8A
Mentari kembali menyapa semesta dengan cahaya yang memukau mata. Sinar jingga kekuningan itu seolah ingin mengucapkan selamat pagi pada dunia. Menur menggeliat sekilas. Memperoleh keringanan untuk tidak melaksanakan kewajibannya sebagai seorang muslim membuatnya bisa bebas bangun kapan saja. Namun, karena kebiasaannya yang selalu membuka mata bersamaan dengan menyingsingnya fajar di ufuk timur membuatnya susah bermalas-malasan di pagi hari.
Menur membuka gorden jendela kamarnya. Sinar matahari pagi menerobos masuk menyilaukan kedua matanya. Meski masih dengan duka yang sangat mendalam, pagi itu Menur bisa tersenyum walau Abe harus meninggalkannya untuk bekerja. Alasan yang paling pas dengan rona semringah di wajah Menur adalah telepon dari Renita yang mengabarkan bahwa ia akan menemani Menur seharian di hotel.
Bak dua sahabat yang lama tidak bersua. Cerita mereka mengalir tanpa jeda. Membicarakan situasi tempat kerja mereka selama Menur tidak bekerja dan embusan gosip yang tidak bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya.
"Dosa tau, Ren, ghibahin temen sendiri," kata Menur menahan tawanya.
"Biar aja, orang begitu itu kalau dikasih hati suka minta jantung. Keki aja bawaannya, uh, sebel!" gerutu Renita.
"Sabar, Ren, istigfar. Ingat kamu sekarang sedang hamil, ntar dia terkontaminasi gara-gara serotoninmu nggak banyak berproduksi." Menur mengusap perut Renita yang mulai kelihatan membuncit.
Tiba-tiba wajah wanita itu kembali murung. Mengingat tentang kehamilan membuat sisi sentimentilnya mencuat dengan cepat. Menyesal, bersalah dan rasa sakit hati lebih mendominasi luka batinnya.
"Kamu pasti bahagia menunggu dia hadir ke dunia," tebak Menur yang sudah berderaian air mata.
Tidak mau menjawab dengan suara, Renita memilih merentangkan kedua tangannya dan bergerak mendekati Menur untuk memeluknya. Dan tangis Menur pecah di pelukan sahabatnya.
"Aku, bukan hanya kehilangan calon anakku, tapi untuk mengandung lagi pun tidak akan pernah mungkin. Rahimku ...." Menur semakin terguguk.
Renita yang sedari awal mengerti cerita Menur hanya bisa mengusap punggung sahabatnya itu untuk memberikan kekuatan. Ibarat roda berputar, kehidupan Menur saat ini sudah pasti sedang berada di bawah. Butuh perjuangan yang sangat besar untuk menerima semuanya. Usia masih belia, tapi ketidaksempurnaan itu tampak semakin nyata.
"Aku takut, Ren. Kehilanganku ini bukan hanya tentang kepergian calon buah hatiku, tapi mungkin juga tentang masa depan rumah tanggaku dengan Mas Abe." Meski dengan sesak Menur mulai membuka hati untuk menceritakan kegundahannya.
"Istigfar, Nur. Percaya sama Allah, Dia nggak akan memberikan ujian melebihi kemampuanmu. Lagi pula Mas Abe juga nggak mungkin ngelakuin seperti yang kamu risaukan itu." Renita menjauhkan diri agar bisa menatap Menur dan menghapus air matanya.
Sudah sewajarnya jika seorang sahabat itu berusaha pasang badan saling melindungi satu dan lainnya. Demikian halnya hubungan persahabatan Renita dan Menur, jika satu di antara mereka sakit tentu yang lain akan merasakan rasa sakit yang sama. Jujur saja Renita ingin memberontak ketika mendengar cerita dari Ary tentang kondisi Menur. Namun, apalah dayanya. Renita hanya bisa membantu Sang sahabat untuk mengurai sesak yang menghimpit hatinya.
"Aku belum tentu bisa, tapi hidup harus tetap berjalan. Yang sabar ya." Renita mencoba membesarkan hati sang sahabat.
"Ibu mertuaku meminta Mas Abe untuk mempertimbangkan surrogate mother agar keluarga kami memiliki keturunan," cerita Menur yang sukses membuat mulut Renita menganga tidak percaya.
"Astagfirullah, mengapa sampai sejauh itu, Nur? Sumpah, aku baru mendengarnya darimu sekarang, Mas Ary nggak ada cerita macam-macam selain Mas Abe yang berusaha memperbaiki hubunganmu dengan ibunya. Ternyata--" Menur menutup mulutnya dengan telapak tangan kanannya.
