11A

Jangan pernah tanya seberapa takutnya, ketika kita divonis menderita sebuah fobia... bergetar, keringat dingin, dan efeknya luar biasa. Yang jelas bisa jadi langsung dehidrasi, opname, dan mimpi buruk sepanjang malam.------------->>>>

Bingung dengan apa mengartikan perasaan yang kini sedang berkecamuk di dalam hatinya. Kata orang cemburu itu adalah tandanya sayang. Rasa cemburu pun telah disahihkan sebagai bukti cinta. Maka tidak merasakan terhadap pasangan, artinya tidak punya perasaan apa-apa. Namun, apakah sesempit itu pengertian cinta atas rasa cemburu dalam sebuah hubungan? Kalau memang sudah saling percaya, bukankah rasa cemburu seharusnya bisa diminimalisir atau bahkan tidak ada?

Berulang kali Menur menepis perasaannya sendiri. Bukan dari orang lain ia mendengarnya, tapi Menur menerima kabar yang membuat hatinya ketar-ketir itu dari sang ibu mertua yang akhir-akhir ini ia hindari. Meski kini ia telah kembali bekerja dan bisa beraktivitas normal, tapi tetap saja pekerjaan tidak bisa mengalahkan pikiran buruk atas kondisi suami yang berada jauh darinya bersama wanita lain walau kepergian mereka juga atas izinnya.

Apa yang harus dirisaukan tentang pekerjaan Abe? Buktinya selama ini ia tidak pernah berbuat sesuatu yang membuat hati Menur sakit walau berhari-hari dinas luar kota bersama kolega wanita. Sejauh ini semuanya berjalan dengan lancar dan aman. Itu sebabnya rasa percaya pada sang suami tidak perlu ditanyakan lagi. Namun, tidak dengan kali ini.

Pagi sebelum Menur berangkat ke rumah sakit ia mendapatkan telepon dari Ambar. Menur bukan penderita pentheraphobia, (istilah untuk orang yang memiliki ketakutan berlebihan pada ibu mertua) tapi melihat nama yang ada di layar gawainya membuat tangannya bergetar juga untuk membuka percakapan, sekadar menyapa atau menanyakan kabar mertuanya. Rentetan peristiwa pilu yang membuat hubungannya berlanjut tidak baik dengan sang mertua terus berkejaran di dalam otaknya.

"Abe mungkin akan telat pulang. Bisa extend satu atau dua hari karena Untari, sekretarisnya yang cantik itu sedang sakit di sana dan nggak bisa membantu Abe dengan maksimal. Jadi kamu jangan marah-marah sama anak Ibu kalau dia nggak nelepon atau mengabaikan teleponmu. Selain kerja dia juga harus memastikan Untari baik-baik saja, itu tanggung jawab atasan pada pegawainya, kan?" kata Ambar.

Menur diam tanpa jawaban. Dalam hatinya bertanya-tanya. Sekecil apa pun masalahnya, Abe biasa menceritakan apa yang ia alami pada Menur. Hal yang tidak berubah meski kini mereka tinggal terpisah dengan orang tuanya. Namun, jika berita yang dibawa Ambar adalah kebenaran. Mengapa masalah sebesar itu justru luput dari cerita Abe? Padahal sebelum Ambar menelepon, Abe terlebih dulu meneleponnya dan menceritakan semua baik-baik saja. Apa karena Abe tidak ingin ia terlalu khawatir? Tapi bukankah dengan diamnya Abe, Menur jadi berpikiran negatif hingga rasa cemburu itu menyeruak untuk hadir di antara hubungan mereka yang terlihat sedang baik-baik saja.

Cemburu terkadang perlu dalam sebuah hubungan agar tersisa percik api yang membuat hubungan tetap menyala. Namun, Menur sebenarnya tidak ingin Abe menjadi risi dengan sikapnya yang mungkin terkesan kekanak-kanakan. Ia masih waras untuk tidak sampai terjebak dengan cemburu yang berlebihan. ia harus bisa membedakan cemburu yang sekarang sedang menderanya itu cemburu karena sayang atau sekadar untuk mengekang suaminya agar tidak memiliki ruang gerak bebas. Semua ada dalam pantauannya.

Aku nggak pernah melakukan itu, tapi jika Mas Abe berkhianat, haruskah aku melakukannya dengan dalih menyelamatkan sebuah hubungan? Menur berkata dalam hatinya.

