5B

Walau sedikit kecewa, Menur akhirnya mengalah juga. Anggukan kepalanya membawa langkah Abi kembali meninggalkan wanita itu sendiri di dalam kamar. Lagi-lagi kata bosan menjadi teman dalam kesendiriannya. Menur akhirnya memutuskan keluar kamar untuk menyapa sang mertua.

"Ibu ...." Menur menyapa Ambar lirih.

Wanita paruh baya yang sedang asyik merawat anggrek di halaman belakang itu pun menghentikan aktivitasnya.

"Sudah pulang, Nur?" kata Ambar kemudian melanjutkan lagi menyirami anggrek-anggreknya.

Aura dingin begitu kentara tercetak di wajah Ambar. Entah kemana hilangnya senyuman, sambutan hangat serta rasa sayang yang selama ini Menur dapatkan dari wanita yang telah melahirkan suaminya ke dunia itu.

"Alhamdulillah, Menur sudah sehat, Bu. Meski masih sedikit nyeri."

"Lalu kenapa kamu ke sini? Bukannya tadi Abi sudah bilang kalau sebaiknya kamu istirahat saja di kamar. Nanti kalau ada apa-apa Ibu lagi yang dia marahi," kata Ambar tanpa menoleh ke arah menantunya.

Menur kembali menutup mulutnya. Semula ia ingin meminta maaf pada Ambar dan membangun komunikasi yang hangat seperti sebelum ada musibah itu. Namun, sepertinya sore itu bukan waktu yang pas untuknya memulai percakapan dengan Ambar.

"Menur minta maaf, Bu. Kalau mungkin secara tidak sengaja membuat hati Ibu kecewa dan terluka." Menur mendekati Ambar, tapi mertuanya itu tetap asyik dengan aktivitasnya.

Hati Menur mencelos mendapati sang mertua kini mengabaikannya. Namun, meski demikian Menur berusaha tetap menghormati Ambar. Ia memilih beranjak ketika sampai lima menit berlalu, tapi tidak mendapatkan respons dari Ambar. Ngobrol dengan Marni mungkin bisa menjadi solusi untuk menghibur hatinya.

Menemui Marni yang sedang menyiapkan makan malam di dapur. Berbedaa dengan sikap Ambar yang terkesan dingin, Marni justru menyambutnya dengan hangat. Tidak ada yang berubah. Nada khawatir yang menyapa pendengaran Menur membuat wanita itu lai membuat kesebandingan yang realistis.

"Mbak Menur di kamar aja. Nanti kalau Mas Abi tahu malah nggak enak saya. Sudah biarkan saya yang menyelesaikan ini," kata Marni.

"Mbak, Mbak, mana mungkin aku bisa bantuin Mbak Marni dengan tangan yang masih digendong seperti ini."

Marni menatap Menur dengan iba. Air matanya menggenang di pelupuk. Tidak ada kata yang paling pantas ia ucapkan kepada Menur untuk memberikan semangat. Sebagai seorang wanitaia pasti sangat mengerti seberapa hancur perasaan Menur yang gagal mendapatkan predikat sebagai wanita sempurna yaitu dengan menjadi seorang ibu.

"Sabar ya, Mbak. Setiap orang memiliki ujiannya sendiri-sendiri." Marni menggenggam tangan kiri Menur.

"Meskipun Mbak Menur nggak bisa menjadi Ibu, tapi setiap wanita selalu istimewa dengan caranya."

Menur mengangguk.

"Ibu sehat kan, Mbak, selama aku dirawat di rumah sakit?" tanya Menur.

Marni menatap Menur beberapa saat lalu mengangguk dan tersenyum kaku. Walau tidak mengatakan apa pun, dengan melihat gestur Marni pun ia cukup mengerti kalau Ambar sangat kecewa dengan musibah yang menimpanya. Namun, apa hendak dikata? Ibarat nasi pun sudah menjadi bubur. Tidak ada satu pun di dunia ini yang tahu akan ajal dan garis takdirnya.

"Maaf ya, Mbak Menur, saya harus menyelesaikan pekerjaan supaya nggak telat untuk makan malam nanti."

Sebenarnya itu hanyalah masalah klise untuk mengganti kata menghindar dari pertanyaan Menur tentang mertuanya. Marni memilih mode aman untuk tidak ikut campur urusan pribadi keluarga majikannya.

"Mbak Menur sebaiknya kembali ke kamar, biar bisa istirahat. Mas Abi tadi juga berpesan seperti itu," saran Marni ketika ia melihat Menur tidak juga beranjak dari tempatnya berdiri.

"Maaf ya, Mbak, kalau aku di sini buat Mbak Marni nggak nyaman." Air mata yang sedari tadi ditahan Menur akhirnya lolos juga. Ia bahkan belum menghapusnya saat Marni kembali melihat ke arahnya.

