Epilog ... (katanya)
Cerita lengkapnya bisa kalian dapatkan nanti di versi cetak ya sebentar lagi ya, beri waktu aku untuk menyelesaikan part-part terakhir versi bukunya...... kalau kemarin aku lihat di koment....ABCD.... keknya nggak seperti itu deh alurnya...jadi kalian wajib punya bacaan ini untuk menutup rasa penasaran kalian...
Yang sudah epilog (katanya) di WP emang harus tamat hari ini...jadi..........>>>
Menur masih termenung saat kabut duka itu masih menggelayung dalam hatinya. Merasakan lagi arti kehilangan atas orang yang sangat ia sayangi di dunia ini. Benar ujung dari kehidupan adalah kematian, tapi harus menerimanya secepat itu bagi Menur adalah mempertaruhkan kekuatan hatinya. Ia masih butuh waktu untuk bisa mencerna agar bisa ikhlas. Padahal menurut kamu kehidupannya tidak ada hal yang bisa diikhlaskan, sesungguhnya ikhlas itu adalah memaksakan diri dalam keterpaksaan atas sebuah penerimaan. Abe yang sedang dinas luar kota pun menambah rasa sedihnya semakin menjadi.
Pagi itu Menur sedang bersiap, walau sesungguhnya ia masih ingin menikmati sepinya sendiri sambil mengenang semua kenangan indah bersama orang-orang terkasihnya. Namun, mengingat dia harus menunaikan janjinya pada sang sahabat, Menur pun akhirnya bergegas pergi. Tangannya terulur membuka handle pintu rumahnya. Langkahnya seketika terhenti manakala kedua matanya menatap seseorang yang telah berdiri di sana.
"Ibu ...." Menur menutup rasa terkejutnya.
Ada masalah apa wanita yang dikenal sebagai mertuanya itu mengunjunginya sendiri saat sang suami tidak ada di rumah.
"Masuk dulu, Bu, tapi Mas Abe sedang dinas ke luar kota, Bu. Ada yang bisa Menur bantu?" Sesopan apa pun Menur menyapanya, wajah Ambar akan tetap sama.
Ambar masuk ke rumah putranya saat Menur telah membuka pintu rumah itu kembali. Menur pun akhirnya memilih untuk mengikuti kemana langkah Ambar akan terhenti. Ternyata Ambar hanya berdiri di ruang tamu rumah Menur. Ia menatap menantunya dari ujung kepala sampai ke ujung kaki hingga membuat Menur merasa risi.
Tiba-tiba Ambar menyerahkan sebuah berkas pada Menur dengan meletakkannya di meja.
"Baca, pahami, dan tanda tangani segera," perintah Ambar.
Menur menurut tanpa bertanya meski ia sendiri tidak tahu berkas apa yang harus ditanda tangani dalam stopmap berwarna biru itu. Namun, setelah membacanya seketika ia langsung meletakkannya kembali di meja.
"Nggak mungkin, Bu. Menur nggak mau melakukan hal gila ini." Menur menggelengkan kepalanya. Bagaimana mungkin ia setuju untuk melayangkan gugat cerai pada Abe sementara hubungannya kini dengan suami berangsur membaik.
"Kamu tanda tangani itu atau Ibu nggak akan kabulkan permintaanmu untuk mempekerjakan lagi Arimbi di kantor Abe," ancam Ambar.
Mengingat air mata Arimbi membuat hati Menur melunak. Gadis itu tidak salah, ia hanya melakukan perintahnya. Dan bodohnya Menur mengapa mengajak Arimbi datang ke resto malam itu hingga membuat Ambar murka padanya. Namun, untuk menandatangani surat pernyataan gugatan cerainya sendiri, Menur bukan orang gila yang akan melakukan hal bodoh itu tanpa berpikir panjang. Pekerjaan bukan hanya di perusahaan Barata saja, Menur mungkin bisa membantu Arimbi dengan cara yang lain.
"Menur nggak akan melakukan itu, Bu."
