4A
Menerima kenyataan atas sebuah kehilangan itu tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Apalagi bagi seorang wanita mengetahui calon putra yang masih ada di kandungannya meninggal karena kecerobohan yang tidak sengaja ia lakukan. Seperti pupus semua harapan dan doa yang selalu dipanjatkan.
Hidup adalah perjuangan dan takdir sepenuhnya Allah yang menentukan. Bibir pucat milik Menur masih bergerak untuk melangitkan doa. Air matanya belum berhenti menetes. Kehilangan pada saat dia belum mengenalnya secara langsung.
"Mengapa bukan aku saja yang Engkau ambil, Ya Rabb? Kenapa harus dia?" Lirih suara Menur terdengar samar-samar.
Abi masih setia di samping Menur. Bukan hanya wanita yang kini sedang menangis di hadapannya saja yang mengenal kata kehilangan. Sebagai calon ayah pun, ia justru merasakan patah hati terhebat sepanjang hidupnya ketika harus memakamkan calon putra ke peristirahatan terakhirnya.
"Aku yang membunuh anak kita, Mas. Aku yang nggak bisa menjaganya," racau Menur dengan tatapan kosong.
Abi masih menggenggam tangan istrinya. Jika tidak mengingat ada Menur yang harus ia kuatkan, saat itu juga Abi memastikan bahwa ia pun ingin meraung sekencang-kencangnya. Mengajukan protes pada Allah mengapa harus mereka yang mengalami peristiwa pahit itu.
"Iya, kan, Mas? Aku ini ibu yang jahat?" tanya Menur kemudian menunduk dan menangis lagi.
Tidak ada kalimat yang bisa menenangkan hati Menur kecuali pelukan yang diberikan Abi padanya.
"Kalaupun ada yang harus disalahkan, tentu saja itu aku, Nur. Aku yang nggak lihat kanan kiri waktu menyeberang kemarin. Sampai kejadian tragis itu terjadi." Abi semakin menenggelamkan mukanya ke bawah. "Maafin aku," lanjutnya.
Menur masih menjalani pemulihan pascaoperasi. Multioperation yang harus dijalani Menur membuatnya sedikit lebih lama berada di rumah sakit. Selain pengangkatan rahim, Menur juga harus berurusan dengan orthopedi karena fraktur tulang belikat.
"Kapan aku dibolehin pulang, Mas?" tanya Menur tiba-tiba.
Abi kembali menatap Menur dengan gelengan kepala. Jujur ia sendiri juga belum tahu bagaimana perkembangan Menur sekarang. Ia juga belum jujur sepenuhnya pada sang istri. Menur hanya tahu dia operasi bahu dan caesar tanpa mengetahui bahwa kini ia telah menjadi seorang wanita tanpa rahim.
"Mana bisa begitu, Sayang. Kita di sini dulu sampai kamu kuat," jawab Abi.
Menur mendesah pelan. "Aku ingin minta maaf pada Ibu dan Romo, Mas."
Abi tercenung mendengar kalimat yang baru saja diucapkan Menur. Percaya bahwa sang istri sangat menyayangi keluarganya, bahkan saat sakit pun ia masih berpikir bagaimana menyenangkan hati mertuanya. Padahal semua salah jelas, harusnya tertuju pada Abi.
"Ibu dan Romo mengerti, Sayang. Bukan kamu yang salah, tapi aku," jawab Abi.
"Nggak, Mas. Aku yang mengandung, harusnya aku bisa menjaganya, tapi ini justru malah membuatnya pergi ke surga tanpa bertemu dengan kita. Ya Allah ...." Lagi-lagi Menur meneteskan air matanya.
"Nggak, Sayang, nggak gitu. Kita—" Belum sampai Abi menyelesaikan kalimatnya, tiba-tiba terdengar suara pintu kamar diketuk seseorang.
Beberapa detik kemudian mucul wajah yang tidak asing lagi bagi Abi dan Menur. Aryaksa bersama sang istri, Renita datang membesuk Menur.
Bukannya berhenti menangis, air mata Menur justru semakin deras mengalir. Perasaannya campur aduk mendapati sahabat suaminya datang bersama sang istri yang juga sejawatnya. Terlebih saat melihat perut Renita yang mulai kelihatan baby bump-nya.
"Sabar ya, Nur. Semua ini sudah menjadi kehendak-Nya. Jika boleh memilih, nggak ada wanita yang mau berada di posisimu sekarang." Renita memeluk Menur yang masih terbaring karena keadaannya belum memungkinkan untuk duduk.
