15

Menur masih merasa kesal ketika diam kembali menjadi bunga dalam hubungannya dengan Abe. Harusnya Abe marah dengan sikapnya semalam, tapi yang terjadi setelah laki-laki itu mengantarkannya pulang hanya diam lalu pergi lagi meninggalkannya sendiri di rumah. Entah jam berapa Abe kembali. Pagi harinya Menur sudah berada di dalam kamarnya seorang diri padahal ia yakin semalam menunggu Abe di depan TV hingga ketiduran. Dan ketika ia mencari di setiap sudut rumah mereka, Menur tidak menemukan sosok Abe ada di rumah.

Jam dinding yang berdetak masih menunjukkan waktu dini hari. Itu artinya Abe benar-benar tidak pulang ke rumah, tapi mobil yang Abe pakai semalam sudah terparkir rapi di garasi. Lalu siapa yang memindahkannya ke kamar? Menur jadi bergidik membayangkan jika ia berjalan sendiri saat ngelindur atau parahnya ada penghuni astral di rumah itu.

"Astagfirullah." Bibir Menur bergetar saat azan Subuh nyaring berkumandang.

Tidak ingin kehilangan dua rakaat sebelum Subuh, Menur segera mengambil wudu dan membentang sajadahnya di lantai. Kembali membisikkan semua doa yang ia miliki ke bumi agar bisa dilangitkan untuk menggetarkan arsy. Air mata yang semakin deras mengalir kala kedua tangannya menengadah meminta pengampunan.

Ia hanya berusaha untuk mempertahankan semua yang telah menjadi miliknya. Tentang cintanya pada Abe tidak perlu ditanyakan lagi, itulah sebabnya mengapa Menur semurka itu semalam hanya karena melihat Untari keluar dari mobil yang sama dengan Abe. Ia tidak habis pikir, mengapa suaminya itu begitu santai melakukan itu di depan banyak pegawainya. Setidaknya Abe bisa menggunakan jasa sopir, toh dia juga seorang direktur di perusahaan orang tuanya. Hal yang paling mungkin ia lakukan untuk menghindari fitnah berdua dengan wanita yang bukan keluarga atau istrinya.

Menur masih berdoa ketika pintu rumah terbuka. Refleks ia segera menyudahi dan berdiri untuk melihat siapa gerangan yang bertandang ke rumahnya sepagi itu.

Sesampai di depan ruang tamu, ia hanya berdiri mematung dengan sebilah tongkat di tangannya. Harusnya hal yang lumrah jika ada Abe di depannya sekarang, tapi karena tidak ada bayangan di dalam pikiran Menur sebelumnya jadi wajah kaget itu terlihat begitu jelas terlihat.

Abe menatap Menur dengan sorot mata yang memendam amarah. Sadar akan hal itu, Menur yang masih terdiam memilih untuk mengikuti langkah Abe. Laki-laki itu kemudian memilih duduk di sofa yang ada di depan TV. Tisu kotor yang semalam habis dipakai Menur untuk menghapus air matanya masih berserakan di sana. Menur berniat untuk membersihkannya dulu, tapi Abe mencegah.

"Duduk!" Suara tegas Abe merupakan perintah yang tidak mungking dibantah Menur.

Sambil menghela napasnya Menur duduk di samping Abe. Sementara Menur duduk, Abe hanya diam sambil menatap sang istri dengan tajam.

"Mas ...." Menur berinisiatif untuk membuka percakapan.

"Maaf tentang semalam, tapi aku nggak bisa terima kalau kamu main belakang bahkan sampai menikahi sekretarismu sendiri," kata Menur.

"Apa kamu nggak mikir, Mas, kalau selama ini jadi omongan bawahanmu di kantor? Kamu nggak malu?" tanya Menur lagi.

"Jadi selama ini mendiamkan aku itu karena kamu nggak mampu ngomong kalau sejatinya ingin menikah dengan Tari, Mas?" Menur tersenyum miring.

