8B

Keduanya kembali berpelukan. Entah untuk ke berapa kalinya Renita membantu Menur menghapus air mata. Batas antara naik dan turunnya emosi itu sangat kentara. Menur benar-benar dalam kondisi darurat mental illness.

"Aku nggak tahu harus ngomong apa, Nur. Yang jelas aku akan selalu mendukung semua keputusanmu. Andai aku yang ada di posisimu sekarang belum tentu aku sekuat kamu." Renita tersenyum dengan hati pilu.

"Jujur aku nggak ingin merusak hubungan antara Ibu dan anak, tapi sulit buatku bertahan jika harus serumah dengan Ibu lagi, Ren."

Renita masih mengusap punggung Menur. Ia sangat faham situasi dan bisa merasakan apa yang Menur rasakan.

"Andai aku masih diberikan pilihan waktu itu, nggak mungkin aku merelakannya untuk diambil, tapi ini masalahnya kan berbeda. Semua hilang saat aku nggak sadarkan diri," sesal Menur.

Renita tidak ingin menyanggah pendapat Menur, tapi ia tahu persis bagaimana kondisi sahabatnya kala itu dan apa yang menjadi alasan terkuat bagi Abe memutuskan pilihan yang sangat sulit itu. Namun, untuk saat ini Renita memilih diam karena sebanyak apa pun penjelasan tentang keputusan Abe tetap saja akan membuat hati sahabatnya terluka.

"Apa aku salah, Ren?" desis Menur.

"Salah, tentang ...?" jawab Renita dengan cepat.

"Memisahkan Mas Abe dari ibunya," desis Menur.

"Untuk sementara, jauhkan diri kita dari sikap overthinking, Nur. Mas Abe sudah setuju lho kalian pindah rumah, itu artinya dia sangat menjaga kamu dan juga ibunya," jawab Renita.

"Menjaga ibunya gimana, maksudmu?" Kening Menur mengernyit.

Menur mencintai Abe, karena itulah ia selalu merasa bahwa ia pun harus menerima kelebihan dan kekurangan sang suami termasuk juga keluarganya. Namun, ia tetaplah manusia biasa yang tidak bisa menyembunyikan rasa sakit hatinya sekarang.

"Artinya dia memang harus berada di tengah-tengah antara kalian berdua. Tidak akan ada kata putus untuk sebuah hubungan dalam ikatan darah, tapi bisa jadi menjauh adalah cara untuk meminimalisir gesekan yang menumbulkan perpecahan. Bukankah Allah menyukai kerukunan?" Renita mencoba untuk tersenyum kembali.

Sedikit demi sedikit ia berusaha membantu Menur menumbuhkan lagi rasa percaya dirinya.

"Kamu pasti bisa, Nur. Walau kamu jauh dari saudara-saudaramu, tapi Mas Abe selalu ada buat kamu. Sekarang, bisa yuk dikit-dikit hilangkan overthinkingmu," kata Renita.

Menur mendesah perlahan kemudian menatap sahabatnya dalam-dalam.

"Jadi kamu pasti enak ya Ren. Bukan hanya disayang Mas Ary, tapi juga keluarganya. Dulu aku juga ngerasa seperti itu, ternyata semuanya hanya semu." Menur tertawa getir.

Bagi Menur menertawakan dirinya sendiri adalah hal yang paling masuk akal saat ini. Namun, pernyataannya itu justru dibantah oleh Renita dengan cepat.

"Untuk bisa naik kelas berikutnya, setiap siswa pasti melewati yang namanya ujian kenaikan kelas. Hidup pun demikian, Nur. Setiap hamba pasti memiliki ujian hidup yang berbeda-beda. Apa yang terlihat di mata kita itu belum tentu lebih baik dari kehendak Allah, jangan pernah berburuk sangka pada-Nya." Renita kembali membuat nyaman Menur.

Pastinya Renita selalu bersyukur dengan apa yang ia terima sekarang. Namun, ia selalu percaya bahwa ujian setiap orang selalu berbeda-beda. Itu sebabnya ia berkata pada Menur bahwa tidak baik mengukur pakaian yang akan ia kenakan dengan menggunakan ukuran badan orang lain karena hidup itu terlalu ekslusif untuk ibaratkan sebagai konveksi yang menggunakan ukuran baku percetakan dalam membuat pakaian.

"Aku nggak berburuk sangka, tapi alangkah bahagianya sebagai wanita yang bisa memberikan keturunan untuk suaminya," jawab Menur.

Lagi-lagi masalah anak yang menjadi poros insekuritas yang dialami Menur. Wanita itu berulang kali menyebutkan kalimat konruen yang menjadi kekhawatiran terbesarnya kini.

Renita tiba-tiba menarik tangan Menur yang bisa bergerak bebas lalu membawa ke perutnya. Ia menatap Menur kemudian menuntun sahabatnya itu untuk mengusap perutnya.

"Bagaimana kalau nanti kita merawat anak ini bersama-sama. Aku sebagai ibunya dna kamu aku berikan hak menjadi mama untuk dia."

Ide yang tiba-tiba muncul di benak Renita. Walau masih belum yakin dengan tanggapan Menur, tapi secara spontanitas bibirnya menyuarakan itu dengan sangat lancar.

Binar mata Menur kembali menyapa. Seperti memperoleh harapan baru yang membuat hatinya kembali bersemangat menata hidupnya. Anggukan kepala menjadikan jawaban atas persetujuannya. Namun, mendadak wajah kaku itu kembali hadir.

"Bagaimana nanti kalau Mas Ary nggak setuju?" tanya Menur. "Kamu pasti belum ngomong masalah ini dengannya, kan?"

Tawa Renita terdengar. Walau tidak menggelegar, tapi cukup untuk menular pada Menur.

"Mas Ary pasti akan senang dong, anaknya punya dua ibu dan juga dua ayah nantinya." Renita kemudian mengusap bahu Menur. "Nanti pasti aku ceritakan percakapan kita ini kepadanya."

Menur tersenyum bahagia. Meski bukan terlahir dari rahimnya, tapi tawaran Renita menjadi angin surga untuk Menur. Setidaknya ia bisa merasakan dipanggil mama oleh manusia mini paling menggemaskan di dunia ini. Panggilan sakral yang mungkin tidak akan pernah bisa ia nikmati jika Renita tidak memberikan izinnya.

"Lho kok nangis lagi, senyum dong." Renita menghapus air mata Menur sekali lagi.

Keduanya kembali saling memeluk. Jika membagi hal sedikit itu bisa membuat bahagia orang lain mengapa harus ditunda? Biarlah hanya mereka berdua yang merasakan bahagia itu.

"Makasih ya Ren, hanya mendengar itu pun hatiku bisa mencicip bahagia meski...." Menur menghentikan suaranya ketika jari telunjuk Renita berpindah ke depan bibirnya.

"Kalau kita bisa bahagia bersama-sama, kenapa nggak sih?"

Semesta sepakat, perjanjian dua anak manusia itu menjadi bait cinta yang direstui-Nya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top