10B
Tidak pernah ada jawaban yang pasti dan Untari enggan untuk mencarinya. Tugasnya sekarang adalah segera pulang dan berkemas untuk perjalanan panjangnya besok.
Yogyakarta International Airport menjadi titik mula perjalanan yang akan memakan waktu lebih dari 24 jam karena harus transit terlebih dulu di Jakarta dan Hongkong itu. Untari tiba terlebih dulu, lima belas menit berikutnya Abe menyusulnya tiba.
Pagi itu suasana bandara sangat ramai. Mungkin karena musim liburan sekolah telah tiba sehingga Yogyakarta menjadi tujuan wisata yang cukup menarik atau orang-orang seperti Abe dan Untari yang sedang melakukan perjalanan bisnis. Abe yang kurang tidur dari semalam memilih untuk memejamkan mata ketika menunggu boarding pesawat.
Untari yang datang dengan segelas kopi pahit dan sekerat roti untuk Abe menjadi segan untuk memberikan dua benda itu pada atasannya karena melihat Abe yang duduk memejamkan mata. Ia hendak meletakkan kopi dan roti itu di kursi kosong yang ada di sebelah bosnya itu, tapi sepertinya harapan Untari untuk membiarkan Abe memejamkan mata itu hanyalah mimpi.
Mata Abe tiba-tiba terbuka ketika hidungnya menghidu wangi kopi yang berada tidak jauh dari tempat duduknya. Tangannya mulai terulur untuk menggeliat, tapi tanpa sengaja justru membuat kopi yang masih ada di tangan Untari tumpah mengenai tangan gadis itu. Air panas yang mengenai kulitnya membuat Untari spontan melepaskan genggamannya dan gelas kopi itu otomatis terjatuh di lantai.
"Aww," teriak Untari.
"Maaf-maaf, aku nggak sengaja." Abe langsung mencekal tangan Untari dan memeriksanya.
Warna merah di kulit putih gadis itu sudah memberikan penjelasan. Abe segera beranjak untuk mencari beberapa salep di kotak P3K yang ada di ruangan itu atau memintanya kepada petugas untuk menghilangkan lepuhan yang mungkin tercipta di tangan Untari.
Tidak butuh waktu lama, Abe kembali dengan sebuah salep lebam di tangannya. Dengan cepat ia membantu mengoleskan pada Untari. Tidak ada keganjilan yang terjadi sampai dengan Abe selesai mengoleskan salep lalu menatap Untari yang juga sedang menatapnya tanpa suara. Kedua mata mereka berserobok dalam satu titik yang sama dan satu detik yang terlampaui itu menciptakan getaran baru tanpa frekuensi yang sulit dijelaskan dengan kata-kata di hati Abe.
"Maaf ...." Abe segera memutus kontak mata mereka.
Untari pun menjadi salah tingkah karenanya. Ia bermaksud mundur menjauh, tapi karena air tumpahan kopi yang tercecer di lantai justru membuatnya terpeleset karena licin. Beruntungnya Abe dengan sigap menangkap Untari sebelum tubuh gadis itu mendarat di lantai. Lagi- lagi mata mereka berserobok kembali. Dan kali ini tidak ada yang bisa menghindar. Saat Untari berusaha menggeliat untuk berdiri normal kakinya justru menginjak dress yang ia kenakan dan kali itu ia tidak bisa terselamatkan. Bahkan Abe yang semula berniat menolongnya justru ikut terjerembab jatuh di atas tubuh Untari.
"Maaf ...." Abe kembali mengucapkan kata keramat itu setelah sadar bahwa tubuh besarnya justru menimpa Untari.
Semua terjadi begitu cepat, tidak ada yang saling menyalahkan. Mereka justru dibantu beberapa orang untuk segera berdiri. Yang terparah adalah Untari, pakaiannya menjadi kotor dan mungkin tubuhnya ada yang sakit ditimpa Abe.
"Kamu nggak apa-apa?" tanya Abe. Walau hatinya masih bergolak, tapi otaknya masih cukup waras berpikir.
"Sepertinya aku harus mengganti pakaian, Mas. Ini kotor semua." Untari melihat dirinya yang tampak amburadul.
"Perlu aku bantu?" Pertanyaan spontan sebagai wujud simpati dari Abe itu justru membuat kening Untari berkerut.
"Maksudku, aku bawakan kopernya ke ruang ganti," kata Abe setelah ia menyadari kesalahannya.
