6A
Ada perasaan bersalah yang bersarang di dalam dada. Malam itu untuk pertama kalinya Abi mengingkari janji yang telah ia buat sendiri. Walaupun tanpa protes dari Menur, tapi tetap saja ketika mendapati sang istri belum juga memejamkan mata padahal hari sudah berada di ujung pergantiannya. Menur masih terduduk sambil bersandar di headboard tempat tidur mereka.
Tidak ada kata yang pantas untuk ia ucapkan selain kata maaf, tapi itu pun hanya tersimpan di ujung bibir Abi saat kedua matanya mendapati sang istri menatapnya dengan mata berkaca-kaca.
"Kamu kenapa?" tanya Abi.
Bukannya menjawab, Menur justru menumpahkan air matanya di hadapan Abi hingga membuat sang suami kebingungan harus berbuat apa.
Embusan napas kasar terurai dari bibir Abi. Sejujurnya Abi sudah terlalu lelah, otaknya terkuras habis untuk menelanjangi deretan angka yang harus ia selesaikan malam itu juga. Sementara badannya sudah terlalu lelah untuk beraktivitas lagi dan matanya tidak mungkin lagi diajak kompromi. Satu-satunya hal yang ingin ia lakukan setelah sampai di rumah adalah beristirahat, tapi melihat air mata Menur yang semakin deras mengalir membuatnya harus mengurungkan niat untuk mengukir mimpi segera.
"Kenapa menangis, hmmm?" tanya Abi lagi.
Lagi-lagi tidak ada jawaban yang keluar dari bibir Menur. Wanita itu justru memilih untuk menundukkan kepala dan menutup dengan kedua tgelapak tangannya.
"Ck," deceh Abi. "Ini sudah hampir pagi, Menur. Aku capek. Harus ngurus kamu, ngurus kerjaan, ini malah pulang-lupang ngerti kamu nangis, tapi nggak mau ngomong ada apa. Sekarang jangan minta aku bisa peka dan mengerti apa arti air matamu itu lagi. Aku butuh istirahat, Nur."
Abi kemudian memilih untuk beranjak ke kamar mandi untuk membersihkan dirinya dan mengabaikan Menur.
"Maaf, Mas." Lirih suara Menur menyapa rungunya, tapi ia memang harus mandi dan segera beristirahat.
Tidak ada lagi percakapan setelahnya. Menur memilih merebahkan tubuh dan Abi pun juga memilih memejamkan mata setelah memberikan sebuah kecupan di kening sang istri.
Sampai azan Subuh berkumandang Abi masih terlelap. Menur yang sudah terjaga lebih dulu beringsut untuk membangunkan sang suami.
"Mas ...." Menur menggoyangkan tubuh Abi. "Sudah Subuh, ayo bangun, salat dulu."
Hanya lenguhan panjang tanpa pergerakan lebih lanjut yang Menur rasakan. Abi masih menikmati mimpinya sampai membuat Menur gemas dan semakin keras menggoyangkan tubuh Abi supaya sang suami cepat bangun.
Namun, diluar dugaan Menur, Abi justru mengumpat dengan kencang karena merasa tidurnya terusik masih dengan mata yang terpejam.
"Bajigur tenan ki! Rasah bengok-bengok kenopo to jane! Mangkato disik, awakku sih lungkrah." --Mengumpat! Nggak perlu teriak-teriak, berangkat saja dulu, badanku masih capek.--
Menur terhentak kaget. Tangannya masih mengambang di udara. Selama menjadi suaminya, Abi belum pernah bicara dengan nada tinggi. Ia hanya berniat untuk mengingatkan, mengapa respons suaminya bisa sekasar itu?
Sisi sentimentil hati Menur terketuk dengan cepat. Hilbernasi serotoninnya seolah makin menjadi, hingga rasa bahagia menguap tanpa arti. Air matanya kembali menetes. Dalam sekejab ia berhasil mengingat apa yang terjadi padanya beberapa hari belakangan tanpa cela. Perubahan sikap yang begitu drastis ia rasakan. Mungkin hanya perasaannya, tapi seolah semua kompak untuk menjadikan perubahan sikap itu semakin nyata di depan matanya.
Aku nggak peduli dengan yang lain, Mas. Asalkan kamu masih berdiri bersamaku, bertahan adalah hal paling mutlak yang harus aku lakukan. Meski Ibu dan Romo telah mengubah sikapnya padaku. Menur segera menghapus air matanya yang masih tersisa kemudian beranjak dari tempat tidur.
