1B
"Meeting di Solo, Bu?" Menur menegaskan kembali. Seingatnya, pagi ini Abi tidak bercerita kalau ia akan ke Solo. Meski hanya dua setengah jam perjalanan dari Yogyakarta, biasanya hal kecil seperti itu tidak pernah terlewat untuk diceritakan pada Menur.
"Lho, memangnya Abi belum cerita?" tanya Ambar yang langsung dijawab anggukan oleh Menur.
Wanita paruh baya itu meminta sang menantu duduk kemudian menjelaskan sedikit tentang alasan apa yang mengharuskan sang putra pergi ke Solo hari itu juga.
"Jadi Mas Abi yang menangin tender untuk menjamu peserta konferensi ASEAN di Yogyakarta, Bu? Wah hebat sekali suamiku, jadi makin cinta deh," puji Menur.
"Ssttt." Ambar memberi isyarat kepada Menur untuk tidak berisik, karena mungkin Abi masih merahasiakannya dan akan memberikan surprise tentang kabar itu pada Menur.
"Bukan hanya itu, hotel kita nantinya juga dijadikan tempat menginap tamu-tamu dari ASEAN itu?" tambah Ambar.
"Wow." Mata Menur membulat seketika.
Rasanya merasa terhormat jika bisa dilibatkan dalam acara penting seperti itu. Dengan kata lain, setelah acara itu akan banyak kunjungan wisatawan yang ingin menginap atau sekadar melihat fasilitas yang mereka berikan untuk tamu-tamu istimewa dan akan memberikan review penginapan yang baik di media. Demikian pula dengan rumah makan mereka. Yang pasti akan mendatangkan untung yang jauh lebih fantastis.
"Lalu hubungannya dengan Pak Wiryo apa Bu? Kan beliau juragan batik seperti Ibu?" Menur justru lebih tertarik mendapatkan informasi dari sang ibu daripada harus menunggu Abi menceritakan semua kepadanya.
Tangan Ambar terkibas pelan. Helaan napas kecewa menguar dari bibir Menur. Kalau sudah demikian Menur harus menuruti perintah nyonya rumah itu, meninggalkan dapur dan mengurus keperluan Abi yang lainnya.
Langkah ringan pun membawa tubuh Menur kembali ke kamar. Menyiapkan pakaian yang pantas dipakai Abi untuk bertemu dengan orang penting di Solo.
"Sayang ... ah, ternyata kamu di kamar." Abi menata kembali napasnya.
Melihat Menur yang sedang menyiapkan pakaiannya, sekilas Abi mengerutkan kening lalu berjalan mendekati Menur dan menunjuk pakaiannya yang masih ada di tangan sang istri.
"Udah, nggak usah pura-pura terkejut begitu. Ibu sudah cerita sebagian, memangnya kenapa Mas Abi harus bertemu dengan Pak Wiryo hari ini?" kata Menur sembari meletakkan satu stel pakaian yang ia siapkan untuk Abi di atas tempat tidur mereka.
"Nah itu dia yang mau aku bicarakan sama kamu. Aku lupa kalau hari ini harus bertemu dengan Pak Wiryo di Solo, itu pun nggak tahu nanti bisa pulang jam berapa," kata Abi.
"Kata Ibu tentang pertemuan ASEAN itu ...." Menur sengaja menggantung ucapannya.
"Beberapa hari yang lalu, pihak panitia menghubungiku untuk menyiapkan souvenir dan mereka meminta batik dengan kualitas super. Itu sebabnya aku harus bertemu dengan Pak Wiryo untuk ngomongin masalah ini, karena lusa sampai minggu depan beliau ada di Belanda," jelas Abi.
Menur mengangguk mengerti. Biasanya souvenir untuk orang-orang penting seperti itu memang minta yang eksklusif, sehingga Abi harus mempersiapkan dengan baik. Mulai dari bahan sampai dengan pengerjaannya biasanya dirancang khusus hanya untuk acara itu. Dan karena Yogyakarta sebagai tempat diselenggarakannya konferensi, tentu saja batik tulis halus sebagai souvenir yang paling menarik.