"Karena sayangnya kamu pada ibumu dan keinginanmu mempersembahkan seorang cucu untuknya, kamu lebih memilih untuk menggadaikan janji setia kita, Mas?" Menur masih menumpahkan semua unek-uneknya.

"Silakan, Mas. Aku nggak akan halangi niatmu itu. Dari awal kamu memang lebih memilih ibumu dibandingkan aku. Jadi tolong selesaikan dulu urusan kita, bersihkan dulu harga diriku di pengadilan agama. Aku atau kamu yang akan mengurusnya." Titik akhir pemikiran yang membawa keputusan terbesar bagi Menur dengan menyuarakan semua isi hatinya di depan Abe.

Bukan karena tidak mencintai, tapi Menur memilih untuk tetap hidup normal tanpa harus memenjarakan ingin karena terbentur hak orang lain yang harus disetarakan dengannya.

Tidak ada jawaban dari Abe. Laki-laki itu masih diam menatap Menur dengan sorot mata yang sama dengan sebelumnya. Hingga Menur merasa jengah dan memilih berdiri untuk meninggalkannya. Rasanya percuma bicara dengan patung.

"Duduk! Siapa yang mengizinkanmu berdiri?" kata Abe.

"Aku? Duduk? Untuk apa?" Menur masih tetap berdiri di depan Abe.

"Menurutmu?" tanya Abe dengan ketus.

"Kalau Mas Abe mau nikah sama Tari, nikah aja. Sudah ku bilang kan, aku nggak akan halangi itu." Menur melipat tangannya di depan dada lalu memilih berpaling memunggungi Abe.

"Sopan bicara seperti itu pada suamimu?" tanya Abe.

Menur kemudian menoleh lagi pada Abe yang memintanya kembali duduk dengan isyarat mata.

"Aku kecewa sama kamu, Nur. Kelakuanmu semalam itu sangat memalukan." Abe menatap Menur tanpa kedip.

"Bukan hanya aku yang malu sebagai suamimu, tapi juga Romo dan Ibu. Sikapmu semalam itu sudah diluar batas nalar," kata Abe.

"Nalar yang mana yang Mas Abe maksudkan? Nalar untuk menormalisasi suami kita selingkuh di depan mata?" balas Menur.

Abe menyeringai. "Belajar ungkapan darimana kamu? Memfitnah suami sendiri selingkuh, bersikap bar-bar dan nggak sopan. Seperti orang yang nggak pernah disekolahkan saja!"

Menur diam, tapi ia tetap menantang tantapan Abe.

"Kamu pikir dengan bersikap seperti semalam semua orang akan respek dengan sikapmu? Kamu salah, Menur! Salah besar kalau kamu punya pikiran seperti itu. Aku pikir dengan mendiamkanmu itu kamu bisa berpikir dengan baik. Ternyata aku juga salah menilaimu." Abe menggelengkan kepalanya.

Laki-laki itu berdiri menyejajarkan tinggi pandangannya dengan sang istri.

"Kamu minta kita pisah? Hanya karena melihat aku datang ke Kembul Boga Resto berdua dengan Tari?" Abe tertawa mengejek.

"Gila kamu." Abe menunjuk Menur yang masih menatapnya.

"Iya, aku memang sudah gila. Jadi untuk apa kita bersama? Setelah itu Mas Abe bisa melakukan apa saja yang Mas mau, termasuk membahagiakan ibumu itu!"

Bersamaan dengan Menur menyelesaikan kalimatnya. Ambar telah berada di dekat mereka bersama Bara. Pagi yang terlihat begitu menegangkan, tapi bagi Menur itu jauh lebih baik agar semua urusannya dengan Abe segera selesai. Dia tidak ingin menangis seorang diri lagi.

"Bagus, Ibu sangat setuju. Ceraikan saja, Be. Nggak usah mikir dua kali. Toh bukan kamu yang menginginkannya. Selam ini ibu menyuruhmu, tapi kamu masih membelanya. Sekarang lihat wanita yang selama ini kamu bela? Dia hanya bisa menyalahkan Ibu tanpa berusaha untuk mempertahankanmu." Ambar mulai angkat bicara.

