11B
Sebenarnya bukan salah Untari jika ia begitu berani akrab dengan atasannya, karena sejak awal Abe sendiri yang mencabut batasan antara atasan dan bawahan itu supaya kerja mereka selalu nyaman sehingga tidak ada masalah salam pekerjaan. Sayangnya mungkin Abe lupa bahwa dengan tiadanya batasan itu, ia harus lebih ketat mengontrol dirinya dan membatasi hati untuk tidak menginginkan sesuatu yang seharusnya bukan menjadi miliknya.
"Kok mandangnya jadi begitu, Mas?" tanya Untari.
"Memangnya aku harus mandang gimana?" Abe balik bertanya. "Eh, tapi makasih ya udah dibawain mantel ini. Ibu emang paling sigap kalau untuk urusan packing begini."
"Lho, memangnya kemarin Mas Abe nggak bilang ke Mbak Menur kalau sekarang di China sedang ada di puncak musim dingin? Sampai-sampai hanya membawa satu mantel? Mana nggak terlalu tebal, jadi pantes kan kalau sekarang malah terserang flu."
Abe menghela napas panjang. Bukan tidak bilang, tapi lebih tepatnya Abe menyiapkan semuanya sendiri. Namun, ia justru tersenyum mendengar omelan Untari. Rasanya bahasan tentang wanita dan omelan itu sudah satu paket yang melekat dalam suatu hubungan yang sangat dekat. Apakah itu memberi arti bahwa keduanya kini mulai mendekat secara personal?
"Mas, kok malah melamun. Kita sudah ditunggu oleh mereka, nggak etis juga kan kalau kita terlambat sampai di tempat?" kata Untari.
Abe mengangguk dan mengajak Untari segara berangkat menuju ke tempat pertemuan mereka dengan beberapa kolega dalam perbincangan bisnis malam itu.
"Mas, aku boleh nanya sesuatu yang agak pribadi nggak?" tanya Untari saat mereka kembali ke hotel setelah pertemuan bisnis.
Abe menatap Untari dalam keremangan malam karena mereka masih berada di dalam taksi.
"Memangnya mau tanya apa?" tanya Abe.
"Tapi sebelumnya aku minta maaf," kata Untari.
"Iya, mau tanya apa, hmmm?" Abe semakin gemas dengan sikap Untari yang berbelit-belit.
Untari tampak menghela napas panjang sebelum memberikan jawaban. "Tentang Mbak Menur dan Ibu," kata gadis itu akhirnya.
Abe yang semula penasaran dengan pertanyaan Untari menjadi enggan untuk menanggapinya.
"Beberapa kali bertemu dengan Ibu, aku lihat beliau itu sebenarnya kesepian. Mas Abe, kan, memang putra beliau satu-satunya jadi wajar kan kalau Ibu selalu merasa khawatir sama Mas Abe dan Mbak Menur kalau kalian tinggal berjauhan. Kenapa nggak tinggal bareng aja sih Mas, apalagi Bapak sekarang juga sering keluar kota."
"Nggak mungkin, Tari," kata Abe.
"Aku dulu adalah orang yang merasa paling beruntung karena disayang Ibu, Mas. Meski aku tumbuh tanpa sosok ayah karena mereka memutuskan berpisah saat aku belum tahu apa peran mereka dalam hidupku." Untari memulai ceritanya.
"Namun, ketika Ibu tiada rasanya aku menjadi anak yang paling durhaka karena selama beliau hidup belum sekalipun aku merasa bisa membahagiakannya. Jangan sampai Mas Abe merasakan apa yang aku rasakan jika suatu saat nanti Ibu lebih dulu pergi," kata Untari.
Abe sepenuhnya bisa mengerti, walau masih sebentar bergabung di Barata Wasana Group, Untari sangat dekat dengan Ambar. Ada kebenaran dalam ucapan gadis itu, tapi Abe tidak bisa menutup mata dengan kesakitan Menur ketika harus bersama ibunya.
"Kalau Mbak Menur mau dinikahi Mas Abe mengapa dia nggak bisa menerima Ibu sebagai ibunya. Bukankah menantu itu juga sama saja seperti anak?" kata Untari lagi.
