12A
Selalu ada alasan yang tercipta dalam setiap peristiwa. Entah untuk menjelaskan atau justru ingin menghindari sebuah pertengkaran. Intinya, setiap manusia pasti pernah mengalami berkelit kata untuk sebuah alibi pembenaran diri. Tidak terkecuali juga dengan Abe ketika Menur menanyakan mengapa gawai Abe sering berada di luar jangkauan.
Tidak ada yang berubah dengan kehidupan Menur dan Abe. Mereka masih tinggal dalam satu rumah rumah yang sama di kawasan Hyarta Residence. Pagi itu, Menur telah bersiap berangkat ke rumah sakit ketika Abe masih terlelap. Semalam Abe tidak pulang larut, tapi percakapan berat dengan Menur di kala kondisinya yang sangat capek membuat emosinya langsung membumbung tinggi.
Meski dalam keadaan tidak baik-baik saja, Menur tidak lupa dengan kewajibannya. Sebelum berangkat bekerja, sarapan untuk Abe telah ia siapkan di meja makan. Wanita itu bahkan telah menyiapkan makanan kesukaan suaminya. Dan ketika Menur benar-benar harus meninggalkan rumah, ia masih menyempatkan diri untuk menengok Abe di kamar.
"Aku berangkat dulu ya, Mas. Jangan lupa sarapan, aku sudah siapkan semuanya di meja makan." Menur mencium kening Abe.
Tidak ada geliat yang menandakan bahwa Abe terusik dengan sentuhannya. Laki-laki itu benar-benar merelaksasi rasa capeknya dengan menikmati tidur eksklusif.
"Kenapa kamu jadi aneh sih, Mas? Ini bukan pertama kalinya lho kamu bepergian jauh dari aku. Tapi kenapa baru kali ini aku ngerasa kita bener-bener jauh." Menur menghela napasnya kemudian berlalu meninggalkan Abe sendirian di kamar.
Dan setelah suara pintu rumah tertutup, mata Abe perlahan terbuka. Laki-laki itu ternyata memilih mengelabuhi Menur untuk menghindari konflik yang sebenarnya tidak perlu dianggap besar. Menurutnya sangat wajar, jika ia sering mematikan gawai karena tidak ingin diganggu saat harus berbicara penting dengan kolega bisnisnya. Masalahnya, setelah itu Abe sering lupa menyalakannya kembali ketika kegiatannya sudah selesai. Ia memilih beristirahat karena kondisinya memang kurang baik, sementara ia butuh banyak energi untuk kegiatan selanjutnya.
Tak lama dari itu, Abe turun dari tempat tidurnya. Ia harus segera bersiap ke kantor untuk membicarakan hasil pertemuannya kemarin dengan Bara.
Ketika sampai di ruangan Bara bukan ayahnya yang ada di sana, tapi justru Ary yang terlihat sedang sibuk membereskan beberapa berkas yang butuh tanda tangan Bara.
"Lho, kamu kok sudah ngantor? Emangnya nggak jetlag?" tanya Ary yang masih sibuk menata berkasnya.
"Romo ke mana sih? Kok cuma ada kamu di sini. Bukannya hari ini ada jadwal bertemu dengan Pak William?" Abe melihat berkas yang sudah rapi di hadapan Ary.
"Barusan ditelepon Ibu, sepertinya penting karena Bapak langsung pergi setelahnya. Katanya beliau harus pulang."
Abe mengerutkan keningnya. Bara bukan tipe orang yang terbiasa meninggalkan tanggung jawab jika tidak dalam keadaan mendesak. Perasaannya menjadi tidak enak kala mengaitkan telepon penting dari ibunya. Jangan-jangan wanita yang telah melahirkannya ke dunia itu sedang sakit dan butuh Bara di sampingnya sekarang.
Abe langsung merogoh saku celananya. Mengambil gawai yang sedari tadi tersimpan di sana.
"Ibu sakit?" tanya Abe dengan cemas.
Abe terdiam beberapa saat mendengarkan jawaban dari panggilan suara yang ia lakukan.
"Ya Abe pikir begitu, karena sekarang Abe lagi ada di ruangan Romo, tapi kata Ary beliau harus pulang setelah terima telepon dari Ibu. Makanya ini Abe mastiin keadaan Ibu gimana," kata Abe.
Laki-laki muda itu kembali terdiam. Namun, tidak lama berselang ia justru sedikit berteriak dengan mata terbelalak.
"Tari ...?" kata Abe.
Ary yang mendengar potongan percakapan itu hanya bisa menebak dalam hati apa yang menjadi topik pembicaraan mereka. Jika bibir Abe menyebut nama sekretarisnya, kemungkinan besar kepulangan Bara ada kaitannya dengan wanita itu.
"Biar Abe saja yang ke rumah Ibu. Lagian Romo harusnya bertemu dengan Pak William hari ini."