Luka bekas sayatan operasi itu masih terasa nyeri, tapi ia berusaha mengabaikannya. Menur memang harus sehat untuk melawan perlakuan yang diberikan padanya dan berusaha mengembalikan semua pada tempatnya.
Dalam keadaan waras, tidak satu pun calon ibu di dunia ini yang menginginkan kepergian anak mereka untuk selama-lamanya. Tak terkecuali juga dengan Menur. Andai bisa pun pasti ia akan memilih untuk mengganti nyawanya demi menyelamatkan sang putra. Namun, kenyataannya pilihan itu tidaklah mungkin terjadi.
Bolehkah ia merasa bahwa protes itu harusnya menjadi haknya?
Menur mendesah perlahan. Ia segera beranjak ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Dengan tangannya yang masih harus tetap berada di arm sling tentu saja ia sedikit kerepotan jika harus melakukannya sendiri. Mau tidak mau Menur harus membangunkan Abi untuk membantunya. Mengenyahkan rasa sakit yang ada di hatinya karena bentakan Abi saat ia berusaha membangunkannya. Lagipula perintah salat juga bukan ia yang membuatnya. Menur tidak ingin suaminya menjadi orang munafik dengan meninggalkan kewajiban yang harusnya selalu menjadi pegangan dalam hidupnya.
"Mas, Subuh itu waktunya malaikat melapor pada Allah, lho. Sejak kapan Mas Abi jadi bebal seperti ini?" Menur kembali menggoyangkan tubuh suaminya.
Mata Abi terbuka sedikit, menyesuaikan cahaya yang mulai masuk ke netranya.
"Crigis!" Abi mengusap mukanya dengan kedua tangan lalu bangun dengan malas.
"Astagfirullah, Mas. Kok ngomongnya gitu?" kata Menur.
"Lagian, semalam aku baru bisa merem itu jam setengah tiga, Menur. Kamu lupa? Kamu nangisnya nggak kelar-kelar. Giliran ditanya, diem, nggak jawab. Aku ini bukan cenayang, Nur. Nggak semua bisa dimengerti hanya dengan diem dan air mata, aneh!" Rentetan kalimat panjang itu berhasil membungkam bibir Menur yang berniat meminta tolong pada suaminya.
Semalaman Menur memang menangis, tapi ia hanya meneteskan air matanya tanpa suara. Bukan meraung yang akan mengusik istirahat Abi. Namun, meski demikian ternyata laki-laki itu tidak bisa memejamkan mata.
Angan Menur kembali pada peristiwa di meja makan semalam. Kala ia berniat meminta maaf kepada Ambar, tapi justru mendapatkan perlakuan yang membuat hatinya menangis.
"Nggak usah pasang muka melas begitu. Sekarang apa pun yang sudah Ibu lakukan untuk kalian itu percuma," kata Ambar.
"Maaf, Bu, andai bisa Menur mau kok tikar tempat dengan dia."
Ambar tersenyim miring mendengar celotehan Menur yang dianggapnya tanpa guna. Tidak ada yang bisa mengembalikan waktu. Kata andai itu hanya akan menambah rasa kesalnya pada sang menantu.
"Ibu ini kurang apa to, Nur, Nur, jadi mertua. Kamu hamil saja, Ibu sampai melarang kamu melakukan pekerjaan rumah. Ini malah dengan entengnya lari-lari di bawah hujan cuma karena mobil Abi mogok. Ceroboh kamu--"
"Bu, tapi kemarin bukan karena Menur ingin--"
"Sudahlah, yang jelas calon cucu Ibu sudah nggak ada. Dan kamu nggak bisa lagi ...." Ambar menggantung kalimatnya lalu berdiri sambil mengibaskan tangannya ke udara.
"Ah sudahlah!"
Ambar memanggil Marni untuk merapikan kembali meja makan. Selera makannya menjadi hambar, perasaan kecewa dan kesal pada Menur lebih mendominasi di dalam hatinya.
"Ibu tinggal saja, biar Menur nanti yang membereskan," kata Menur saat Marni yang sedari tadi dipanggil Ambar tidak juga menghampiri mereka.
"Mungkin Mbak Marni sedang salat," lanjutnya.
"Kamu mau membereskan dengan apa? Tangan kamu saja masih digendong begitu!"
Menur meletakkan sendok berisi makanan yang hendak ia suapkan ke mulutnya. Bukan kenyataan yang membuatnya ingin mengelus hatinya, tapi ucapan Ambar yang terlalu sumbang didengar telinganya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top