4B
"Jangan ngomongin poligami kenapa sih?! Bikin hati ngilu aja. Dasar emang laki-laki," gerutu Renita.
"Eit, jangan marah gitu. Mana mungkin aku gitu sih, satu kamu aja nggak habis pakai, ini malah mau nyari lainnya," jawab Ary. "Bener nggak, Bi?"
Abi hanya tersenyum menggelengkan kepalanya. Berteman sejak kecil membuat mereka sangat hafal perangai masing-masing. Ary terkadang menyebalkan karena candaan yang kelewat batas, tapi ia juga orang yang paling bisa diandalkan. Tentang pekerjaan dan hidup, Abi tahu persis sahabatnya itu adalah orang yang sangat serius dan bertanggung jawab.
"Masa kamu sebagai istrinya nggak kenal siapa Ary sih, Ren. Aku aja tahu gimana dia, meski bukan siapa-siapanya," kata Abi.
"Ya kali kamu suaminya!" Renita semakin memberengut.
Namun, drama ngambeknya Renita justru membuat hati Menur sedikit terhibur. Beberapa kali suara tawanya terdengar meski hanya lirih. Setidaknya itu sedikit mengobati dan sejenak melupakan luka hatinya.
"Ampun, Sayang, ampun...." Ary menggeliat sambil menahan geli ketika Renita mencoba menggelitik pinggangnya.
Saat Renita menghentikan aksinya, ketiganya kemudian tersenyum saat melihat tawa Menur benar-benar kembali. Wanita itu pun seolah bisa melepaskan beban sejenak. Namun, saat ia menyadari ketiga orang yang kini bersamanya hanya tersenyum melihatnya, Menur kemudian menghentikan tawanya.
Suasana kembali hening. Menur menatap satu persatu dari mereka secara bergantian dan bertanya dengan sorot matanya tanpa suara. Tidak ada jawaban yang keluar sampai Renita mendekati kemudian meraih tangannya kembali.
"Pada akhirnya kami sangat senang kamu bisa tertawa seperti itu lagi, Menur," kata Renita.
"Tangis dan tawa itu ibarat dua sisi mata uang yang nggak mungkin terpisahkan, Menur. Jika memang harus menangis, menangislah. Namun, tertawalah setelah itu. Seperti halnya roda yang selalu berputar, demikian pula dengan kehidupan," sambung Ary.
"Mungkin saat ini Allah mengambil kebahagiaan kalian, tapi yakinlah bahwa Dia pun telah menyiapkan gantinya dengan yang lebih indah untuk kalian berdua," imbuhnya.
"Kami berdua pulang dulu, ya? Supaya kamu bisa istirahat tanpa ada gangguan." Renita mengusap lengan Menur lalu menganggukkan kepalanya setelah itu.
Kamar rawat Menur kembali sepi, menyisakan ia dan Abi dan cerita sedih yang menyapa lagi. Menur pun kembali dengan wajah sedihnya.
"Kenapa harus kita ya, Mas?" kata Menur memecah keheningan di antara mereka.
Abi menghela napasnya sejenak. Sejuta kali ia berkata untuk membuat hati Menur tenang, sebanyak itu pula wanitanya itu akan mempertanyakan alasan mengapa mereka yang harus menerima cobaan itu dengan legawa.
"Jangan berburuk sangka sama Allah. Pertanyaan mengapa itu seolah kita nggak percaya lagi sama yang namanya takdir. Kita pasti bisa melalui semua ini bersama-sama," kata Abi.
"Tapi, Mas ...." sanggah Menur.
"Sayang ...." Abi menatap Menur lekat-lekat. "Apa pun keadaannya aku—" Kalimat Abi langsung dipotong oleh Menur.
"Mas Abi akan tetap sayang aku, kan, meski sekarang keguguran?" tanya Menur pelan.
Helaan napas Abi terdengar kembali. Kini ia percaya bahwa setiap wanita itu butuh legitimasi, word of affirmation atau love language lainnya yang harus selalu diucapkan. Mungkin sudah menjadi hukum alam jika setiap laki-laki harus lebih bersabar hati untuk memberikan jawaban meski sesungguhnya tanpa Abi menjawab pun Menur sudah tahu bahwa seluruh cinta Abi hanya miliknya.
