10A

Perhatian perhatian.....di sini akan terdapat banyak percakapan bahasa Jawa. Kenapa? Karena ngomongin Yogya itu kalau terus-terusan pakai bahasa Indonesia rasanya tanganku jadi gatel. Orang Yogya sendiri kalau ketemu sesama Jawa sangat jarang menggunakan bahasa Indonesia... 🙏🙏 Jadi kalau kelewat nggak ada artinya...coba tag di komen ya....

Time flies so fast, satu bulan berlalu. Waktu yang cukup untuk mengamati dan memberikan penilaian atas kinerja seseorang. Apakah ia orang yang bersungguh-sungguh dalam bekerja atau hanya sekadar numpang ketenaran dari tanggung jawab yang harus ia emban dalam sebuah pekerjaan atas pekerjaan orang lain.

Penilaian yang rasanya cukup adil diberikan kepada Untari ketika semua pekerjaannya selalu membuat kagum Abe. Bahkan bukan hanya Abe, Bara pun mengakuinya. Sekretaris baru putranya itu cukup lihai dalam banyak hal, termasuk ikut dalam sebuah negosiasi kerja dengan calon investor yang harusnya ia atau Abe lakukan.

Tidak cukup sampai di situ. Ambarukmi pun ikut nimbrung menambahkan kelebihan Untari, ia yang awalnya datang ingin mendamprat pegawai baru itu sebulan yang lalu, kini justru berbalik arah dengan sangat menyukai karena gadis itu adalah sosok yang sangat hangat berinteraksi dengan siapa saja. Sekarang, setelah satu bulan berlalu Ambar sudah lebih dari lima kali bertemu dengan Untari. Ia bahkan tak segan mengundang sekretaris sang putra itu makan malam di rumahnya karena merasa kesepian saat Bara lebih asyik dengan pekerjaannya di luar rumah sementara Abe juga sudah tidak mau lagi tinggal bersamanya.

Seperti malam itu, Untari tengah duduk bersama Ambar di meja makan keluarga Barata Gandasulli. Namun, malam itu tidak hanya berdua dengan Ambar saja, tapi juga bersama Bara.

"Pekerjaan aman, Tari?" tanya Bara.

"Pak, kalau sedang makan di rumah nggak usah ngomongin pekerjaan memangnya nggak bisa?" sungut Ambar.

"Lah ya mumpung bareng Tari to Bu, biasanya dia sibuk terus ngurusi kerjaannya Abe," jawab Bara.

"Lah ya wajar to, sekreterisnya Abe ya ngurus kerjaannya Abe. Kalau ngurusi kerjaannya Bapak, iku sing wagu." Ambar berdiri. Ia bermaksud hendak mengambil kobokan yang mungkin sedang dibutuhkan Bara karena sepertinya laki-laki itu ingin makan menggunakan tangannya.

"Biar saya yang ambilkan untuk Bapak, Bu Ambar." Untari berdiri lalu meninggalkan meja makan beberapa saat.

"Cantik ya Pak sekretaris Abe itu," celetuk Ambar.

"Ya cantik, namanya juga wanita. Ibu dan Menur juga nggak kalah cantik. Lebih cantik kalian malah karena sudah punya pawang," kelakar Bara.

Ucapan Bara sukses membuat Ambar ingin muntah. Bagaimana tidak, mendengar nama sang menantu disebut saja ia sudah muak terlebih sang suami menyebutnya di meja makan.

"Wes to, Pak. Kok aku enek krungu jeneng e cah kuwi. Ayu-ayu yen ra iso manak nggo opo!" Ambar mengerucutkan bibirnya.

"Hush, Ibu iki opo to jane? Sesama wanita itu harusnya bisa saling dukung. Ora malah mojokne ngunu kuwi, Menur kuwi mantune awakdewe. Yo podo wae posisine ro Abe. Mantu iku yo anak." Wajah Bara berubah tidak suka dengan tanggapan sarkas yang dilontarkan Ambar.

"Alah, Bapak ini kok kayak ra kepengen nggendong putu to," sanggah Ambar.

"Lha terus saiki kepiye, wong akhanane wes ra mungkin. Yo ditrimo wae to, Bu. Abe ro Menur ki wes adem ayem, ojo diungkreh-ungkreh meneh to," jawab Bara.

Ambar diam, tapi otaknya berpikir dengan keras. Tidak lama kemudian senyumnya merekah saat melihat Untari berjalan mendekati mereka dengan sebuah mangkok di tangannya.

"Aduh, anak pinter. Wes ayu tanggap waskito pisan," puji Ambar.

Untari mengernyit tidak mengerti maksud Ambar. Dia hanya tahu, ucapan istri bosnya itu ditujukan padanya.