"Baik, kalau kamu tetap nggak mau. Ibu sendiri yang akan melakukannya dengan cara Ibu. kamu lihat saja nanti. Siapa saja yang harus menanggung semua egoismu itu."
"Bukan Menur yang egois, Bu, tapi Ibu sendiri yang ingin memisahkan anak Ibu dengan istrinya."
Sumpah, Menur tidak pernah lupa bahwa sebagai anak ia harus tetap berperilaku sopan dan hormat kepada orang tua. Namun, pagi itu rasanya Ambar sudah kelewat batas untuk membuatnya tetap berpikir sebagai orang yang waras.
Telepon dari Ary yang mengabarkan kondisi putrinya yang semakin memburuk membuat Menur harus meninggalkan rumah segera. Menur menyilakan mertuanya keluar karena ia harus segera ke rumah sakit.
"Cah ra nduwe dugo! Kurang ajar, ra nduwe toto kromo, titenono kowe, ra bakal tak gawe ayem uripmu, dadio banyu ra sudi nyawuk, dadio lemah ra sudi ngambah."
Sumpah serapah yang diucapkan Ambar itu bukan hanya isapan jempol belaka. Ujung dari drama pagi itu tetap saja Menur memberikan tanda tangannya untuk menggugat cerai sang suami meskipun ia sendiri tidak ingin melakukannya.
Dan ketika surat panggilan mediasi atas gugatan cerai yang dilayangkan Menur ke Pengadilan Agama sampai di tangan Abe, laki-laki itu hanya diam melompong bak orang bodoh yang tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi dalam rumah tangganya sendiri. Sementara itu Ambar datang bersama beberapa foto ditangannya dan menghiperbolakan semua cerita. Lelah, penat dan keriuhan di kepala Abe membuatnya tidak bisa berpikir dengan jernih. Amarah pun akhirnya menyeruak di luar akal sehatnya. Murka membawanya mendatangi Menur dan menjatuhkan talaknya serta di sana.
Tidak bisa terselamatkan lagi, empat bulan dari fitnah dan tuduhan palsu itu akhirnya membawa status baru untuk keduanya. Status yang membuat senyum Ambar semakin lebar tercipta. Misinya mendekatkan Abe dengan sang sekretaris semakin terbuka lebar.
"Terserah Ibu, Abe ngikut. Dulu Abe menikah dengan pilihan Abe sendiri nyatanya juga keliru. Sekarang apa pun yang Ibu inginkan akan Abe lakukan sebagai bakti Abe menjadi satu-satunya putra Ibu."
"Bagus, Le. Ibu bangga sama kamu," kata Ambar.
Pendekatan hati bak anak muda yang sedang jatuh cinta? Rasanya bukan hal yang buruk, tapi Abe memilih tidak melakukannya. Ia menunjukkan sisi maskulinnya dengan cara orang dewasa menunjukkan pesonanya di depan wanita yang ia inginkan. Untari sepertinya juga menyambut baik niatnya untuk mendekat. Mereka tetap terlibat dalam banyak kegiatan bersama. Jika dulu dikatakan dekat, kini bisa ditambah 10% lagi kedekatan mereka.
Kabar burung yang dulu beredar di kantor bak bola liar yang berputar tanpa arah, kini seolah terlihat ke mana arah gawang yang akan dituju.
"Jika bisa membuat partner kerja itu menjadi partner hidup kenapa nggak?" kata Abe ketika ia sedang dalam perjalanan dinas bersama Untari.
"Setuju, Mas. Bisa jadi karena itu kinerja kita jadi lebih baik lho, karena teman sharing kita two in one, bisa di kantor, bisa juga di rumah."
Abe menatap menur dengan senang. Sepertinya isyarat yang sengaja ia berikan tersambut baik dan tidak bertepuk sebelah tangan.
"Jadi kamu setuju?" tanya Abe yang mulai berani menarik tangan Untari ke dalam genggamannya.
