5A
Tidak ada pertanyaan yang tidak memiliki jawaban. Hanya saja bisa jadi jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu terjawab langsung atau harus menunggu waktu memainkan perannya. Sama seperti doa, Allah bisa saja mengabulkannya secara langsung, menundanya atau justru mengganti dengan yang lebih baik. Menur mengucapkan syukur puluhan kali ketika dokter menyampaikan perkembangan pemulihan kesehatannya. Hari itu akhirnya ia diperbolehkan meninggalkan rumah sakit dan melanjutkannya dengan rawat jalan sampai kondisinya benar-benar pulih.
Namun, setelah Menur sampai di rumah yang juga merupakan kediaman keluarga Barata Gandasulli, hatinya sedikit terhenyak dengan perubahan sikap yang ditunjukkan oleh Ambar. Ibu mertua yang ia kenal sangat menyayanginya itu terlihat acuh saat ia tiba. Walau kecurigaan itu tiba-tiba muncul, tapi Menur segera mengenyahkannya.
"Kamu kenapa kok tiba-tiba diam gitu?" tanya Abi.
Menur menggelengkan kepala perlahan. Embusan napasnya telah menjadi jawaban atas pertanyaan Abi walau tanpa kata-kata.
"Kamu istirahat di sini, aku ambilin minum dulu," kata Abi.
Kamar adalah area privasi yang menurut Abi cukup baginya meninggalkan Menur sendiri untuk menjelaskan dan meminta pengertian sang ibu dengan kondisi istrinya tanpa bisa didengar oleh Menur.
"Tapi, Mas, kata Dokter Kesha kan aku harus banyak berjalan supaya jahitannya bisa lebih lentur menyesuaikan—" sanggah Menur.
Abi menatapnya tanpa jawaban. Ia berlalu dari hadapan Menur, tapi sebelum itu tatapan matanya memberikan isyarat kepada Menur untuk tetap tinggal di kamar tanpa perlu banyak protes padanya.
Tidak mendengar bukan berarti tidak bisa merasakan. Menur sudah mengira saat Abi tidak cepat kembali. Jika hanya mengambilkan minuman untuknya tidak akan memakan waktu selama itu. Abi pasti sengaja bicara dengan orang tuanya yang tidak boleh diketahui Menur.
Air mata Menur mulai menetes. Semenjak musibah kecelakaan dan keguguran yang ia alami, perasaan sensitif dan negatif itu lebih sering menghampiri. Walaupun Menur berusaha menampik dengan puluhan perbuatan baik yang pernah ia terima, tapi tetap saja tidak bisa menghapus ketidakhadiran Ambar di rumah sakit selama ia dirawat di sana.
Terlalu ganjil untuk bisa dimengerti. Bahkan Menur tidak bisa meraba dengan pasti apa yang mengubah sikap sang mertua kepadanya selain peristiwa tragis itu. Karena pagi hari sebelum kejadian itu Ambar masih seperti biasanya, sangat perhatian pada Menur. Sementara setelah kejadian itu Menur hanya bisa memejamkan mata sambil menghela napas kala harus mengingatnya.
Menur terlambat menghapus air matanya ketika suara Abi membuatnya kaget. Suaminya itu telah berdiri di depannya sambil membawakan minuman yang ia janjikan sebelumnya.
"Kenapa kamu menangis, Sayang?" Abi membungkuk menghapus air mata Menur yang masih tersisa di pipi.
Gelas yang ada di tangannya kini telah berpindah tempat. Menur mengambilnya lalu segera menandaskannya. Hal yang paling mungkin dilakukan wanita itu untuk mengalihkan fokus sang suami. Sayangnya Abi bukanlah sosok laki-laki cuek yang bisa mengabaikan sikap Menur begitu saja.
"Maaf—" Kata paling ambigu yang berhasil keluar dari bibir Abi untuk Menur.
Menur masih diam menunggu kalimat lanjutan dari Abi yang harus dia dengarkan. Namun, bukannya melanjutkan Abi justru semakin menundukkan kepalanya.
"Ibu marah sama aku ya Mas?" tanya Menur memberanikan diri.
"Pasti karena anak kita telah meninggal sebelum sempat terlahir ke dunia, kan?" cecarnya.
"Sampai-sampai Ibu nggak mau menemuiku di rumah sakit. Karena menganggap musibah ini—"
"Nggak, Nur. Semua karena aku, bukan kamu. Aku yang salah," jawab Abi.
Berada di tengah-tengah antara istri dan orang tua membuat Abi harus lebih berhati-hati dalam berucap.
"Lalu kenapa Mas Abi diam aja?" kata Menur.
Abi lagi-lagi hanya bisa memejamkan matanya. Bingung harus menjawab apa. Ambar benar-benar tidak bisa menerima kenyataan bahwa ia dan Menur sudah tidak mungkin lagi akan mendapatkan keturunan yang bisa meneruskan garis trah keluarga mereka.
"Nggak mungkin, Bu. Menur sudah nggak punya rahim. Bagaimana caranya kami mendapatkan keturunan?" Lamunan Abi kembali pada percakapannya terakhir bersama Ambar.