"Iya, Bu Ambar. Maaf, saya kurang begitu faham dengan bahasa Jawa," kata Untari.

Ambar dan Bara tertawa lirih melihat kepolosan tingkah Untari.

"Sudah kamu duduk lagi, ayo kita makan bareng-bareng. Bapak sudah lapar itu," jawab Ambar dengan memberikan isyarat mata pada Untari.

"Makanya nanti cari jodoh orang Jawa saja, biar ada yang ngajari bahasa Jawa. Atau nanti Ibu sampaikan pada Abe, biar ngajak ngomong bahasa Jawa sama kamu, biar lebih cepat ngertinya," tambah Ambar.

Senyum tipis tersungging di bibir Untari. Bukannya lebih cepat ngerti, tapi pekerjaan Untari tidak akan cepat selesai karena dia harus membuka pepak bahasa Jawa setiap hari.

"Bu Ambar ini ada-ada saja. Yang ada nanti Mas Abe malah marah-marah sama saya karena nggak paham apa yang dia maksud," jawab Untari.

"Ya sudah, kalau Abe nggak mau ngajari biar diajari sama Bapak saja. Mau to, Pak, ngajari ngomong Jawa sama cah ayu ini?"

"Lah kalau Bapak yo jelas ora nolak." Bara menimpali ucapan Ambar tanpa rasa bersalah.

Ketiganya lalu tertawa bersama-sama. Kehangatan keluarga tercipta sangat nyata di meja makan malam itu. Untari mulai bisa menilai dari siapa Abe mewaris jiwa hangat itu. Bukan hanya parasnya yang sangat mirip dengan sang ayah, tapi juga dengan keramahan dan sikap humble yang selalu mengorangkan orang lain walau mereka adalah bawahannya.

Makan malam istimewa itu akhirnya berakhir. Setelah berbincang beberapa saat setelahnya, Untari harus segera pamit karena ia harus menyiapkan segala sesuatu untuk perjalanan bisnis pertama kalinya dengan Abe.

"Sebenarnya masih ingin tinggal, Bu Ambar, tapi saya benar-benar harus segera pamit," kata Untari.

"Oh, iya besok harus ke China dengan Abe, kan?" kata Bara.

"Benar, Pak." Untari tersenyum tipis.

Tiba-tiba Ambar beranjak dari tempat duduknya dan meminta Untari menunggunya sebentar.

"Jangan kaget dengan Ibu, Tari. Biasalah, ibu-ibu memang suka ribet sendiri jika berkaitan dengan anak-anaknya. Apalagi sepertinya beliau sangat menyukai kamu," kata Bara.

"Iya, Pak. Bu Ambar sangat baik pada saya. Saya merasa beruntung sekali dengan itu. Tuhan seolah menghadirkan beliau sebagai sosok pengganti almarhumah ibu saya." Untari berkaca-kaca mengingat sosok yang sangat berarti dalam hidupnya.

"Kalau kamu mau anggaplah istri saya sebagai ibumu sendiri, saya yakin ibunya Abe tidak keberatan untuk itu." Bara menyorongkan tisu pada Untari yang sudah meneteskan air matanya.

Hal yang tak luput dari penglihatan dan pendengaran Ambar karena ia telah berdiri di dekat mereka dari Untari menyebutkan kata almarhumah ibunya.

"Tentu saja Ibu nggak keberatan, mendapatkan anak cantik seperti kamu, Untari." Ambar memilih duduk di dekat Untari lalu memberikan pelukan hangat seorang ibu kepadanya.

"Mulai sekarang panggil saya dengan panggilan Ibu, nggak usah pakai embel-embel nama, biar kamu bisa menjadi anak Ibu dengan benar."

Ada pesan tersirat yang terabaikan karena semua mata kini justru terpaku pada sesuatu yang ada di tangan Ambar.

"Nduk, tolong bawa ini untuk jaga-jaga," kata Ambar menyerahkan goddie bag kepada Untari.

"Ini untuk ....?" Untari hanya melihat sekilas, tapi ia tahu kalau yang ada di dalamnya adalah pakaian tebal.

"Ini milik Abe yang tertinggal di rumah ini. Mungkin besok dia butuh, tapi enggan mengambilnya di sini. Kamu bawa saja dan berikan padanya. Karena kalau nggak salah sekarang di China sedang musim dingin."

Untari tersenyum dan mengangguk. Namun, ia semakin tertegun, hal apa yang membuat sang putra memilih menjauh dari orang tuanya. Benarkah rumor yangbberedar di kantor bahwa Ambar telah mengusir menantunya dari rumah dan Abe tetap ingin mempertahankan pernikahan mereka?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top