3A

Mendung yang menggelayung sedari pagi sejatinya sebagai pertanda bahwa hujan akan kembali menyapa bumi. Iklim yang tidak lagi seimbang membuat musim menjadi carut marut. Seperti hari itu, hujan deras hadir di musim kemarau.

Menur masih duduk di meja kerjanya, padahal shif kerjanya sudah selesai lima belas menit yang lalu. Beberapa kali dia memastikan derasnya curah hujan yang jatuh. Desahan napas membuat orang-orang yang ada di sekitarnya bisa menebak meski tanpa tanya dan jawaban darinya.

"Lagian kamu ini ya aneh, Nur. Di rumah ada sopir kenapa nggak telepon suruh jemput aja ke sini. Ini malah ngidam naik Transjogja, mana nggak bawa payung lagi," ledek Renita.

"Iya, emangnya kamu mau lari ke halte seberang rumah sakit untuk menghindari guyuran hujan?" tambah temannya yang lain.

"Ah, aku kalau jadi Menur mending duduk santai di rumah, menikmati hasil kerja suami sambil nunjuk sana, nunjuk sini, mumpung sedang hamil juga kan, pasti semua dituruti."

Mendengar celetukan Renita membuat semua nakes yang ada di nurse station tertawa renyah. Tak terkecuali juga dengan Menur. Dia bahkan sampai menggelengkan kepalanya.

Semua orang di rumah sakit itu tahu bahwa dia adalah menantu dari salah satu konglomerat di Yogyakarta. Jadi sebenarnya semua celetukan Renita benar adanya. Menur tidak perlu susah payah bekerja seperti yang ia lakukan saat ini. Namun, semua orang juga tahu bahwa salah satu nakes terbaik rumah sakit itu tidak suka menggantungkan nasibnya pada kebaikan tangan orang lain. Menur adalah wanita yang penuh semangat dalam bekerja dan melakukan semua pekerjaannya dengan baik meski secara materi mungkin dia tidak terlalu membutuhkannya karena Abi pasti lebih daripada cukup untuk menafkahinya.

Satu jam berlalu dari pergantian shif kerja, tapi hujan masih belum juga mereda. Menur juga masih berada di rumah sakit meski ia tidak melakukan pekerjaan apa pun.

"Pulang gih, Nur. Kok rasanya seperti kamu sedang marahan sama Pak Abi. Aku pesenin ojek car deh, biar kamu bisa istirahat di rumah. Perut sudah besar gitu, pasti susah buat gerak," tawar Renita.

"Makasih, Ren. Ini aku sudah telepon Mas Abi untuk jemput kok, katanya setengah jam lagi setelah dia selesai rapat dengan staffnya di hotel," jawab Menur sambil mengelus perutnya.

Melihat sejawatnya berulangkali mengusap perut sambil berbicara bahasa ibu pada calon putranya, tentu saja menggelitik sisi keibuan Renita yang juga akan memiliki bayi.

"Kalau melihat besarnya perutmu, sepertinya sekarang sudah memasuki bab terakhir di trimester kedua," tebak Renita.

"Jitu banget sih calon ibu ini nebaknya." Menur tertawa menanggapinya.

"Beruntung banget kamu, Nur, nggak ngalami drama morning sickness seperti yang aku alami sekarang. Bisa bayangin kan, gimana repotnya Mas Ary?" tambah Renita.

Menur hanya menganggukkan kepala tanpa suara. Selanjutnya ia lebih fokus menghitung detik berputar. Rindunya sudah tak bisa diajak kompromi. Sembilan jam berpisah dengan Abi sukses membuatnya gelisah. Tidak ada obat paling mujarab untuk menyembuhkannya kecuali segera bertemu dengan suami tercinta.

"Nur, Nur, bucinmu buat apotek di dunia tutup. Nggak ada obat," teriak Renita.

Mungkin Menur tidak lagi mendengarnya karena ia sudah berdiri di luar pintu kaca yang memisahkan mereka sambil melambaikan tangannya.

Mas Abi pasti sudah dekat, gumam Menur dalam hati.

Meski belum ada pesan masuk yang mengabarkan bahwa sang suami sudah dekat dengan rumah sakit tempat Menur bekerja, tapi menurutnya lebih baik bersiap. Selain tentang rasa rindu hal lain yang membuat Menur benci adalah antrian mobil kala hujan turun. Kakinya bergerak ringan menuju lobi pendaftaran sambil mengetikkan pesan yang bisa dibaca Abi bahwa ia sudah siap di sana.

