9B
Tidak ada kesulitan yang berarti selama seharian belajar bersama Nia. Untari sangat menikmati pekerjaan barunya. Rasa kekeluargaan begitu kental terasa. Ia bahkan sudah fasih menghafal nama-nama teman barunya dalam sehari bekerja saking ramahnya mereka. Satu hal yang jelas berbeda dari kantornya dulu. Jangankan orang satu kantor, beda devisi yang tidak saling berkaitan dengan pekerjaan saja jarang yang kenal. Barata Wasana Group memberikan warna yang berbeda.
Tanpa terasa, jarum jam begitu cepat berputar. Mengganti warna langit biru dengan semburat jingga sebagai sekat antara siang dan malam menyapa. Tidak ada yang menyadari jika suara Abe tidak terdengar menggelegar menyadarkan bahwa jam kantor telah usai.
"Kalian ini memangnya nggak kangen sama senja?" kata Abe saat menyapa bawahannya.
"Kamu masih lama, Nia?" tambahnya.
Kepala Nia langsung menggeleng setelah matanya melihat arloji yang melingkar di pergelangan tangan kirinya.
"Lah aku juga kangen sama senja, Mas, enak aja. Pulanglah habis ini," jawab Nia sekenanya.
"Laporan yang diminta Ary udah aku teken, tolong scan terus kirim ke dia lagi, karena Romo butuh malam ini sepertinya." Abe menyerahkan stopmap berwarna kuning di meja Nia.
"Siap, Bos. Habis itu aku langsung cus ya," kata Nia seraya menggerakkan tangan kanannya untuk memberi hormat pada Abe.
Kening Abe mengkerut. Tidak biasanya Nia meminta izin pulang sebelum memastikan pekerjaannya benar-benar selesai. Terlebih jika Ary ada di luar kota.
"Pasti mau kencan sama Bintang," tebak Abe yang dijawab senyum lebar Nia.
"Bukan Mas Bintang, tapi sama mamanya. Malam ini beliau dapat jadwal bisa bertemu dengan onkolog. Jadi aku ingin ikut ke rumah sakit."
Apa pun penyakitnya mendengar nama rumah sakit itu seakan menggugah ingatan Abe pada Menur.
"Iya, semoga calon mertuamu bisa mendapatan pengobatan yang terbaik." Abe kemudian mengangguk pada Untari yang juga menatapnya.
"Tari, kalau Nia sudah pulang dan kamu kesulitan dengan permintaan Ary, kamu boleh menghubungi saya atau turun ke lantai lima, saya menginap di hotel ini." Abe kemudian berjalan menjauh dari mereka setelah mendengar jawaban dari sekretaris barunya.
Untari menatap Nia beberapa saat, ada pertanyaan pribadi yang ingin dia sampaikan kepada sejawatnya itu. Namun, ia terlalu ragu-ragu untuk mengatakannya.
"Kamu kenapa, Tari? Seperti bingung gitu kalau lihat Mas Abe?" tanya Nia.
Untari memberikan isyarat supaya Nia melirihkan suaranya agar tidak didengar oleh pegawai yang lain.
"Mbak, aku boleh nanya nggak?" kata Untari sambil memastikan lingkungan mereka aman untuk bicara.
Nia menatap Untari sesaat, lalu menganggukkan kepala. "Mau tanya apa? Takut banget orang lain denger? tanya Nia.
"Tentang Pak Abe," jawab Untari.
"Mas Abe, Tari. Kalau dia denger pasti marah lagi lho."
"Iya, iya, Mas Abe. Tapi kok nggak enak ya panggil atasan itu dengan sebutan Mas. Bukankah itu semacam panggilan sayang antara pasangan?" tanya Untari.
"Mana ada begitu, kalau di Jawa panggilan Mas itu bukan hanya diberikan pada laki-laki yang lebih tua dari kita, tapi lebih untuk memberikan penghormatan kepadanya. Hanya saja lazimnya kalau orang Jawa manggil pasangannya memang dengan sebutan mas."
"O ...." Bibir Untari membulat. Ia lalu mengambil stopmap yang diberikan Abe tadi untuk discan.
"Eh, bocah. Ditungguin mau tanya apa malah ngeloyor pergi. Nggak sopan itu namanya." Nia mengambil alih stopmap yang ada di tangan Untari.
