12B
Abe sudah berada di rumah ketika Menur pulang dari rumah sakit. Ia sengaja tidak berlama-lama berada di rumah Bara karena tidak ingin meladeni amarah Menur jika melihatnya tidak ada di rumah. Sore hari itu Abe berjanji pada dirinya sendiri untuk memberikan penjelasan pada Menur agar tidak lagi ada kesalahpahaman di antara mereka.
Abe melangkah membukakan pintu ketika terdengar ketukan dari luar. Sengaja ia mengunci pintu dari dalam dan menggantungnya supaya Menur tidak bisa membuka dari luar dengan kunci miliknya. Wanita yang telah tiga tahun menjadi istri Abe itu masih diam dengan wajah datar ketika melewati sang suami.
Tidak ingin diabaikan, Abe langsung menarik lengan Menur dan membawanya dalam pelukan.
"Maaf ...." Abe mencium pucuk kepala Menur dengan lembut.
"Maaf kalau ketidaksengajaanku membuat kamu khawatir. Maaf kalau aku sudah keterlaluan. Maaf kalau aku nggak bisa ngertiin perasaanmu. Maaf kalau—"
"Ish, geli, Mas ...." Menur meronta melepaskan diri ketika Abe mulai nakal dengan gerakannya.
"Stop, Mas, stop!" Menur menahan bibir Abe yang mulai mengabsen anggota tubuhnya. "Aku belum mandi, tunggu sebentar. Habis itu kita bicara lagi."
Senyum Abe mulai merekah. Jika sang istri sudah berkata demikian, ia yakin emosi Menur sudah kembali stabil untuk mereka bicara dengan kepala dingin. Tidak butuh waktu yang lama untuk meluruhkan hati Menur, karena Abe tahu seberapa besar cinta yang Menur miliki untuknya.
"Sini ...." Abe menepuk sofa di sebelahnya.
Menur terlihat sangat segar. Penatnya seharian langsung menguap tersiram guyuran air saat ia membersihkan badan. Menuruti perintah Abe, Menur segera meletakkan pantatnya tepat di samping Abe duduk bersantai di depan televisi.
"Kamu tahu kalau ternyata di China kemarin adalah puncaknya musim dingin. Hampir -8°C dan itu nyaris membuatku hipotermia." Abe membuka penjelasannya.
"Maaf kalau aku nggak menghubungi kamu seperti biasanya, karena di sana aku sakit. Ya walaupun cuma sakit flu, tapi sempat meriang juga," jelas Abe.
Menur terkejut mendengar penjelasan Abe. Ia sama sekali tidak berpikir tentang hal itu.
"Lho kok Mas Abe nggak cerita sama aku, kan bisa chat kalau nggak bisa telepon, Mas. Jadi pikiranku nggak ke mana-mana," protes Menur.
"Emang mau ke mana pikirannya?" Abe tersenyum jahil pada Menur. "Aku nggak mau nanti kamu malah tambah khawatir kalau tahu aku sakit," tambahnya.
"Tapi kata Ibu, Tari yang sakit. Beliau nggak bilang kalau Mas Abe sakit juga." Menur mengerucutkan bibirnya.
Hati kecilnya jelas tidak bisa menerima. Ketika ia sama sekali tidak mendapatkan informasi apa pun tentang Abe, sang mertua justru lebih dulu tahu keadaan di sana dibandingkan Menur.
"Mas Abe telepon Ibu, kan, untuk ngasih tahu semuanya?" selidik Menur.
Abe menggeleng. "Bukan aku yang telepon Ibu, tapi Tari."
"Tari ...?" Menur sedikit terkejut.
"Sayang, kamu jangan marah atau tersinggung ya, kalau aku cerita ini. Bukan untuk apa-apa, tapi akan jauh lebih nggak enak nantinya kalau kamu dengar dari orang lain."
"Maksudnya, Mas? Kok aku jadi nggak faham." Menur menatap Abe serius.
"Tari itu sama seperti kamu, yatim piatu. Semula sikap ibu ya biasa-biasa, sama seperti ke pegawai-pegawai Romo yang lainnya. Namun, mungkin lama-kelamaan ngobrol mereka nyambung sampai akhirnya sekarang bisa dekat."
"Dan Tari menganggap Ibu Ambar seperti ibunya sendiri?" tebak Menur yang memilih memotong penjelasan Abe.
"May be." Abe menghela napasnya perlahan.
Tiba-tiba gurat sendu tergambar dengan nyata di wajah Menur. "Dulu aku pun juga begitu—" Menur membuang napasnya dengan kasar.
"Ah, sudahlah! Kita memang nggak pernah tahu apa yang Allah tulis sebagai jalan takdir yang harus kita lalui. Bisa jadi sekarang baik, besok nggak atau sebaliknya, kita juga nggak pernah tahu. Hati manusia nggak bisa ditebak, kan?" kata Menur.
Abe kembali menarik Menur ke dalam pelukannya. Ia hanya ingin membuat istrinya tenang dan merasa nyaman bersamanya.
