extra 1 + info PDF
Olaaa.
Harusnya dah habis, tapi eke mokasih pengumuman. Pdf Madu, 1 dan 2 udah ready di Google Playbook. Pembaca dari semua wilayah sudah bisa akses, kecuali yang di wilayah alam barzah, silahkan beristirahat dengan tenang.
Tukang bajak jauh-jauhlah, kaga usah makan duit haram. Inget, yey lagi diintai intel🤭
Kalau mau versi murahnya ada di akun nihbuatjajan/eriskahelmi sekitar berapa ya, 50 apa gitu. Bayar pake pulsa, shopeepay juga bisa. Judul lain juga ada, siapa tuh, si Yaya dan Malik. Udah eke masukin.
Mampir ke work baru eke, yah, Sebaris Cinta dari Halaman Pertama. Cakep, deh, tentang Miss Yasi, Anno, dan Pak Hakim yang bukan hakim. Yang belum mampir, awas keremian.
***
Extra Part Madu in Training
Gendhis dan Syauqi
Sudah lima kali Bunda Hanum menelepon sejak pagi dan Gendhis Wurdhani Parawansa berpikir kalau dia sebaiknya menjual saja ponsel miliknya tersebut. Jika sudah begitu, sang bunda sudah pasti tidak bisa menghubunginya lagi. Tapi, lama-kelamaan dia berpikir sangat rugi menjual satu-satunya hiburan yang dia miliki sejak sahabatnya tersayang direbut oleh abangnya yang judes.
Jika sedih, Gendhis cukup menyalakan pemutar lagu atau video, maka dia akan ikut bernyanyi atau tertawa jika ada tayangan lucu. Kesedihannya akan larut dan menguap. Kalau ponselnya dia jual, dia bakal kehilangan momen menonton, menyanyi, atau bahkan melirik akun-akun cowok tampan yang sering mondar-mandir di Instagram miliknya.
Ibaratnya, Gendhis melemparkan diri ke kandang buaya lapar. Sebelum mati, tubuhnya bakal dicabik-cabik terlebih dahulu dan sama saja artinya dia merasakan penderitaan tiada akhir sebelum akhirnya raga dan nyawanya kemudian terpisah dunia.
Minta ampun. Janganlah gue jual HP. Gini-gini, gue mesti nabung setengah tahun biar bisa beli.
Lagipula, di galeri ponsel milik Gendhis banyak tersimpan foto dirinya dan si kembar tampan yang membuatnya jadi sering mampir ke rumah sang abang. Dia juga tidak peduli jika kemudian, dirinya dan Krisna Jatu Janardana jadi sering adu mulut karena Krisna mengaku dia bosan melihat kehadiran sang adik yang membuatnya jadi susah bermesraan dengan sang nyonya.
Hah? Itu bukan salahnya. Sama sekali bukan. Jika kantong menyan Krisna sudah gatal, Gendhis bisa membantunya membelikan salep jamur.
"Dasar adik sinting."
Huh, lo yang sinting.
"Dhis. Dhis. Ada yang cari."
Sebuah cuilan di bahu kiri Gendhis membuat dia sadar bahwa menjual HP adalah kekonyolan yang bakal membuatnya rugi sendiri. Kenyataannya, orang-orang yang mestinya dia hindari kemudian muncul di depan hidung. Salah satunya adalah Syauqi Hadad yang kini telah memunculkan wajah tepat setelah pintu klinik terbuka.
Sial sekali, ternyata kakinya seperti dipaku dan dia hanya menatap kosong kepada pria yang dijodohkan setengah mati oleh ibu kandungnya sendiri.
"Bun, jangan-jangan yang ngebet jadi ayangnya Syauqi itu Bunda, kan Bunda Janda."
Ketika dia mengucapkan kalimat tersebut sekitar dua minggu lalu, Gendhis malah mendapatkan pukulan di pantat. Sumpah, untuk tahun 2022, omelan dari sang ibu serta pukulan seperti itu telah membuatnya merasa seperti anak berusia sepuluh tahun dan bukannya menolong, Krisna yang saat itu sengaja mampir ke rumah ibunya, hanya tertawa terbahak-bahak mendengar adiknya minta bantuan dengan wajah memerah.