"Romo dan Ibu itu hanya memiliki kamu, Bi. Harusnya kamu mengerti tanpa harus Ibu beri tahu. Siapa yang akan meneruskan semua ini kalau kamu nggak punya anak? Usaha Romo, usaha Ibu, semua akan menjadi milik kamu nantinya. Kalau—"
"Bu, apa Ibu sadar mengatakan semua itu? Ibu nggak lagi percaya dengan takdir?" Suara Abi sedikit meninggi.
"Bi, sebagai manusia itu kita nggak boleh pasrah seperti itu. Kemajuan teknologi itu juga mempengaruhi ilmu kedokteran."
"Maksud Ibu apa?" Abi mengerutkan keningnya.
"Surrogate mother," jawab Ambar dengan cepat.
Pernyataan Ambar itu seketika membuat Abi terhenyak beberapa langkah ke belakang. Bagaimana mungkin Ambar berpikir tentang ibu pengganti atau yang lebih dikenal dengan istilah pinjam rahim.
"Banyak contohnya, Bi, tapi yang mungkin khalayak tahu itu adalah Abraam Khan. Dia terlahir sebagai anak Shahrukh Khan tapi bukan dari rahim Gauri." Ambar semakin berapi-api.
"Nggak mungkin, Bu. Abi nggak ingin semakin menyakiti hati Menur." Abi masih berusaha mengambil hati ibunya.
Namun, semakin disanggah maka semakin kukuh bagi Ambar mempertahankan pendapatnya. Bak orang gelap mata yang enggan mendengarkan nasihat dari orang lain walau itu adalah kebenaran yang harus ia terima.
"Menyakiti hati? Harusnya Menur lebih tahu diri dengan keadaannya, Bi."
"Bu, bahkan dia belum tahu kalau rahimnya sudah diangkat." Abi semakin frustrasi.
"Untuk apa kamu merahasiakannya? Harusnya dia tahu, biar bisa sadar diri bahwa dia nggak mungkin memberikan keturunan untuk kamu."
"Astagfirullah, Ibu—" Abi tidak lagi memiliki kata-kata yang pas untuk menyanggah kalimat pedas yang dilontarkan Ambar.
"Kalau kamu nggak bisa menyampaikannya pada Menur, biar Ibu saja yang bilang padanya!"
"Jangan, Bu. Abi nggak akan pernah ikhlas sampai kapan pun!" tegas Abi.
"Nggak ikhlas? Ada-ada saja." Ambar tersenyum miring.
"Ibu!" Abi semakin muak dengan sikap Ambar. "Kalau sampai Ibu melakukan itu, Abi akan—"
"Akan apa?" tantang Ambar. "Kamu lupa siapa yang melahirkanmu ke dunia, sampai-sampai kamu harus menyumpahi ibumu sendiri? Durhaka kamu, Le. Nggak sepatutnya seorang anak berkata kasar pada orang tuanya, terlebih pada wanita yang telah memberimu nyawa untuk hidup," pungkasnya.
Wanita itu berlalu dari hadapan putranya. Sementara Abi berusaha untuk menetralkan emosinya sebelum ia kembali menemui Menur.
Sedikit kesedihan yang Allah berikan bukan berarti karena Ia membenci makhluk-Nya. Demikian pula masalah yang Ia berikan, bukan karena ingin mencelakai, tapi lebih tepatnya karena Allah ingin semua hamba-Nya menjadi diri yang kuat, diri yang mengerti dan memahami betapa satu-satunya tempat untuk berkeluh kesah adalah dengan menekuk lutut dan bersujud kepada-Nya. Abi mengusap wajahnya dengan kasar. Kalimat yang baru saja berdengung dalam pikirannya itu bukan hanya sebuah motivasi atau ilusi untuk menyenangkan hati. Kekosongan hatinya pasti dapat terobati dengan semakin mendekatkan diri pada Illahi Rabbi.
"Mas! Kok malah bengong?" sapa Menur yang membuat Abi menggeragap.
"Sudah ya, kamu jangan punya pikiran macam-macam." Abi mengusap kepala Menur lalu mencium kening istrinya dengan lembut.
"Hari ini aku harus ke kantor sebentar. Kalau kamu butuh apa-apa kamu tinggal bilang sama Mbak Marni," pesan Abi sebelum ia bersiap-siap pergi.
"Tapi ini sudah sore, Mas. Emangnya nggak bisa besok aja?" tanya Menur.
Abi menjadi serba salah. Meninggalkan Menur sendirian di rumah saat itu sesungguhnya bukanlah keputusan yang baik. Bagaimana kalau tiba-tiba Ambar menemui Menur dan mengatakan apa yang sebenarnya terjadi? Bukankah itu akan semakin menambah bumerang bagi dirinya.
Namun, puluhan pesan yang disampaikan oleh Ary tidak bisa ia abaikan begitu saja. Ada beberapa laporan penting dan dokumen yang harus diperiksa dan segera ia tanda tangani. Apalagi Abi juga harus menyelesaikan laporan yang harus ia serahkan ke kementrian luar negeri terkait kegiatan ASEAN yang terselenggara di Yogyakarta.
"Aku nggak akan lama kok. Cuma periksa kerjaan Ary habis itu langsung balik," kata Abi akhirnya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top