"Gimana kalau kita mikir positifnya aja?" Abe kembali menatap Menur yang masih ada di pelukannya.
"Biar bagaimanapun Ibu dan Romo itu sudah pernah berada di usia kita sementara kita belum pernah di usia mereka."
"Maksud Mas Abe membuat normal keinginan Ibu sementara aku nggak bisa memenuhinya?"
Menur masih sama, titik sensitifnya terlalu peka untuk memaknai setiap kalimat yang akan menyudutkan kekuranganya. Tidak ada kata andai sebagai perumpamaan, yang jelas rasa nyeri itu hanya hatinya yang tahu.
"Sayang, kamu pernah mikir nggak, seandainya kamu jadi aku. Apa yang akan kamu lakuin sama Ibu dan Romo. Apa kamu tetap ingin meninggalkannya seperti sekarang?" tanya Abe dengan suara yang sangat rendah.
Menur tiba-tiba melepaskan pelukan Abe dengan paksa.
"Mas, aku nggak pernah melarang kamu bertemu dengan orang tuamu ya. Mas Abe nyesel nuruti aku pindah rumah? Atau Mas Abe ingin tetap tinggal sama mereka?"
Menur langsung berdiri dan meninggalkan Abe dengan kesal. Namun, langkahnya terhenti ketika Abe berhasil menyusulnya dan memintanya kembali duduk.
"Bisa nggak kalau kita sedang ngobrol, kamu nggak main tinggal gitu aja," pinta Abe.
"Habisnya Mas Abe ngeselin banget. Kenapa sih harus bahas itu? Kan sudah jelas kalau permintaan ibumu nggak bisa aku penuhi," dengkus Menur.
Wanita itu memalingkan mukanya ketika Abe meminta untuk menatap matanya. Embusan napas tak beraturan milik Menur menandakan bahwa ia sedang mengatur emosinya lagi.
"Makanya jangan menghindar terus kalau kita sedang bicara itu, biar sama-sama enaknya." Abe masih berusaha tidak terpancing untuk meninggikan suaranya.
"Enak seperti apa yang Mas Abe maksudkan?" Menur menggelengkan kepalanya. Ia tidak habis pikir dengan suaminya. Bisa-bisanya Abe bicara seenteng itu tanpa menunjukkan perubahan ekspresi di mukanya.
"Kalau Mas Abe ingin tinggal sama Ibu dan Romo silakan aja, aku berani kok tinggal di sini sendirian," kata Menur akhirnya.
"Bukan begitu, Menur. Ini bukan perkara tinggal atau pisah rumah. Tapi tentang sikap kita kepada orang tua yang seharusnya. Sebagai suami aku harus mengingatkanmu kalau sampai melewati batas."
"Batas mana yang Mas Abe maksudkan?"
"Kamu nggak mau ketemu Ibu, tapi nggak suka kalau ada wanita lain yang dekat dengan beliau." Abe mengangkat kedua alisnya untuk mengonfirmasi kebenaran pernyataannya pada sang istri.
Menur memejamkan matanya. Entah rasa sakit seperti apa yang harus ia jelaskan pada suaminya itu. Apa Abe harus ia minta berubah menjadi wanita lebih dulu supaya ia mengerti tanpa harus repot-repot Menur menjelaskan?
Tanpa jawaban Menur langsung menangis. Sejujurnya ia tidak ingin terlihat lemah di depan Abe, tapi air matanya keluar tanpa bisa ia bendung lagi.
"Jadi, ini kita mau bicara atau nangis?" tanya Abe yang langsung mendapat pukulan dari tangan Menur.
Menur menghapus air matanya dengan kasar.
"Kenapa Mas Abe nggak ngerti-ngerti sih! Harusnya tanpa aku jelasin, kamu itu tahu kenapa aku berbuat itu sama orang tuamu."
"Kamu salah Menur, mereka bukan hanya orang tuaku saja. Sekarang juga sudah menjadi orang tuamu karena pernikahan kita." Abe masih memberikan penjelasan dengan suara lembut, tapi Menur tidak bisa menerimanya.
"Kalau mereka menganggap aku anak, harusnya memberikan tempat dan suaka, bukan malah menuntut sesuatu yang jelas nggak mungkin bisa aku berikan."
Percakapan yang semula dirancang Abe untuk mencari win-win solution untuk mereka justru kembali memicu terciptanya konflik. Kali keduanya sama-sama ingin didengarkan dan dimengerti. Abe dengan ego lelakinya yang tidak ingin ditolak sementara Menur dengan sisi wanita yang sudah pasti mengedepankan perasaan dibandingkan dengan logikanya. Diam kembali menjadi kembang yang mengundang hadirnya kata sepi dan dingin.
Tidak adalagi kecupan selamat malam, tidak ada lagi pelukan sepanjang malam. Yang tampakmulai malam itu adalah saling menghindari dan memunggungi. Kasur bukan lagi menjaditempat yang indah untuk saling berbaur.☼
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top