Pada detik yang sama dengan lamunannya, ia berjingkat ketika suara Renita tiba-tiba terdengar nyaring dan membuatnya kaget.

"Tuh, pasien kamar Melati 21 infusnya habis. Kamu nggak denger dari tadi nurse call nyala?" kata Renita.

Menur segera menata dirinya, Renita adalah orang yang sangat mengerti bagaimana perseteruannya dengan Ambar. Namun, untuk sekarang Menur tidak ingin menceritakan kegelisahannya karena beritanya masih simpang siur dan ia ingin menjada kehormatan Abe sebagai suaminya. Menur harus memastikannya sendiri pada Abe.

"Kamu kenapa lagi sih, Nur? Kemarin sudah bisa tertawa, sekarang kenapa melamun dan sedih lagi seperti itu?" tanya Renita setelah ia kembali dari ruangan Melati.

Menur segera menggelengkan kepala. Namun, Renita bukan baru kemarin mengenal sejawatnya itu. Jadi ia bisa membedakan kapan Menur berbohong dan kapan ia jujur padanya.

"Aku nggak ingin ikut campur dengan masalahmu, Nur, tapi kalau kamu butuh tempat cerita atau sandaran untuk menangis, telinga dan bahuku selalu siap untukmu." Renita mengusap pundak Menur lalu menyibukkan diri dengan administrasi pekerjaannya.

Di tempat yang berbeda, Abe pun juga sedang gelisah dengan kondisi yang tidak begitu baik. Bukan karena rentetan pekerjaan yang padat, tetapi kondisi Untari yang tak kunjung membaik. Sekretarisnya itu malah mengalami penurunan kesehatan secara drastis. Sehingga Abe tidak tega jika harus melibatkannya dalam pekerjaan, tapi ia juga tidak tega meninggalkan Untari sendirian di hotel.

"Nggak apa-apa, Mas. Aku bisa ikut kok, lagipula kondisi Mas Abe juga kurang fit juga," kata Untari.

Profesionalitas kerja menjadi alasan utama mengapa Untari begitu memaksakan diri untuk tetap ikut dalam pertemuan bisnis itu.

"Tapi kondisi kamu nggak memungkinkan, terlebih di luar sangat dingin," jawab Abe.

Perubahan musim yang begitu ekstrim antara Indonesia dan China membuat Abe dan Untari membutuhkan adaptasi dengan cepat. Namun, faktor kecapekan yang membuat Abe begitu rentan terserang penyakit, meski hanya influenza. Untari baru mengingat pakaian dingin yang dititipkan Ambar padanya. Ia segera berjalan menjauhi Abe untuk mengambil mantel itu di lemari pakaiannya.

"Tari, kamu mau ke mana?" Abe mengikuti langkah Untari kembali ke kamarnya.

Suami menur itu langsung membeliakkan mata ketika melihat apa yang menggantung di tangan sekretarisnya.

"Dari mana kamu dapat itu?" Abe menunjuk mantelnyabyang dibawa Untari.

"Ibu yang memberikannya padaku." Layaknya seorang pasangan, Untari membuka mantel itu lalu membantu Abe untuk mengenakannya.

Suatu hal yang terasa asing, tapi membuat Abe akhirnya mulai membiasakan diri. Ingatannya kembali pada kehidupannya bersama Menur. Hal yang akhir-akhir ini ia lakukan sendiri setelah sang istri sakit. Hatinya tiba-tiba menghangat bersamaan dengan tubuhnya yang terlindungi dibalik mantel tebal kesayangannya itu.

"Maaf, kalau lupa memberikan sejak kemarin." Untari tersenyum yang membuat hati Abe tiba-tiba meleleh.

Sikap kikuk yang ditunjukkan Abe membuat Untari semakin tersenyum dengan lebar.

"Kenapa, Mas? Geli ya aku yang pakaikan, biasanya selalu dilayani Mbak Menur sekarang harus aku gantikan atau Mas Abe nggak berkenan, bilang aja aku nggak--" Ucapan Menur langsung terpotong dengan jawaban Abe.

"Mungkin karena belum terbiasa saja."

"Jadi perlu dibiasakan ya?" tanya Untari.

Pertanyaan setengah pancingan yang memantik sisi liar seorang laki-laki yang telah lama padam sejak pilihan hati memenjarakan ingin atas sebuah kepemilikan.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top