"Memang salah lo sendiri cari penyakit."
Salahnya? Cih. "Penyakit" itu bahkan kini dengan tampang polos melemparkan sebuah senyum amat lebar kepadanya ketika mereka bertemu muka.
"Mau cari Gendhis, ya?"
Seorang perawat senior bernama Mbak Tini yang dihormati oleh Gendhis, sialnya menyapa Syauqi yang saat itu seolah tebar pesona. Hampir seluruh penghuni klinik grasak-grusuk melihat kehadirannya hari itu. Bagaimana tidak, bagi mereka Syauqi seperti pangeran tampan dari Arab. Tubuhnya yang jangkung dan badannya yang gagah, membuat banyak wanita yang melihatnya salah tingkah. Gendhis adalah pengecualian. Baginya, melihat Syauqi seperti melihat penjara di Nusa Kambangan, meski dia sendiri tidak pernah ke sana. Syauqi seolah-olah perlambang kebebasannya sebagai wanita lajang bakal berakhir.
Cih, menikah. Lo bakal didoktrin dengan kata-kata mesti nurut suami. Nolak melayani laki sama dengan masuk neraka. Itu tentu aja termasuk jadi babunya, tukang cuci kolor dekil mereka, bahkan budak nafsu.
Oh, satu lagi, lo gak bakal bisa nunjukin keeksitensian diri ke dunia lagi kalau sudah menikah. Mesti kudungan, rambut kudu item, nurut pula ama mertua, waduuh, belum lagi berantem sama ipar yang julidnya nauzubillah.
Ogah gue. Belum mati aja udah ngerasain neraka.
"Hei. Bengong aja. Itu ayang lo dah jemput. Piket lo dah habis, tuh."
Gendhis merasa dirinya berada di dalam dimensi yang tidak jelas. Sejak tadi otaknya terus memikirkan pertengkarannya dengan Daisy, Krisna, juga sang Bunda. Begitu dia sadar, kembali yang dia dapati adalah wajah Syauqi. Pria itu bahkan tanpa ragu melambai ke arahnya.
Apa-apaan, sih, dia itu? Biar dibilang perhatian, gitu?
Gendhis bahkan melotot seolah hendak memperingatkan Syauqi kalau dia tidak boleh macam-macam apalagi di tempat kerjanya.
"Duuuh, ganteng banget. Lo beruntung, ih."
Astaga. Apakah dia mesti memberitahu semua orang kalau dia dipaksa ibunya sendiri untuk jadi pasangan pria itu? Kalimat yang disebutkan oleh rekan-rekannya seolah-olah menegaskan kalau Gendhis kecentilan dan duluan naksir kepadanya.
Ih, yang naksir dia sekarang sudah jadi mamak anak dua. Lo semua nggak tahu kalau dulu, Daisy Djenar Kinasih sampe netes ilernya setiap melihat muka si Syauqi itu.
"Sudah selesai?"
Syauqi terdengar amat ramah sewaktu bicara. Namun, Gendhis malah memilih melengos. Dia masih memiliki beberapa tugas. Salah satunya mengembalikan catatan medis pasien yang tadi dia tangani sebelum berjalan menuju ruang depan klinik. Tidak tahunya, nasib malah mempertemukannya dengan Syauqi. Gendhis menduga, Hanum Sari Janardana punya andil amat besar di balik semua itu. Toh, dia sudah mengabaikan sang ibu, termasuk panggilan telepon darinya.
Deham-deham jahil terdengar dan dia tahu pelakunya adalah serombongan perawat seniornya yang lain, yang saat ini duduk dan berlagak menjadi petugas pencatat data kesehatan pasien dan juga menjadi petugas di bagian pendaftaran. Mbak Nuke dan Mbak Ninis adalah orang yang paling bahagia waktu melihat kedatangan Syauqi ke klinik beberapa waktu lalu. Total, sudah tiga kali pria tampan itu datang dan tiga-tiganya sudah berhasil membuat semua perawat di tempat itu gaduh, termasuk kali ini.
Melihat Gendhis malah berjalan menuju kabinet yang berisi deretan map penuh dengan data pasien, Syauqi lantas memilih duduk di bangku logam yang tersedia buat para pasien. Dia sepertinya sudah mengerti bila sedang berada di jam kerja, Gendhis tidak bisa diganggu. Malah, saat seperti itu biasanya dia manfaatkan untuk memperhatikan si bungsu keluarga Janardana tersebut dengan seksama.