"Setuju untuk?" Untari menarik tangannya dengan cepat. Ia mengerutkan kening dan bergerak sedikit menjauh dari Abe.
"Menikah denganku," kata Abe dengan percaya diri.
Bukan tidak bertepuk sebelah tangan, tapi sepertinya angin cinta yang Abe embuskan salah arah. Untari langsung menolak lamaran Abe tanpa perlu berpikir lama.
"Aku bukan wanita single seperti yang Mas Abe kira, maaf, tapi aku nggak ingin Mas Abe salah mengartikan kedekatan kita ini," jawab Untari.
Apalah artinya perhatian yang diberikan Abe selama ini kalau kenyataannya wanita yang ditawarkan oleh ibunya ternyata sudah memiliki pasangan. Sakit yang Abe rasakan tidak sebanding dengan rasa malu di hadapan sekretarisnya. Terlebih ia mengatakan itu tidak lama dari Abe menerima salinan putusan cerai dari Pengadilan Agama. Untuk menghindarinya, Abe memilih mengambil cuti dan menikmati hari libur di salah satu resort milik keluarganya yang ada di luar kota.
Sehari, dua hari, sampai tak terasa akhir pekan menggenapkan masa liburannya. Abe berniat menikmati pemandangan sekitar resort yang ada di tepian pantai indah itu. Mentari yang belum tinggi, nyayian burung-burung pantai menambah semarak setidaknya untuk menciptakan nuansa baru di hati Abe yang semakin hari semakin kosong tak berpenghuni.
Langkah kakinya terangkat dengan ringan menyusur tepian pantai diiringi deburan ombak dan hantaman angin sepoi-sepoi yang menyapa wajah tampannya. Beberapa kali terlihat Abe mengangkat gawainya untuk mengabadikan keindahan alam itu hingga mentari hampir tegak di atas kepalanya. Abe menyerah, ia ingin mengubur dirinya dalam embusan sejuk air conditioner di dalam kamar yang ia tempati.
Laki-laki itu berlari kecil meninggalkan area pantai, selain karena untuk menghindari sengatan matahari ia juga ingin mengguyur tubuhnya dan berendam di privat mini pool yang ada di kamarnya. Namun, saat hendak melewati taman yang menghubungkan selasar resepsionis dengan kamar-kamar yang ada di resort itu. Mata Abe menjadi saksi atas datangnya dua tamu yang baru saja turun dari golfcar yang bisa dipakai untuk mengantarkan pengunjung dari tempat parkir mobil ke resepsionis yang terbilang cukup jauh.
Keduanya berjalan dengan sangat mesra menuju ke resepsionis. Abe terpaku beberap saat, ia harus memastikan tapi juga harus siap menerima kenyataan yang ada di depan matanya. Berulangkali menghela napas untuk memompa sebanyak oksigen yang ia butuhkan untuk tetap berdiri tegak di sana.
"Romo? Tari?" Bibir Abe berdesis.
Bayangan buruk mulai menari-nari di pikiran Abe. Apa yang dilakukan dua orang di resort yang sangat jauh dari Yogyakarta itu? Terlebih keduanya tidak malu mengumbar kemesraan di depan orang-orang. Dunia seolah berbalik jatuh menimpa Abe siang itu. Dadanya begitu sesak mendapati kenyataan yang justru sangat jauh dari prasangkanya.
"Jadi tidak single yang Tari katakan tempo hari itu ada hubungannya dengan Romo? Mereka menjalin kisah cinta di belakangku dan Ibu?" Abe langsung mengambil gawai dan memotret mereka dari belakang.
Wajib, Abe harus menyampaikan berita itu kepada ibunya dengan cepat.
.
.
.
Nah, kan........gimana tuh lanjutannya? semakin seru di ekstra chapter yang ada di novelnya yaaaa? sampai jumpa nanti di PO..
Jangan hapus dulu dari librari kalian, siapa tahu aku berbaik hati membuatkan goveaway untuk cerita ini.....da..da..sayonara.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top