"Sampai kapan pun kamu tanya, jawabannya hanya ada satu." Abi meletakkan keningnya di kening Menur. "Kamu pasti tahu kalau aku sangat menyayangimu, Nur."
Menur merasakan desahan napas Abi yang berembus di mukanya. Perlahan laki-laki itu menjauhkan wajahnya dan merangkum wajah Menur dengan kedua tangannya. Mereka saling menatap saat bibir Abi bergerak tanpa suara. Dari gerakannya, Menur tahu bahwa suaminya itu mengatakan bahwa ia sangat mencintainya.
Biasanya Menur langsung menjawab dengan hal yang serupa, tapi kali ini ia hanya diam lalu mengalihkan tatapannya ke tempat lain. Mencium hal yang tak biasa, Abi langsung bertanya pada istrinya.
"Kok diam? Ada yang salah dengan ucapanku?"
Menur masih diam sampai Abi menggoyangkan lengannya hingga fokusnya kini beralih pada sang suami.
"Aku kok kepikiran sama omongannya Renita ya, Mas."
Kening Abi berkerut. "Omongan yang mana?"
"Mas Abi nggak ada niatan untuk poligami, kan, karena musibah yang menimpaku ini?"
"Ya Allah, Menur. Kenapa kamu berpikiran sempit ... ish!" Abi meremas rambutnya.
Jika di depannya bukan Menur mungkin ia sudah mengumpat saat itu juga. Setelah berulangkali ia mengatakan rasa sayang dan cintanya pada Menur mengapa istrinya itu justru memiliki pemikiran aneh seperti itu.
"Mas, tapi aku—" kata Menur.
"Sudah, sekarang kamu istirahat dulu. Aku keluar sebentar."
Selama hamil, perangai Menur memang seringkali berubah sesuai dengan mood-nya dan Abi bisa menerima semua itu. Dengan telaten ia menuruti semua keinginan istrinya, tapi sekarang ia butuh asupan oksigen yang lebih banyak untuk memupuk sabarnya memahami Menur.
"Mas Abi mau ke mana?" tanya Menur.
Abi menoleh sesaat. Dia hanya tersenyum lalu menunjuk pintu dengan telunjuknya.
Kaki Abi kembali melangkah, tapi ucapan Menur membuatnya kembali berhenti.
"Kok dari aku sadar, Ibu dan Romo belum kelihatan, Mas. Apa mereka nggak tahu kalau aku—?" Kalimat Menur menggantung. Rasanya tidak mungkin jika keluarga sang suami tidak mengetahui keadaannya.
Namun, berbeda dari apa yang dipikirkan Menur, Abi justru merasa sangat bersalah. Mengingat betapa murkanya sang ibunda pada menantu kesayangannya. Meski sudah berulang kali Abi menjelaskan kronologisnya, sepertinya Ambar tidak bisa menerima musibah yang harus mengubur impiannya memiliki cucu secepatnya. Apalagi saat mengetahui rahim Menur diangkat karena alasan medis yang menurutnya sangat tidak masuk akal.
"Aku hanya keluar sebentar," kata Abi kemudian benar-benar meninggalkan Menur seorang diri di kamar.
Keluar kamar yang semula diharapkan bisa membuat hatinya tenang sejenak justru semakin membuat Abi semakin resah. Bagaimana menjelaskan kepada Menur atas sikap ibunya. Allah terlalu cepat mengubah rasa dan membalikkan hati hamba-Nya. Atau mungkin rasa sayang itu hanya sekadar polesan untuk menyenangkan sesama. Abi justru merasa asing di rumahnya sendiri.
Di dalam kamar, Menur masih juga terngiang kata poligami yang menjadi bunga percakapan bersama suami dan sahabat mereka. Benar, perkara sunah yang memiliki bobot pahala besar dalam pelaksanaannya. Namun, jika diperbolehkan memilih, tentu saja Menur sependapat dengan Renita. Ibadah itu akan membuat ngilu hati sepanjang usianya.
Jika ucapan merupakan doa, maka cukuplah berkata dan berpikir positif atas semua jalan takdir yang telah tertulis.☼
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top