya. Kedua alisnya berkedut, menahan emosi yang membuncah. Pada akhirnya, Bintang mencengkeram bahu Kiano, mengambil alih seplastik Teh Sisri di tangannya, menyeruputnya sekilas. Lantas, begitu tenggorokannya tak lagi tandus, lekas saja Bintang berteriak, "Apa-apaan? Bagaimana mungkin, kau bisa dapat 1.7 poin lebih baik dari nilaiku? Bagaimana bisa!"
"Whoa, apa kau yang juara kedua dari Persatas? Hm, tentu saja. Tak salah lagi. Aku titisan Ishigami Senkuu, sepuluh milyar persen jenius. Apalah daya—"
"Senkuu?" Mendadak, tatapan emosi Bintang berubah menjadi tatapan kaget sekaligus bertanya-tanya. "Kau tahu anime Dr. Stone?"
"Tentu saja! Waifu for life. Puja paha Kohaku!"
Cengiran lebar langsung merekah di kedua sudut bibir Bintang. Tangan terkepalnya diacungkan ke udara, penuh antusias. "Kalau begitu, ayo menghalu bersama! Hidup Rakyat Halu!"
Tak kalah membara, Kiano ikut mengacungkan tangannya. "Hidup!"
"Hidup Rakyat Halu!"
"Hidup!"
Kedua alien yang baru bertemu itu sudah ribut membicarakan anime kebanggaan masing-masing. Mat mengalihkan pandangan pada pemandangan di balik jendela, malas ikut campur. Akan tetapi, seorang lelaki yang pada awalnya menjadi lawan bicara Kiano, tiba-tiba saja menyebut nama Mat.
"Dematra Maherendra?" Mat tertegun, lalu balas menatap lelaki berjaket hitam yang kini sudah berdiri, bersiap turun dari angkot. Sambil memegang atap-atap pintu angkot, lelaki itu melayangkan tatapan nyalang, seolah bersiap memangsa hidup-hidup. "Tunggu aku di OSN Matematika berikutnya. Aku yang akan ada di peringkat itu, bukan kau."
Sosok itu sudah turun, berbaur dengan kepadatan jalanan. Angkot kembali melaju. Akan tetapi, perkataannya masih terngiang-ngiang di telinga Mat. Menyadari situasi, Kiano angkat suara. "Ah, dia Alfis Gamyaga, yang hanya dapat peringkat dua di OSN Matematika. Anak itu tidak akan main-main, lho."
"Anak olim juga?" gumam Bintang. "Kenapa kita tidak berbaris rapi di garis start bersama-sama, untuk melihat siapa yang terbaik?"
Mat mengerutkan dahi. Siapa sangka, celetukan Bintang di angkot yang gerah itu malah mengantarkan mereka pada gurat takdir yang saling berkorelasi?
🏅 🏅 🏅
"Dokter forensik! Tentu saja. Aku akan menyelidiki berbagai kejanggalan kasus, dan membantu kepolisian dalam menguak kebenaran. Kuliah di Massachusetts Institute of Technology, lulus, lalu kerja di Laboratorium Pusat Forensik. Bukankah itu terdengar sangat keren?"
Kiano terkekeh ria begitu mendengar pernyataan Bintang. Di sinilah keempat orang itu berada, di halaman depan rumah Mat dan Bintang. Mereka merebahkan badan di atas rumput, sibuk menekuri angkasa jingga yang mewarnai kanvas di atas cakrawala, sambil melangitkan impian dalam senyap.
Senyuman tak kunjung luntur terbingkai di wajah Bintang. "Bagaimana denganmu, Mat? Matematikawan? Dosen Matematika? Pakar Angka?"
"Entahlah." Ada cukup banyak jeda sebelum Mat melontarkan kalimatnya. "Aku belum terpikirkan sampai sana. Yang pasti, untuk saat ini, aku ingin dapat medali emas di olimpiade."
Mereka kembali ditelan sunyi. Yang terdengar hanyalah kicau burung dan nyanyian gemerisik daun.
Perjalanan itu masihlah teramat jauh. Hanya suatu kesadaran yang terpatri dalam benak keempatnya: dengan bergenggaman, mereka harus terus melangkah. Demi keutuhan suatu kisah meraih mimpi, juga perjuangan menggapai angan, yang takkan pernah usai.
🏅 🏅 🏅
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top