"Bu, tolong jangan ikut campur urusan Menur dan Abe," kata Abe.

"Lihat, Nur. Semarah apa pun dia, Abe masih menghargaimu di depan kami. Sementara kamu? Semalam sudah menginjak-injak harga dirinya sebagai laki-laki," kata Ambar.

"Ibu, tolong ...!" teriak Abe.

"Kenapa harus berpura-pura, Mas? Bukankah selama ini kamu sangat menyayangi Ibu, kenapa kamu membentaknya sekarang?" kata Menur.

Abe diam.

"Aku mau kita pisah," kata Menur.

"Tanpa mendengarkan penjelasanku?" tanya Abe.

"Percuma aku mendengarnya. Yang pasti kamu akan tetap menuruti perintah Ibu, kan?" Menur tersenyum miring.

"Lancang kowe, Menur!" Tangan Ambar sudah melayang di pipi Menur jika tidak ditahan oleh Bara dan Abe.

"Maaf, Bu. Sebenarnya Menur sangat ingin menghormati Ibu dan menganggap Ibu sebagai Ibu Menur sendiri, tapi ketika Ibu berkata bahwa untuk apa mempertahankan wanita yang sudah tidak punya rahim dan tidak bia memberi Ibu cucu, hati Menur sakit sekali. Ibu tahu karena apa dulu Menur berlari di bawah hujan dan mengalami kecelakaan?" kata Menur dengan amarah tertahan.

"Tapi percuma Menur menjelaskan, toh Ibu lebih suka menjodohkan Tari dengan Mas Abe, kan. Sampai-sampai lamarannya dibuat private seperti semalam?"

"Lancang kowe, Menur, lancang tenan. Lambemu kuwi mung asal nggambleh ra ono jluntrungane. Nggumun aku, kok ono wong wadon angel tatanane koyo ngene kuwi."

"Menur cukup!" Bara menengahi. "Semalam memang benar acara lamaran, tapi bukan acara lamaran Abe dan Tari melainkan lamaran anak kolega Romo. Jadi nggak usah diperpanjang lagi."

Dengan refleks Menur mundur beberapa langkah. Ia tidak menyangka jika alur ceritanya seperti itu. Bodohnya mengapa kemarin tidak mencari informasi yang lebih detail sehingga kini posisinya bak buah simalakama.

"Mas, yang Romo katakan ...?" Menur menatap Abe.

"Apa menurutmu Romo itu pembohong?" jawab Abe yang langsung membuat kepala Menur menggeleng.

"Maaf ...." Air mata Menur mulai jatuh. Ia segera menekuk lututnya di depan Abe, tapi ditangkis lebih dulu oleh Ambar.

"Rasah nyebahi. Telat nggonmu sadar, gelo neng mburi ra maedahi. Wes, Be, turutono karepe cah gemblung kui, dekne sik njaluk pisah. Ibu wes ra sudi, ra lilo. Golek cah wadon liyo sik luweh apik isih akeh neng njobo. Koyo kowe wes ra payu rabi wae. Bubar, rasah mbok terusne."

Abe masih terpaku tanpa suara melihat sang istri hendak memberikan argumennya. Namun, bibir Menur kembali tertutup ketika suara gawai miliknya dan juga milik Abe berbunyi bersama.

Abe langsung menerima panggilan dari Ary, sementara Menur meminta izin dulu pada Ambar dan Bara untuk menerima panggilan telepon dari Renita.

"Lho, terus gimana?" tanya Menur panik.

Abe pun tidak kalah paniknya dari Menur. Laki-laki itu hanya berkata terus dan terus sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

"Ya udah aku ke rumah sakit sekarang." Menur langsung mengambil keputusan.

Abe pun telah menyelesaikan panggilan teleponnya. Ia segera menatap Menur tanpa kata.