"Mbak Menur kok ngomongnya gitu. Lho ... eh, kok malah nangis. Aduh, maaf kalau saya salah bicara—" Marni menjadi serba salah.

Namun, bukan Menur namanya Jika ia harus menyusahkan orang lain. Ia segera mengibaskan tangannya dan meninggalkan Marni yang bergeming di tempatnya.

Allah, tidak ada keluarga lain di sini kecuali mereka. Lalu dengan siapa hamba berbagi saat hati enggan menyimpannya sendiri? Menur meratap dalam hati sembari menghapus air mata yang tidak berhenti menetes di kedua belah pipinya.

Hal yang paling mungkin ia lakukan kini adalah menunggu Abi pulang tanpa harus menyalahkan keadaan. Semua orang boleh berubah sikap padanya asal jangan sikap Abi.

Di tempat yang berbeda, Abi bertemu dengan Ary. Keduanya langsung membahas tumpukan pekerjaan yang memang harus segera terselesaikan. Sejak ditinggal Bara ke Jakarta tiga hari yang lalu karena urusan dengan kementrian luar negeri, Abi memang menjadi orang yang bertanggung jawab atas segala macam operasional semua lini usaha orang tuanya.

"Menur sudah bisa ditinggal lama, kan, Bi?" tanya Ary.

"Maksud kamu?" Abi meletakkan bolpoin di atas kertas yang harusnya ia tanda tangani.

"Sepertinya malam ini kita harus lembur untuk menyelesaikan laporan keuangan yang baru bisa aku kerjakan separo, karena besok pagi harus sudah diserahkan Bapak ke kementrian."

"Lho bukannya kemarin sudah kelar kita kerjakan?" Abi meninggikan suaranya.

"Dirombak total. Bapak nggak berkenan dengan laporan itu," jawab Ary frustrasi.

"Selama kamu nggak ada, Bapak tuh banyak ngerombak sistem kerja termasuk juga dengan laporan-laporannya. Jadi puyeng deh harus revisi sana sini," adu Ary.

"Serius?" tanya Abi tidak percaya.

"Kamu pikir aku bercanda? Nggak lihat apa muka lecek seperti ini?! Entahlah aku ini bisa disebut sebagai asisten, sekretaris atau kepala keuangan sama Bapak. Rasanya semua pekerjaan itu numpuknya di aku." Ary menghempaskan tubuhnya di sofa yang ada di ruangan Abi.

Abi berdeceh, berulang kali ia melirik jam yang melingkar di lengan kirinya. Ia sudah berjanji untuk cepat pulang pada Menur. Istrinya itu tentu sudah menunggu di rumah. Terlebih Abi tahu bahwa pasti akan banyak perubahan yang terjadi karena sikap Ambar yang tidak lagi bisa diajak kompromi.

"Pasti ini ada kaitannya dengan Ibu dan musibah yang menimpa Menur." Abi mendesah kecewa.

Ary yang hanya tahu sedikit memilih untuk tidak menanggapi pernyataan sahabatnya. Dia hanya menunjukkan simpati dengan mendekati Abi lalu menepuk pundaknya pelan.

"Percaya sama qodarnya Allah, Bi. Setidaknya kamu harus bisa menjadi pundak untuk istrimu bersandar. Menur pasti sangat membutuhkan dukungan orang yang paling dia percaya yaitu kamu," kata Ary.

"Thanks, Ry. Aku juga nggak habis pikir kenapa Ibu sampai semarah itu," jawab Abi pasrah.

"Bagaimanapun itu, beliau tetap ibumu. Wanita yang melahirkanmu ke dunia, kamu harus tetap menghormatinya. Namun, kamu juga harus adil memberikan perhatianmu pada Menur. Ya udah, kita balik kerja." Ary meminta Abi segera menandatangani persetujuan laporan yang telah ia kerjakan.

Bukannya mengikuti instruksi Ary, Abi justru hanya menimbang bolpoinnya di udara. Beberapa saat kemudian bibirnya terbuka untuk meminta pendapata sahabatnya.

"Kalau memang kondisinya kita kewalahan, mengapa nggak mencoba untuk membuka lowongan pekerjaan, Ry," kata Abi.

"Maksud kamu asisten Bapak?"

"No! Bukan asisten, tapi lebih tepatnya sekretaris untuk Romo. Biar pekerjaan sekretaris dan asisten itu memiliki batasan yang jelas, sehingga nggak numpuk di kamu."

Seolah mendapatkan angin surga, tanpa menunggu jeda waktu Ary segera menganggukkan kepala untuk menyetujuinya.

"Kamu yang ngomong sama Bapak, aku siapkan prosesnya," jawab Ary.

"Oke, sepakat." Abi mengulurkan tangan kanan yang disambut hangat oleh Ary.

Berharap saja semoga keinginan mereka bukan hanya pepesan kosong belaka.☼

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top