Abe kemudian bersiap untuk pergi. Namun, sebelum ia pergi, Ary justru memberikan pertanyaan yang membuatnya tidak suka.
"Untari di rumah ibumu, Be?" tanya Ary yang dijawab anggukan oleh Abe dengan cepat.
"Sori kalau aku harus ngomong ini. Sepertinya dia deket banget sama Bu Ambar, Bapak tadi juga kelihatan hepi banget setelah terima telepon dari beliau." Ary menatap Abe yang sudah tidak sabar mendengarnya bicara.
"Mengingat kondisi Menur sekarang, keinginan ibumu yang tetap ingin memiliki seorang cucu padahal hal itu nggak mungkin terjadi jika harus lahir dari rahim istrimu. Ditambah lagi dengan hubungan kalian dan Bu Ambar yang kurang baik, kenapa aku jadi punya pikiran kotor kalau sebenarnya ibumu ingin mendekatkan kamu dengan—" Ary tak kuasa melanjutkan ucapannya.
Abe tersenyum miring. Ia justru lebih tertarik mengingat beberapa kejadian di China kemarin bersama Untari. Gadis itu begitu perhatian pada kedua orang tuanya. Untari sengaja membelikan beberapa oleh-oleh untuk Bara dan Ambar. Ia bahkan meminta pendapat Abe apa saja yang mereka suka.
"Jika semua asumsiku benar, harusnya Untari lebih peka dan harusnya dia tahu posisi kamu sudah punya istri," kata Ary lagi.
Abe mengembuskan napasnya dengan kasar. Jujur mendengar sahabatnya memberikan penilaian negatif kepada sekretarisnya membuatnya kurang nyaman. Padahal dulu Arylah orang yang paling semangat mendukung agar ia mau menerima Untari sebagai sekretarisnya, tapi mengapa kini justru memberikan penilaian sepihak dengan asumsinya sendiri?
"Ish, jangan sok tahu," jawab Abe akhirnya.
"Kalaupun toh asumsimu benar, belum tentu juga aku mau." Abe menepuk pundak sahabatnya sebelum ia melangkah pergi.
"Eh, Be, tunggu, aku belum kelar ngomongnya." Ary menahan langkah Abe ketika ia hendak melewati pintu ruangan Bara.
"Apalagi?" Abe menaikkan sebelah alisnya saat menatap Ary kembali.
"Aku percaya sama kamu, karena kita kenal tidak hanya hari ini atau kemarin saja. Tapi mungkin aku nggak bisa percaya sepenuhnya dengan Untari. Selain karena baru mengenalnya wanita itu biasanya lebih mengedepankan perasaannya, Be. Kalau kita nggak bisa kontrol diri kita justru nantinya kita yang terseret dalam keadaan yang awalnya kita tolak, tapi akhirnya justru kitalah yang paling menikmati." Ary memasukkan semua berkas pada stopmap.
"Maksud kamu apa?" Abe menyipitkan mata dengan tatapan tidak suka.
"Menur sangat mencintaimu, dia mengkhawatirkan semua tentang kamu sampai harus meminta nomer HP Untari kepadaku hanya karena Hpmu mati. Tolong jangan buat dia semakin insecure dengan kedekatan keluargamu dan Untari." Kini gantian Ary yang menepuk pundak Abe.
Asisten Bara itu kemudian memberikan stopmap ke tangan Abe. Sementara Abe yang tidak mengerti tentang laporan apa yang sekarang ada di tangannya hanya menatap Ary tanpa suara.
"Kamu akan ke rumah orang tuamu, kan? Aku titip berkas ini untuk ditandatangani Bapak," jelas Ary.
"Lah memangnya kamu—?" Abe menunjuk sahabatnya.
"Karena Bapak pulang, jadi aku yang harus menggantikan beliau bertemu dengan Pak William," jawab Ary dengan santai.
Mengapa Abe jadi tidak menyukai keadaan itu sekarang? Pertemuan penting yang harusnya dihadiri ayahnya justru diwakilkan ke asisten. Sementara Bara justru memilih pulang hanya karena Ambar yang memintanya. Abe jadi tidak suka dengan keputusan ayahnya.
Bukan! Abe menggelengkan kepala dengan cepat. Bukan karena telepon dari ibunya. Kepulangan Bara jelas karena ingin menemui Untari dan itu yang membuat Abe tidak suka.
Dalam perjalanan menuju ke kediaman orang tuanya, Abe mencoba mencari arti akan semua pertanyaan yang akhir-akhir ini menghampiri dirinya. Mencoba mengaitkan segala hal yang pernah ia alami dengan ucapan Ary yang baru saja ia dengar. Menur memang tidak akan pernah bisa hamil lagi dan mereka tidak akan mungkin memperoleh keturunan.
Abe kemudian berpikir keras, jika selamanya ia tidak memiliki keturunan, lalu untuk siapa semua yang ia miliki di dunia ini?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top