13A
Entah perumpamaan apa yang bisa menggambarkan hubungan Abe dan Menur saat ini. Mereka bertemu dalam rumah yang sama, tapi minim komunikasi. Abe sudah berusaha mencairkan suasana, tapi Menur masih enggan menurunkan egonya. Istri Abe itu masih merasa benar dengan semua asumsinya. Ia beranggapan jika sekarang luluh dengan rayuan Abe kali ini maka selamanya sang suami akan tetap mengulanginya lagi. Setidaknya Menur ingin memberi sedikit pelajaran supaya Abe sedikit lebih peka dengan perasaannya.
Namun, sikap yang ditunjukkan Menur justru membuat Abe enggan untuk merajuk lagi. Sikap manjanya sebagai suami mendadak lenyap. Ia berubah menjadi laki-laki mandiri yang akhirnya memilih untuk memuaskan dimensinya sesuai dengan keinginan hati. Pekerjaan menjadi tempat pelarian paling mungkin untuk menghindari kebisingan pikirannya.
"Tinggalkan saja, Ry. Aku bisa kerjakan nanti. Sudah lama kamu nggak bisa menikmati waktu bersama dengan Renita dengan leluasa, kan?" kata Abe saat ia selesai bicara dengan Bara di ruangannya.
Ary mengernyit beberapa saat sebelum mengucapkan terima kasih pada sang sahabat. Setidaknya ia bisa menikmati senja hari itu tanpa beban pekerjaan yang harus ia selesaikan.
Saat Ary bersiap pergi, tiba-tiba Bara menghampiri dan memintanya ikut menghadiri pertemuan penting malam itu di Mandala Bhakti.
"Biarkan Ary pulang, Romo. Abe yang suruh dia barusan. Kerjaannya nanti biar Abe selesaikan. Mumpung kerjaan Abe juga nggak banyak," jawab Abe yang memberikan angin segar untuk Ary segera melepaskan diri dari tanggung jawabnya.
"O, gitu. Ya sudah, silakan." Bara mengangkat tangannya memberi jalan pada asistennya untuk pulang lebih dulu.
"Saya permisi dulu, Pak."
Sepeninggal Ary, Bara kembali berduaan dengan sang putra. Abe yang memilih duduk di kursi asisten ayahnya terlihat serius memandangi deretan angka atas laporan keuangan yang belum selesai dikerjakan Ary.
"Kalau begitu, Romo pinjam Tari ya untuk menemani ke Mandala Bhakti." Suara Bara sontak membuat Abe menghentikan aktivitasnya.
Abe berpikir sejenak. Tanpa asisten pun sesungguhnya Bara bisa menghadiri undangan di Mandala Bhakti. Atau kalau memang membutuhkan pendamping, harusnya Ambar menjadi satu-satunya wanita yang pantas mendampinginya.
"Muka kamu itu kenapa? Nggak suka kalau Romo pergi sama Tari?" tanya Bara dengan senyum tertahan.
"Kenapa nggak ngajak Ibu saja, Romo? Kan di sana nanti juga banyak yang kenal dengan beliau." Abe berusaha menekan ekspresi wajahnya.
"Lah katamu tadi lagi nggak banyak kerjaan, makanya bisa handle kerjaan Ary. Berarti Tari juga nggak ada kerjaan dong. Jadi nggak masalah to kalau Romo ajak ke sana. Ibu juga pasti nggak keberatan kalau Romo ngajak Tari." Bara tertawa menang.
Tentu saja Abe kalah karena tidak memiliki jawaban yang tepat untuk menyanggah ucapan ayahnya. Bara melenggang meninggalkan Abe sendirian di meja Ary. Sepertinya ia harus merutuki mulutnya sendiri, mengapa sok-sokan menawarkan diri mengerjakan pekerjaan Ary padahal pekerjaannya sendiri juga masih ada beberapa yang masih pending karena beberapa hal. Meski tidak banyak, tapi tetap saja namanya belum selesai. Hanya saja entah karena alasan apa, Abe tidak terlalu suka Untari dekat dengan ayahnya.
Omongan Bara ternyata bukanlah isapan jempol belaka. Gawai milik Abe bergetar tidak lama setelah ia selesai menyalin file laporan di komputer Ary dengan flashdisk miliknya. Rencananya ia akan selesaikan di ruangannya supaya Untari tidak sendirian di sana. Ada pesan dari Untari yang meminta izin ia akan pulang lebih dulu karena diminta menemani Bara ke Mandala Bhakti.
Untuk yang satu itu Abe angkat tangan karena melarang pun percuma. Bara memiliki kuasa khusus menunjuk atau memerintahkan pegawainya meski mereka memiliki atasan langsung. Dan Abe harus mematuhi aturan yang telah disepakati bersama itu. Akhirnya ia benar-benar sendiri di kantor hanya karena ingin menghabiskan waktu supaya mendapati Menur yang sudah terlelap ketika ia sampai di rumah dan tidak banyak pertanyaan.