Namun, sampai dengan cokelat Goldking yang ada di tangannya nyaris habis, sang suami belum juga membaca pesannya. Perasaan Menur semakin gelisah ketika berulangkali dia mencoba untuk menelepon Abi, tapi sang suami tidak menjawabnya.

Beberapa kali Menur melongok ke pintu, tapi yang terlihat tetap sama, hujan yang semakin deras dan antrian mobil yang hendak menurunkan pasien atau menjemput pasien yang telah diperbolehkan pulang.

"Mas, jangan buat aku semakin khawatir karena kamu nggak angkat telepon!" Menur mendengkus kesal. Ia masih mencoba menelepon Abi meski hasilnya masih sama.

Sampai Menur memutuskan keluar gedung dan menerobos hujan dengan meminjam salah satu payung yang ada di lobi. Tidak ada hal lain yang ada di pikirannya kecuali keadaan Abi.

"Mas, ada apa sama kamu sebenernya. Jangan buat aku khawatir seperti ini." Berulangkali Menur bergumam sambil celingak-celinguk mencari sosok suaminya di antara deretan mobil yang menunggu antrian masuk ke selasar lobi rumah sakit.

Entah kekuatan apa yang membuat Menur tetap melangkah menjauh dari bangunan kokoh yang setiap hari menjadi tempatnya mengais rezeki. Sampai akhirnya berada di gerbang utama pintu masuk halaman rumah sakit. Mata Menur masih mencari sosok Abi meski mulai menggigil karena percikan air hujan yang mengenai tubuhnya. Sepertinya bajunya juga ikut basah karena hujan sore itu juga disertai angin yang sedikit kencang.

Kata pasrah akhirnya membuat Menur membuka aplikasi taksi online yang bisa mengantarkannya pulang ke rumah. Ia mengembuskan napasnya dengan kasar setelah mendapatkan taksi yang dimaksud. Namun, konsentrasinya mendadak buyar ketika matanya melihat mobil Abi yang terparkir di tepi jalan, agak jauh dari tempatnya berdiri.

"Itu jelas mobil Mas Abi, tapi kenapa berhenti di sana dengan kap terbuka? Atau jangan-jangan mobilnya mogok? Tapi masa iya mobil baru bisa mogok?"

Belum sampai Menur mendapatkan jawaban atas semua pertanyaan dalam hatinya, tiba-tiba sosok Abi terlihat membawa payung lipat untuk melindungi tubuhnya mendekati kap mobil miliknya yang telah terbuka.

"Mas Abi ... Mas." Menur berteriak sekuat tenaga.

Dengan jarak lebih dari seratus meter dan dalam kondisi hujan deras tentu saja Abi tidak mendengar teriakannya. Tidak menyerah sampai di situ, Menur segera berjalan mendekati Abi yang terlihat sedang membenarkan sesuatu.

"Mas Abi ...." Menur masih berteriak dengan kencang.

Abi menggerakkan kepala dan pandangannya ke arah sumber suara. Akhirnya setelah berulangkali Menur berteriak, suaranya sampai juga ke telinga Abi meski hanya terdengar sayup-sayup.

"Mobilnya tiba-tiba mogok," kata Abi yang meminta Menur tetap berdiri di tempatnya dengan isyarat tangannya.

Tanpa menunda lagi, Abi segera meninggalkan kegiatannya dan berniat berjalan mendekati Menur. Sayangnya mungkin ia lupa bahwa kini mereka sedang berdiri di tepi jalan dengan ruas yang berbeda. Sehingga ketika ingin menggapai salah satunya maka mereka harus menyeberang jalan. Abi segera berjalan tanpa memastikan lalu lintas dari arah kanan dan kirinya. Keinginannya hanya satu, ia ingin menjelaskan kepada Menur bahwa gawainya tertinggal di kantor. Istrinya itu pasti khawatir mengapa tidak bisa dihubungi.

Mungkin Abi tidak melihat ada sebuah mobil melaju dengan kecepatan kencang tanpa menyalakan lampu, tapi Menur melihatnya.

"Mobilnya nggak bisa jalan, tapi mesinnya nggak—" Belum selesai Abi bicara, Menur melepas payung di tangannya dan sedikit berlari ke arah Abi untuk mendorongnya ke tepi jalan.

"Mas menepi, ada mobil—" teriak Menur.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top