"Ibarat kata aku ini terluka, eh ini malah disiram cuka. Sakit, Ren," resah Menur.
"Lalu apa keputusan Mas Abe tentang itu?" tanya Renita.
"Ya Mas Abe bilang nggak akan berubah walau apa pun keadaanku. Tapi aku juga mikir, Ren. Mas Abe itu anak tunggal, mana mungkin keluarganya diam saja saat tahu aku sudah nggak mungkin lagi memberikan keturunan," jelas Menur.
"Aku nggak ngerti mengapa harus ada teknologi yang membuat istilah ibu pengganti itu ada. Padahal sudah jelas dalam agama kita terlarang untuk dilakukan. Memangnya merua kamu nggak faham tentang itu? Dosa, Nur." Renita menyilangkan kedua lengannya di depan dada.
Apalah arti sebuah aturan jika sudah terjepit keadaan. Seperti sudah menjadi kebiasaan bahwa larangan itu dibuat sengaja untuk mengundang orang berbuat pelanggaran supaya hidup menjadi penuh warna. Jadi bukan hanya tawa saja yang terlihat oleh mata, tapi lengkap juga dengan tangisan yang menyesakkan dada.
Renita ikut termenung memikirkan masalah pelik yang menimpa sahabatnya. Rasanya tidak masuk di akal, tapi terjadi di dunia nyata. Dan parahnya sahabatnya sendiri yang merasakan semua itu.
"Menurutmu, aku harus bagaimana, Ren?" tanya Menur yang membuat Renita kaget.
Helaan napas menguar dari bibir Renita. Dia berpindah tempat duduk di sebelah Menur lagi.
"Menurutku sudah benar kamu mengambil keputusan untuk keluar dari rumah itu. Mas Abe pasti bisa membahagiakanmu, aku lihat dia sangat mencintaimu, Nur."
"Apakah perasaan cinta itu cukup menguatkan sebagai peganganku?" racau Menur.
Renita mengernyit tak mengerti. Sejak awal mengenal Menur, ia belum pernah melihat sahabatnya itu kehilangan rasa percaya diri seperti sekarang. Menur terlihat berantakan dengan semua masalah pelik yang harus ia hadapi. Kekuatan terbesarnya kini hanya bertumpu pada Abe, suaminya. Jika kepercayaan itu tidak lagi ada, Renita khawatir keadaan Menur akan semakin buruk dari apa yang ia lihat hari itu.
"Aku mencintai Mas Abe, Ren. Jelas aku nggak ingin ada pembagian hati walau ada firman Allah yang membolehkan untuk itu. Biarlah aku mencari surga lewat pintu yang lain bukan pintu satu itu," papar Menur.
"Sori, Nur. Maksud kamu kita ... bicara tentang ... poligami?" Renita bicara terbata. Lebih karena tidak ingin bahasan sensitif seperti itu akan merusak suasana.
Bukannya menjawab, Menur justru menatap Renita yang kini justru salah tingkah di depannya.
"Sori, kalau aku salah ngomong ...."
"Nggak, Ren, kamu benar. Aku memang sedang ngomongin poligami," tegas Menur.
"Ish, jangan kejauhan deh mikirnya!" Reni mengibaskan tangannya.
Menur justru menggelengkan kepala. Bibirnya kembali terbuka untuk menyambung omongannya.
"Surrogate mother?" Menur mendengungkan kembali.
"Please, kita sama-sama dari tenaga kesehatan. Nggak perlu dijelaskan lagi. Terlepas dalam Islam terlarang melakukan itu, gimana mungkin seorang yang nggak lagi punya rahim melakukan itu?" Menur mendesah frustrasi.
"Hal yang paling mungkin adalah poligami, Ren. Dan aku ...." Menur menggigit bibirnya. Ada genangan air mata yang tertahan di pelupuk matanya.
"Sampai kapan pun aku nggak bisa, nggak ikhlas dan nggak rida suamiku melakukan itu."
Pecah sudah tangisan Menur. Renita yang masih menyimak ucapan Menur membenarkan sepenuhnya. Hal yang mustahil bagi Menur menitipkan sel telurnya di rahim orang lain. Dengan dilakukannya operasi pengangkatan rahim, jelas membuat tubuhnya tidak akan pernah lagi memproduksi sel telur yang akan membuahkan keturunan itu.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top