"Ren, anakku, Ren ...." Menur tidak sanggup lagi berkata-kata.
Renita pun hanya sanggup mengusap air mata Menur tanpa memberikan jawaban. Sebagai wanita, ia sangat memahami seperti apa remuknya Menur saat ini. Bukan hanya tentang fisik setelah beberapa sayatan scalpel yang sengaja dibuat dalam proses operasi kemarin, tapi hati dan mentalnya yang harus selalu dijaga utuk tetap berpikir waras. Jangan sampai terjebak dalam keputusasaan karena impiannya musnah. menganggap doa yang selalu digaungkan seolah menguap tanpa guna dan inginnya tak lagi sesuai dengan kenyataan yang ada.
"Kamu jangan ngerasa sendiri. Pastinya akan ada Mas Abi, aku dan bahkan Mas Ary yang siap jadi tempatmu cerita. Apa pun itu," kata Renita setelah air mata Menur mulai menyusut.
"Tapi anakku tetap nggak akan bisa kembali, Ren. Dia udah pergi sebelum kami sempat bertemu," jawab Menur.
Lagi-lagi tatapan kosong milik Menur lebih mendominasi. Renita sampai bingung menenangkan ketika sang sahabat mulai menangis dan menyesali dengan apa yang terjadi padanya.
"Coba aku kemarin nurut sama kamu, Ren. Mungkin sekarang dia masih di sini." Menur mengusap perutnya dengan tangan yang juga terikat dengan selang infus.
Mendengar semua keluhan Menur, hati Abi tidak kalah tersiksanya. Jika bukan karena ingin menyelamatkannya dari sebuah kecelakaan tentu saja sang istri masih sehat walafiat. Dan putra mereka tentu masih menjadi harapan yang tetap akan dinantikan kehadirannya.
"Jalan hidup dan takdir masing-masing orang itu nggak ada yang sama, Nur. Dalam setiap pernikahan pasti akan ada cobaannya sendiri-sendiri." Renita tersenyum menatap Menur. Bukan karena ia tidak berempati, tapi supaya bisa menenangkan hati sang sahabat.
"Aisyah pun juga tidak berputra, Menur, tapi beliau tetap menjadi wanita yang istimewa di mata Allah." Renita menatap Abi sekilas tapi terlihat laki-laki itu menggelengkan kepalanya dengan cepat.
"Sayang, benar kata Reni. Ini cobaan dalam rumah tangga kita, asalkan kita berdua selalu bergandengan tangan, kita pasti bisa melaluinya bersama-sama." Abi segera mengalihkan perhatian Menur padanya.
Renita pun menyadari kesalahannya saat mata Ary memberikan isyarat bahwa Menur belum mengetahui apa yang terjadi padanya saat itu. Ia berniat berdiri dan memberikan ruang pada Abi untuk mendekati Menur, tapi tangan Menur justru terulur untuk menahannya tetap duduk di tempat tidurnya.
"Ini sudah berapa bulan, Ren?" Tiba-tiba tangan Menur mengusap perut Renita yang masih rata.
Abi, Ary dan Renita mulai berpandangan, tapi dengan cepat Renita menjawab pertanyaan Menur supaya sang sahabat tidak curiga dengan sikap mereka bertiga.
"Baru sembilan minggu, makanya belum kelihatan baby bump-nya."
Menur berusaha tersenyum meski wajahnya tidak bisa berbohong kalau hatinya sedang terluka.
"Padahal dulu kita pernah bercanda mau jodohin mereka kalau lahir cowok-cewek, tapi ternyata—" kata Menur yang semakin membuat terenyuh.
Renita menahan tangan Menur di perutnya.
"Kamu juga boleh menganggap anak ini sebagai anakmu juga. Mas Ary nggak keberatan, kan kalau Mamot -- Panggilan kesayangan untuk calon bayi Aryaksa dan Renita -- punya dua mama nantinya?" kata Renita.
Abi dan Ary menghela napas bersama-sama mendengar kalimat yang baru saja diucapkan Renita.
"Tentu boleh dong. Bukan hanya punya dua mama, tapi Mamot juga akan punya dua papa. Kok kesannya kalau hanya dua mama jadi aku yang poligami ya," kelakar Ary yang justru membuat Menur tersenyum sambil menggelengkan kepalanya.
"Mana bisa begitu, Mas!" Mata Renita membola. "Kan Menur juga punya suami, ada-ada aja sih, ish!" Renita mendengkus kesal.
Abi dan Ary bertatapan lalu tertawa lirih.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top