Untari menggelengkan kepala. Ia bisa dan terbiasa melakukannya sendiri. Namun, saat hendak mengangkat tas miliknya Untari malah mengaduh karena tangannya terasa nyeri.
"Sini biar aku yang bawa, sepertinya tanganmu terkilir," kata Abe.
Tidak perlu menunggu jawaban Untari, Abe segera mengajak gadis itu menuju ruang ganti. Ia meminta tolong salah seorang petugas wanita untuk membantu Untari membersihkan tubuh dan mengganti pakaiannya.
"Mas, ini hanya terkilir. Aku masih bisa melakukannya sendiri."
"Nggak! Jangan suka membantah perintah atasan. Aku akan semakin bersalah kalau nanti terjadi lagi di dalam karena kamu kesulitan." Sikap ceria yang biasa Abe tunjukkan kini berubah menjadi sikap tegas khas seorang atasan pada bawahannya.
Namun, bagi Untari semua itu justru terlihat sebagai bentuk perhatian yang mungkin tidak akan ia terima jika insiden kopi tadi tidak pernah terjadi. Kini, bukan hanya Abe yang salah tingkah saat Untari menatapnya dengan intens, Untari sendiri juga mulai merasa canggung dengan cara Abe membalas tatapannya.
"Aku tunggu di sini." Suara Abe membuat Untari tersadar, dia harus segera masuk untuk membersihkan diri dan mengganti pakaiannya.
Jangan pernah menyepelekan hal kecil yang mungkin akan menjadi akar masalah yang sangat besar nantinya di kemudian hari. Dan jangan pernah menormalisasi sesuatu yang harusnya bisa dihindari sebagai bentuk penjagaan hati. Namun, sepertinya semesta sedang menguji keteguhan hati atas sebuah janji. Jika pada akhirnya nanti ada hal yang patut untuk dipertanyakan maka hati tidak perlu memberikan jawaban ketika logika tidak lagi memiliki nyawa untuk membuat seseorang tetap waras dalam pendiriannya.
Dua puluh empat jam bersama, membuat Abe semakin dekat dengan Untari. Kecelakaan kecil di YIA tadi membuat tangan Untari bengkak dan sepertinya Abe harus memeriksakan dengan serius setelah ia mendarat di China nanti.
"Aku bisa sendiri, Mas Abe. Ini tinggal tarik saja kok," tolak Untari. Gadis itu merasa tidak enak hati pada atasannya yang kini justru mengurusnya selama perjalanan.
"Nggak, kamu jalan saja biar semuanya aku yang bawa. Toh kita bisa ambil troli nanti di baggage claim," jawab Abe.
Laki-laki itu langsung mengambil alih barang bawaan Untari, termasuk tas pundak milik gadis itu dan memintanya segera meninggalkan pesawat ketika tidak satu pun penumpang yang tersisa di dalam pesawat setelah mereka mendarat di Beijing kecuali mereka berdua dan pramugari yang bertugas.
"Mas Abe, maaf kalau aku malah merepotkan di perjalan dinas pertama kita," kata Untari lirih.
Abe tersenyum tanpa memberikan jawaban. Menurutnya tidak pantas gelar laki-laki itu disandang ketika wanita yang sedang bersamanya justru merasa kewalahan saat ia membutuhkan bantuan. Sekali lagi Untari merasa tidka enak hati saat Abe memilih untuk ke rumah sakit terdekat dari bandara daripada pergi ke hotel setelah dari bandara.
"Apakah ini tidak terlalu berlebihan, Mas. Ini kan cuma terkilir, nanti juga bisa diurut sampai hotel," kata Untari.
Abe menatap wanita yang duduk di sebelahnya itu, apakah ia sedang lupa bahwa mereka tidak lagi berada di Indonesia yang bisa dengan mudah mencari tenaga urut. Atau jangan-jangan Untari memintanya untuk mengurut tangannya yang terkilir itu.
"Tapi aku nggak bisa mengurut, Tari. Nanti malah tambah bengkak kalau salah uratnya."
Jawaban Abe itu tidak ada yang keliru, tapi jelas membuat Untari tersadar bahwa tidak mungkin ia menyuruh atasannya itu untuk mendapatkan ahli pijat urat di China untuk membenahi tangannya yang terkilir. Akhirnya diam menjadi hal yang paling masuk akal untuk mengkamuflasekan rasa malu yang kini sedang menghinggapinya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top