"Ya Allah, Mbak, sampai lupa aku. Itu, Mas Abe, dia udah nikah ya?" tanya Untari dengan nada datar tanpa gestur genit sedikit pun.
"Kenapa? Mau kamu gebet?" tanya Nia dengan mode galak.
"Bukan, bukan begitu. Tadi tanpa sengaja aku dengar dia bertengkar di telepon. Sepertinya sedang ngomongin istrinya, karena Mas Abe seperti membela wanita itu. Kalau nggak salah namanya Menur. Benar, Mbak Nia?"
Nia mengembuskan napasnya dengan kasar.
"Terus hubungannya sama kamu apa?" tanya Nia sarkas. Ia memang terlahir sebagai seorang wanita, tapi tidak menyukai kaumnya yang suka ikut campur urusan orang lain.
"Nah itu dia, setelah itu ada telepon, Mbak. Dari ibu-ibu, ngakunya sih istri pemilik hotel ini minta disambungin ke ruangan Mas Abe. Pas aku sambungin, Mas Abenya menolak, eh aku malah dicaci maki sama beliau. Besok katanya mau ke sini menemuiku setelah aku bilang bahwa aku ini pegawai yang baru masuk satu hari ini," jelas Untari.
"Bu Ambar memarahi kamu?" Nia justru kini yang bergerak mendekati Untari.
Untari mengangguk.
"Kok perasaanku jadi nggak enak ya, atau kalau emang Mas Abe menginap di sini, besok aku ajak saja Bu Ambar itu bertemu sama istrinya Mas Abe, biar nggak jadi marah-marah ke aku. Aku takut, Mbak."
Nia langsung menggoyangkan kedua telapak tangannya. Memberikan isyarat pada Untari untuk tidak melakukan hal bodoh itu.
"Aku nggak bisa cerita sama kamu, tapi intinya. Jangan sekali-kali kamu nyebut nama istri Mas Abe di depan ibu mertuanya. Dan jangan bilang kalau mereka menginap di sini. Bisa pecah perang dunia melebihi perang Rusia Ukraina."
Potongan informasi yang tidak jelas itu sebenarnya membuat hati Untari semakin bertanya-tanya. Namun, ia sadar diri untuk tidak ikut campur urusan mereka. Masalahnya kalau keesokan hari Ambar benar-benar melakukan ancamannya seperti yang ia katakan di telepon, Untari menjadi overthinking. Bagaimana kalau ia dianggap tidak sopan dan meminta sang putra untuk memecatnya, padahal ia baru saja menjadi pegawai di sana
Dan rasa penasaran itu semakin mendera manakala ia harus memperbaiki laporan yang diserahkan kepada Ary dan harus memintakan tanda tangan Abe. Untari bertemu dengan wanita yang sangat cantik ketika pintu sebuah kamar terbuka.
"Mbak Untari, ya?" sapa Menur menyilakan Untari masuk. "Tunggu sebentar ya, Mas Abenya masih mandi," tambahnya.
"Iya, Mbak--"
"Menur, nama saya Menur. Saya istrinya Mas Abe." Menur tersenyum menatap Untari.
Keduanya sempat canggung di menit pertama, tapi tidak untuk menit selanjutnya. Untari berhasil membuat percakapan mereka menjadi hangat sampai Abe datang dan keduanya terdiam bersama.
"Ini lho, Sayang, yang namanya Tari. Hari ini dia mulai bekerja, dan ada laporan yang diminta Romo untuk segera serahkan beliau," kata Abe.
"Mana yang harus saya tanda tangani, Tari?" Abe membuka penutup balpoin miliknya kemudian membaca sekilas revisi laporan itu dan dengan cepat membubuhkan tanda tangan di atasnya.
Tidak ada alasan yang membuat Untari harus berlama-lama di ruangan itu. Ia kemudian pamit untuk meninggalkan Abe dan Menur berdua di ruangan. Istri atasannya sangatlah cantik, tapi mengapa seolah ada perang dingin antara mereka sampai-sampai Abe menolak panggilan dari wanita yang telah melahirkannya ke dunia. Bukankah itu suatu ketidakadilan?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top