"Tekanan darah Renita melonjak tinggi, Mas. Jika sampai siang ini nggak bisa turun, Dokter Kesha mutusin harus operasi. Sangat bahaya untuk Renita dan bayinya. Aku harus ke rumah sakit sekarang, maaf—" Menur menatap semua orang yang ada di rumah itu secara bergantian.

Abe menganggukkan kepala sementara Ambar jelas hanya menatap Menur dengan senyum miring khasnya.

"Wes, Pak, ayo kita pulang. Ibu sudah nggak mood lagi ngomong apa yang harusnya kita omongin sama mereka. Toh Menurjuga lebih memilih urusannya sendri dibandingkan dengan mendengar kita bicara."Tidak ada kalimat lanjutan yang keluar dari mulut Ambar meski Menur memintamaaf dan menjelaskan mengapa ia harus segera ke rumah sakit.

 Percakapan di rumah Abe itu pun akhirnya buyar. Abe juga harus bersiap ke kantor. Padahal hari itu ia berencana untuk libur agar bisa menyelesaikan masalahnya dengan Menur, ternyata Ary mendadak izin karena kondisi Renita yang harus mendapatkan penanganan segera dari rumah sakit.

"Mas, tentang semalam aku minta maaf banget. Iya aku salah, aku harap Mas Abe mau memaafkan aku," kata Menur sambil menyiapkan pakaian yang akan dipakai Abe ke kantor.

"Mas Abe sarapan di kantor ya, nanti aku pesankan."

"Nggak usah, kamu fokus sama Renita saja. Aku bisa beli sarapan sendiri," jawab Abe.

"Nanti aku masuk malam," kata Menur.

"Nanti aku pulang malam," kata Abe bersamaan dengan Menur.

Keduanya tersenyum lalu mengangguk. Rasanya lega mereka bisa tersenyum bersama walau ada hal yang memang harus mereka bicarakan setelah itu, tapi bagi Menur itu sudah cukup.

"Kabari aku kalau ada apa-apa di rumah sakit." Abe mencium kening Menur sebelum ia meninggalkan rumah. Hal yang selalu ia lakukan dulu sebelum mendiamkan Menur.

Menyusul kepergian Abe, Menur segera bersiap dan mengunci pintu rumah mereka sebelum berangkat ke rumah sakit.

Di kantor, Abe tidak bekerja di ruangannya. Pagi itu ia banyak berada di meja Ary dan ruangan Bara. Dengan demikian banyak pekerjaannya sendiri yang dilimpahkan pada Untari. Seperti biasa, gadis itu pun mengerjakannya dengan baik.

Di tengah-tengah kesibukannya, tiba-tiba ia dikejutkan oleh salah seorang OB yang memberitahukan ada seseorang yang ingin bertemu dengan Abe.

"Sudah buat janji atau belum? Mas Abe hari ini sepertinya sibuk banget jadi mungkin nggak bisa," kata Tari.

"Tapi orangnya maksa ingin bertemu dengan Pak Abe, Mbak Tari."

Kening Untari berkerut. Sepenting apakah dia sampai memaksa bertemu. Untari segera memastikan jadwal pertemuan Abe hari itu dengan pihak ketiga.

"Hari ini Mas Abe nggak ada janji mau ketemu dengan siapa-siapa, karena sebenarnya beliau cuti hari ini, tapi karena Mas Ary nggak masuk jadi Mas Abe masuk untuk menggantikan beliau sekaligus menghandle pekerjaan Bapak," jelas Untari.

"Nggak bisa diusahain, Mbak? Dia butuh ketemu sama Pak Abe, katanya penting banget." OB yang berdiri di depan Untari masih juga berharap Abe mau menemui orang yang ia maksudkan.

"Emangnya sih?" Tari jadi penasaran ingin tahu.

"Ayah dan ibunya Arimbi. Kasihan, Mbak, mereka datang dari Kulon Progo hanya untuk menemui Pak Abe," jawab OB itu.