Perubahan sikap Abe tentu saja dirasakan Menur. Ia bahkan terang-terangan bertanya pada Ary apa sebenarnya yang terjadi di kantor. Adakah sesuatu yang patut dicurigai dengan Abe. Semula suami sahabatnya itu kaget mendengar pertanyaan Menur, tapi setelah ia mendapatkan penjelasan dari Renita, Ary mencoba untuk mengerti. Namun, setelah mengamati beberapa hari Ary yakin dengan mata dan pendengarannya. Sahabatnya tidak mungkin melakukan hal gila seperti yang ada di pikiran Menur.
"Iya, tadi Abe sendiri malah yang menyuruhku pulang. Padahal malam ini aku ada jadwal menemani Bapak ke Mandala Bhakti," jawab Ary ketika mereka tersambung dalam panggilan suara.
Bukan hanya Menur dan Ary tetapi juga ada Renita yang mendengar percakapan mereka.
"Tapi Mas Abe hampir tiap malam lembur, Mas. Memangnya kerjaannya sebanyak itu?" tanya Menur dengan polosnya.
Ary bingung harus menjawab apa. Mengelola beberapa hotel kemudian memastikan restoran beroperasi dengan baik dengan citra rasa yang sama setiap harinya. Belum lagi butik dan galeri yang tidak pernah sepi kunjungan. Tentu saja Abe selaku direktur umum harus selalu sigap di segala situasi.
"Ya gimana lagi, Mbak Menur. Namanya juga direktur umum jadi semua kerjaan bertumpu pada Abe," jawab Ary.
"Kalau kerjaannya Tari ...?" Menur ingin mengorek informasi lebih lanjut, tapi bibirnya masih bisa menahan karena ada nama yang harus ia jaga.
"Kenapa, Mbak, cemburu dengan Tari?"
"Mas Ary, ish! Nggak lucu godain Menur kayak gitu." Suara Renita terdengar nyaring di telinga Menur.
"Iya, iya maaf, Sayang. Aku kan cuma tanya lho sama Mbak Menur," kata Ary.
"Lagian ya wajar, Mas, kalau Menur cemburu. Secara Mas Abe kan suaminya, selalu pulang malam tiap hari dari kantor. Terus yang nemeni kerja siapa kalau bukan sekretarisnya?" sungut Renita membela Menur.
"Ehm." Ary berdeham sebelum akhirnya menjawab pertanyaan Menur dengan serius.
"Aku nggak tahu jelasnya seperti apa. Karena ruangan kami kan nggak berdekatan. Namun, sejauh ini sikap mereka aman. Abe ya memang pekerja keras seperti halnya Bapak. Kalau nggak gitu mana mungkin mereka bisa sesukses ini membangun gurita bisnis."
"Iya, kalau itu aku dan Menur sudah tahu, nggak usah diperjelas lagi," tukas Renita.
"Ini kenapa jadi kamu yang antusias?" tanya Ary yang diperuntukkan pada istrinya.
"Gemas aja sama kamu, Mas, orang tanya apa eh kamu jawabnya apa. Nggak nyambung blas!
Menur hanya diam mendengar sahabat dan suaminya beradu argumen. Sejak awal Menur tahu, Renita adalah garda terdepan yang selalu ada dan membelanya dalam kondisi apa pun. Jadi jika sekarang ia merasa geregetan ketika Ary berbelit-belit saat menjawab pertanyaan Menur, itu adalah hal yang wajar.
"Bukan begitu, Sayang." Suara Ary kembali menggema.
"Itu lho ditanya Menur kerjaan Tari beres nggak?" ulang Renita.
"Tari cekatan kok kerjanya, rapi, dan inisiatifnya tinggi. Selain itu ia juga cepat tanggap dalam semua kondisi, ringan tangan membantu teman-temannya yang lain. Makanya Bapak dan Ibu sayang banget sama dia."
Benar kata Ary. Mertua Menur kelihatan sangat menyukainya. Beberapa kali Menur mendengar sendiri ibu mertuanya memuji Untari ketika meneleponnya. Sesuatu yang sesungguhnya tidak perlu Menur dengar. Hal yang tidak semestinya menjadi kesebandingan karena statusnya jelas berbeda. Menur istri Abe, sedangkan Untari hanyalah sekretarisnya.
"Malam ini malah Bapak ngajak Tari gantiin aku ke Mandala Bhakti. Makanya Abe lembur sendiri," tutur Ary yang membuat suara Renita menggema lebih nyaring dari sebelumnya.
"Ya Allah, Mas, kenapa nggak bilang dari tadi kalau si Tari keluar dengan Pak Bara."
"Lah nggak ada yang nanya," jawab Ary.
"Apaan sih!" sewot Renita.
"Lho tadi kan nanya tentang Abe ya aku jawab, kok yo wes luput meneh aku iki," kata Ary.
"Sudah, sudah." Menur menengahi perdebatan mereka. "Teleponnya aku tutup dulu. Makasih Mas Ary infonya."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top