"Tapi kan, kita sudah buat janji dengan Dokter Kesha, Sayang. Gimana dong? Aku juga pengen cepet-cepet kenalan dengan anak kita." Abi mengusap wajahnya kasar.
Menur tersenyum dan mendudukkan Abi di atas tempat tidur mereka. Tidak berbeda dengan keinginan suaminya, sesungguhnya Menur juga ingin memastikan bagaimana keadaan janinnya dalam kandungan, tapi kalau mengingat betapa sibuknya sang suami hari itu rasanya terlalu egois jika Menur harus memaksakan diri.
"Ketemu Dokter Kesha bisa besok kok, Mas," kata Menur.
"Kamu yakin?" tanya Abi tidak rela.
"Yah mau bagaimana lagi? Masa iya aku periksa sendiri nanti, nggak ah. Nanti aku cancel saja ke asistennya Dokter Kesha. Kita reschedule lagi kapan waktu yang tepat," tolak Menur.
"Sebaiknya jangan dibatalkan." Pintu kamar tidur Abi dan Menur yang terbuka membuat Ambar leluasa untuk masuk dan nimbrung dalam obrolan keduanya.
"Biar Bapak dan Ibu yang mengantar jika Abi belum pulang dari Solo. Siapa tahu saja nanti sore urusanmu dengan Pak Wiryo sudah selesai, Bi, jadi bisa langsung menyusul kami di rumah sakit," sambung Ambar.
Abi dan Menur saling memandang. Keduanya menimbang baik dan buruknya dari pendapat Ambar meski tanpa suara.
"Kalaupun memang nggak bisa datang, besok atau lusa bisa membuat janji lagi bertemu dengan Dokter Kesha agar kamu bisa mendengar langsung keterangannya. Sekarang yang penting kita memastikan kandungan Menur dulu," kata Ambar lagi.
Lebih cepat tahu lebih baik karena prinsip mencegah lebih baik daripada mengobati itu adalah benar adanya. Abi mengangguk pasrah, ia setuju kedua orang tuanya mengantarkan Menur memeriksakan kandungan untuk pertama kali tanpanya menyertai.
"Jangan lupa cetak hasil USGnya, Sayang." Abi mengusap perut Menur sekilas lalu menatap ibunya. "Ibu kenapa tiba-tiba ada di sini?" tanya laki-laki itu.
"O iya, kamu diminta nemui Bapak di taman depan sekarang."
Sepeninggal Abi, Menur dan mertuanya saling menatap dengan hangat. Ambar tahu ada kekecewaan di sudut mata menantunya. Namun, sebagai seorang ibu, ia ingin memberikan yang terbaik untuk putra putrinya.
"Jangan berpikir negatif pada Ibu, bukan berarti Ibu nggak mau memberikan ruang privasi untuk kalian berdua. Justru karena Ibu ingin kamu menganggap Ibu ini bukan mertuamu, jadi kamu merasa nggak perlu sungkan untuk meluapkan rasa kecewamu pada kami. Bapak, Ibu atau Abi itu sama Menur. Kami juga keluargamu." Ambar membuka kedua tangannya meminta Menur mendekat agar mereka bisa saling memeluk.
"Dari awal Menur sudah percaya kalau keluarga Mas Abi bisa menerima kehadiran Menur, meski kita berbeda strata, Bu," kata Menur.
Embusan napas kasar terasa di samping telinga Menur. Ambar sedikit kurang nyaman dengan kalimat yang baru saja diucapkan menantunya. Dari awal ia selalu menegaskan bahwa tidak ada yang berbeda dari mereka, hanya kebetulan saja Allah menitipkan rezeki lebih banyak pada keluarga Bara agar bisa berbagi dengan banyak orang.
"Bagi Ibu, dengan kamu bisa membahagiakan Abi. Itu sudah lebih daripada cukup. Nggak usah membuat kesebandingan yang akan membuat kita seperti bukan keluarga," pungkas Ambar.
Siapayang tidak bahagia mendengar petuah bijak dari ibu mertua seperti itu. Sah,Menur bolehlah berkata, 'mertuaku adalah bestie terbaikku'.☼
Blitar, 18 Agustus 2024
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top