Prolog

Senyum itu masih terlihat mengembang meski seluruh tenaga nyaris terkuras habis. Sebagai ketua panitia, Menur harus tetap tegak berdiri dan memberikan semangat kepada teman-temannya meski cuaca panas hari itu sangat mengganggu. Ia harus memastikan semuanya secara detail termasuk dengan konsumsi yang harus diberikan kepada peserta.

Entah karena kesupelannya atau memang sudah jalannya dari Allah diberikan kemudahan, acara besar hari itu disponsori langsung oleh sebuah rumah makan terkenal di kota Yogyakarta. Namun, hingga acara bergulir dan hampir selesai, nasi kotak seperti yang dijanjikan sponsor belum juga tiba. Hal itu yang membuat Menur sedikit resah karena berulangkali menelepon pemilik, tapi tidak bisa tersambung.

"Bima, bagaimana ini? Pak Abyantara nggak bisa dihubungi. Memangnya kemarin dia janji jam berapa?" Mata Menur bolak-balik menatap jam yang melingkar di lengan kirinya dan memastikan ada kendaraan yang masuk ke halaman gedung tempat terselenggaranya workshop saat itu.

"Tadi katanya sudah berangkat, Nur, tapi kok sampai setengah jam belum sampe juga. Coba tanya Renita, siapa tahu dia bisa telepon pacarnya. Sekantor juga, kan, dengan Pak Abyantara itu?" jawab Bima.

Menur mengangguk lalu tersenyum. Mengapa tidak terpikir sedari awal bahwa dia juga memiliki sahabat yang bisa menghubungkannya dengan keluarga Abi? Aryaksa—kekasih Renita— adalah orang kepercayaan keluarga Abi. Namun, dengan cepat kepala Menur menggeleng. Terlalu lama jika harus menelepon dan masih harus mencari. Menur harus bisa memastikannya secara langsung.

"Kamu aja deh, Bim, yang meluncur ke restonya, takutnya–" perintah Menur yang langsung dipotong oleh Bima.

"Emangnya nggak ada yang lain, aku pegang dokumentasi nih. Takutnya pas aku pergi ada momen penting yang harus diabadikan."

"Iya juga, ya ...." Menur menganggukkan kepala.

Sepertinya tidak ada waktu lagi, ia sendiri yang harus pergi untuk memastikan di Restoran Kembul Boga untuk menemui Abi. Nasi kotak sejumlah peserta dan panitia harus sudah tersedia paling lambat setengah jam lagi. Namun, baru saja Menur menstarter sepeda motornya, tiba-tiba kedua matanya menangkap mobil SUV Hyunday keluaran terbaru itu berhenti dan sang pemilik menurunkan kaca jendela di sampingnya.

"Mbak Menur...."

Helaan napas lega terurai dari bibir Menur. Bagaimana tidak, orang yang ia tunggu-tunggu tiba dan memintanya untuk mendekat setelah turun dari mobilnya.

"Maaf ya, sedikit terlambat. Tadi mobil box yang sedianya mengantar makanan mogok, sehingga harus menunggu saya tiba karena mobil operasional lainnya juga sedang ada di luar," jelas Abi.

"Saya sudah khawatir Pak Abi ingkar, lho," jawab Menur sambil tertawa lirih.

"Ah, mana mungkin begitu, etika berbisnis melarang kami melakukan hal curang seperti itu, Mbak."

Keduanya kemudian tertawa bersama. Ketidaksengajaan yang membawa keakraban keduanya semakin nyata. Bukan hanya di acara itu, tapi berlanjut di kehidupan nyata selanjutnya. Abi semakin rajin menemani kegiatan Menur hingga akhirnya gadis itu berhasil mendapatkan hasil tertinggi dari pendidikan yang ditempuhnya saat ini, Sarjana Keperawatan.

"Menur, aku bukan orang yang suka berbasa-basi," kata Abi dengan kaku.

Menur menatap Abi sedikit curiga. Setelah prosesi wisudanya, tiba-tiba sang kekasih berubah menjadi kaku dan sedikit gugup. Bahasa tubuhnya berubah menjadi begitu formal dan kelihatan sangat canggung, seperti orang yang ingin membuat pengakuan dosa.

"Mas Abi nggak sedang buat salah, kan?" tebak Menur.

Kini gantian Abi yang bingung menanggapi pertanyaan Menur.

"Jangan punya pikiran aneh-aneh. Dengarkan dulu sampai aku selesai bicara, baru setelah itu kamu boleh memberikan komentar." Abi menggenggam kedua tangan Menur dengan lembut sebelum akhirnya salah satu tangannya bergerak mengambil sesuatu dari dalam sakunya.

Saat kedua mata Menur menatap apa yang sedang ia bawa, tiba-tiba bibirnya bergetar untuk berucap, "kita nikah, yuk. Aku nggak pengen pacaran lama-lama."

Sebuah cincin bertahta permata bertengger cantik di tempatnya. Jemari Abi seketika tergerak memasukkan cincin itu di jari manis Menur ketika melihat mata gadis itu berkaca-kaca dan anggukan kepala sebagai isyarat jawaban atas pernyataannya.

"Sampai maut memisahkan kita." Abi mencium tangan Menur.

Semesta merestui, janji saling setia yang berhasil menggetarkan Arsy-Nya pun terjadi ketika lantunan akad memulai kisah halal antara keduanya. Abyantara Gandawasa sah menjadi suami seorang Menur Ayuningjagad.

Blitar, 17 Agustus 2024

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top