Mendengar nama Arimbi disebutkan, ingatan Untari kembali pada peristiwa semalam. Entah karena alasan Untari akhirnya memutuskan untuk menerima keduanya di mejanya.

"Ya sudah sampaikan kepada mereka untuk menemuiku dulu, nanti aku coba hubungkan dengan Mas Abe," kata Untari.

Tidak lama kemudian dua orang yang dimaksud OB tadi berdiri di depan Untari. Tidak mengenakan pakaian formal seperti yang dikenakan Untari atau Abe, tapi keduanya berpenampilan sangat rapi dan sopan.

"Selamat pagi, Mbak Tari," sapa wanita yang lain adalah ibu Arimbi.

Untari menjawab sapaan itu dengan sopan, tapi matanya terpaku pada laki-laki yang berdiri bersama dengan wanita paruh baya itu. Ada sinar keterkejutan yang tercipta bersamaan dengan genangan air mata yang tertahan. Sorot matanya memancarkan kerinduan yang teramat dalam.

"Untari Danakitri?" ucapnya dengan kedia tangan terangkat dan bergetar.

Wajah yang tidak asing lagi dalam ingatan Untari. Wajah yang sama seperti yang ada dalam foto ibunya. Wajah yang mengingatkannya akan panggilan yang selalu membuatnya pilu karena seumur hidupnya ia belum pernah merasakan betapa hangatnya memanggil seseorang dengan panggilan itu.

Air mata yang mulai menetes membersamai bibirnya bergetar memanggilnya dengan sebutan istimewa itu.

"Ayah ...?" Untari segera meletakkan semua pekerjaannya dan berlari mendekati ayahnya.

Haru dalam keterkejutan itu membawa tangan ibu Arimbi tergerak untuk mengusap bahu putri sambungnya yang telah lama tidak bertemu dengan ayahnya. Keduanya saling memeluk dan ia tidak mau menginterupsi kemesraan itu.

"Kamu sudah dewasa, Nak. Maafkan Ayah karena telah menitipkanmu pada ibumu dulu."

"Nggak, Yah. Ibu sudah cerita semuanya. Beliau juga minta maaf pada Ayah sebelum meninggal," kata Untari.

"Ibumu ...?"

"Iya, Yah. Ibu telah meninggal. Tapi sebelum beliau meninggal, beliau meminta Tari untuk mencari keberadaan Ayah di Yogya, itu sebabnya Tari sekarang berada di sini atas kebaikan Pak Bara."

Untari kemudian menceritakan bagaimana ia bertemu dengan Bara dan menerima bantuan untuk bekerja di perusahaan miliknya. Ayah Untari pun bercerita bagaimana ia bertemu dengan ibu Arimbi hingga akhirnya memutuskan menikah dan memiliki putri yang sekarang juga bekerja di perusahaan Bara. Sayangnya semalam ia menerima kabar bahwa putrinya telah dipecat dan pagi itu Arimbi sudah tidak diperbolehkan masuk kerja padahal mereka sangat membutuhkan pekerjaan itu.

"Jadi Arimbi itu adik Tari, Yah?" tanya Untari memastikan.

Ayah Arimbi yang juga ayah Untari pun mengangguk.

"Apa kamu nggak bisa mengusahakan agar dia tetap bekerja, Nduk? Gajinya itu sebenarnya dipakai adikmu untuk kuliah, dia ingin bisa bekerja yang layak agar Ayah bisa berobat dengan baik."

Untari tidak bisa berkata apa-apa. Hatinya sangat tersentuh dengan pengorbanan sang adik. Kepalanya pun menggeleng. Bukan tugas Arimbi bertanggung jawab atas ayah mereka, tapi sekarang harusnya Untari yang mengambil alih semua itu. Selain karena ia sangat bahagia dengan pertemuan tak sengaja itu, Untari juga ingin melaksanakan amanah untuk menebus semua salah ibunya dengan memberikan perhatian yang baik pada ayahnya.☼

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top