"Ada hal lain yang nggak mungkin aku share sama kamu, Tari. Yang jelas kami memutuskan untuk pindah ke rumah lain karena aku ingin menjaga keduanya."
"Apa pun alasan Mas Abe, aku hanya nggak ingin Mas Abe menyesal nantinya." Tidak ingin terlalu jauh ikut campur dengan masalah keluarga atasannya Untari menutup obrolan mereka dengan kalimat yang justru membuat Abe merasa sangat beruntung memiliki sekretaris seperhatian itu.
"Terima kasih sudah menganggap Ibu seperti keluargamu sendiri."
Untari menganggukkan kepala tanpa suara.
Sementara itu, Menur tidak bisa memejamkan mata meskipun tubuhnya sudah terlalu lelah untuk melakukan aktivitas. Jam kerja shif kedua sudah berakhir dua jam yang lalu, Menur pun telah sampai di rumah dan membersihkan diri. Ia pun telah merebah di pembaringannya, tinggal memejamkan mata. Namun, matanya tidak bisa terpejam. Ada yang ganjil pada malamnya kali ini.
Malam kedua tanpa Abe di sisinya. Kemarin malam Abe masih menghubunginya sebelum ia terlelap, tapi sejak tadi sore sepertinya gawai Abe tidak aktif. Terbukti dengan pesan yang dikirimkan Menur untuknya masih bertahan dengan centang satu tanpa perubahan.
Mas, sebenarnya apa yang terjadi sama kamu sekarang? Mengapa HP kamu mati? Berulangkali Menur bertanya dalam hatinya.
Atau aku telepon Untari ya untuk tanya kondisi Mas Abe? Menur kemudian menggeleng dengan cepat. Bagaimana caranya menelepon, sementara ia tidak memiliki nomor telepon sekretaris suaminya itu.
Namun, bukan Menur namanya jika ia tidak bisa mendapatkan informasi dengan cepat. Renita menjadi kunci yang bisa menghubungkannya dengan Ary. Tidak mungkin asisten mertuanya itu tidak memiliki nomor telepon sekretaris suaminya. Dan tepat sasaran, tidak butuh waktu berjam-jam Menur langsung mendapatkannya dari Renita.
Tidak menunggu esok, meski waktu sudah tidak layak dan tidak sopan lagi untuk menelepon seseorang, tapi Menur tidak lagi bisa menahan diri.
Sayangnya, sambungan nada yang menandakan bahwa telepon Untari sama tidak aktifnya dengan milik Abe membuat spekulasi hati Menur semakin menjadi-jadi. Pikiran buruk semakin bergentayangan menghantuinya malam itu. Bayangannya jauh lebih mengerikan jika dibandingkan dengan jika ia harus bertemu dengan hantu paling menakutkan di muka bumi.
Benarkah perjalanan dinas ini memang sengaja diperintahkan Romo atas usulan Ibu agar mereka berdua bisa saling mendekatkan diri? Dengan demikian Ibu bisa mewujudkan mimpinya memiliki cucu jika mereka saling jatuh cinta. Menur merenungkan semuanya, ia mulai mencoba menghubungkan penggalan cerita yang sempat mampir di telinganya tentang siapa dan bagaimana Untari itu.
Bukan tidak mungkin, Bara sengaja memberikan tumpukan pekerjaan yang akan memberatkan Ary sehingga hal yang paling masuk akal dilakukan adalah menerima pegawai baru dengan dalih sakitnya Menur kala itu, juga memberikan waktu yang lebih banyak kepada Abe agar bisa merawatnya dengan baik. Kenyataannya Abe memang berusaha merawatnya dengan baik, tapi waktu bekerja Abe tidak ada yang berubah. Justru saat Menur sudah kembali bekerja, Abe seringkali bekerja lembur. Bukankah itu artinya Abe memiliki waktu yang lebih banyak dengan Untari di kantor?
Menur semakin resah memikirkannya. Kegelisahannya semakin membuatnya gila. Ia berusaha percaya kepada Abe, tapi malam itu Menur justru memilih untuk mempercayai instingnya. Ataukah ia harus menyusul ke China untuk memastikannya?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top