Kali ini, Gendhis mengecat rambutnya kembali ke warna hitam. Bagian bawah di dekat telinga bagian kiri dan kanan yang tergelung, Syauqi bisa melihat sebagian rambut dicat hijau seperti kemoceng bulu ayam. Melihatnya membuat tangan Syauqi gatal. Dia ingin sekali mengacak-acak rambut itu tapi dia sadar besar sekali risiko untuk dihajar oleh ipar Daisy tersebut.
Seumur hidupnya, hanya Gendhis satu-satunya wanita yang melakukan hal tersebut. Dia sedikit khawatir bila rambut Gendhis rusak karena berganti-ganti cat rambut, tetapi, kenyataannya saat tergerai, rambut adik Krisna Jatu Janardana tersebut tampak baik-baik saja, malah, dibandingkan rambutnya sendiri, rambut Gendhis tampak sangat indah dan berkilau.
"Kagak copot biji mata lo merhatiin gue dari tadi? Apa di dalam kepala lo ada pikiran buat mutilas* gue atau ngelempar gue dari atas jembatan?"
Syauqi tergagap karena tahu-tahu saja dia melihat sosok tubuh Gendhis berada di hadapannya. Wanita akhir dua puluh dua tahun tersebut bersedekap. Bibirnya maju dan matanya menyipit. Syauqi melihat kalau saat ini Gendhis masih memakai pakaian perawatnya di balik cardigan berwarna krem miliknya.
"Astaghfirullah. Ngapain juga mau bunuh-bunuh orang?" balas Syauqi sambil mencoba bangkit dari tempat duduknya. Beruntung tidak ada pasien di dekat mereka dan artinya tidak ada yang menguping pembicaraan mereka tadi.
"Siapa tahu. Lo pasti ke sini karena disuruh mak gue, kan?"
Untuk yang satu itu, Syauqi tidak menyangkal. Dia mengangguk dan perbuatannya tersebut membuat Gendhis berjalan melewatinya untuk lebih dulu membuka pintu klinik. Syauqi pun menyusul dari belakang dan menunggu reaksi Gendhis berikutnya yang dia tahu bakal makin marah karena tidak menemukan mobil kesayangannya terparkir di pelataran depan klinik seperti biasa.
"Lo yang jadi dalang di balik ini semua?" Gendhis menoleh kembali ke arahnya. Gelungan rambut gadis itu telah berubah. Gendhis menguncir rambutnya dan meletakkan semuanya di samping kanan bahu. Dia tampak menawan dan reaksi Syauqi hanyalah kedua tangan di dada, tanda dia tidak tahu apa-apa.
"Maksudnya apa? Tadi Bunda yang minta aku ke sini, karena katanya mobilmu rusak dan diderek ke bengkel. Bunda minta tolong aku jemput."
Hah? Gendhis yakin Syauqi melihat mulutnya yang kini terbuka selebar terowongan Mina. Masa bodohlah. Bagaimana bisa Bunda Hanum berbuat nekat seperti itu? Kunci mobilnya saja masih berada di pouch milik Gendhis, di dalam tasnya yang saat ini dia pakai. Mengangkut mobilnya dengan derek? Memangnya nenek tua itu tidak sayang dengan duitnya? Gendhis yakin, biaya derek tidak murah. Bisa-bisanya sang ibu main drama bodoh seperti ini untuk merebut hati Syauqi?
"Lo kena kibul kalau begitu." Gendhis membalas. Dia berharap Syauqi bakal kecewa. Gendhis bahkan tanpa ragu membuka tas dan pouch-nya lalu pamer kunci mobil miliknya yang dari tadi belum berpindah tangan.
Selama beberapa detik, Syauqi nampak diam memperhatikan sikap Gendhis. Dia tidak bicara tetapi Gendhis tahu pria itu sedang memikirkan sesuatu dan dia tebak, mungkin setelah ini Syauqi ogah lagi menanggapi permohonan palsu seorang Hanum Sari Janardana. Tapi, korban muslihat sang ibu tampaknya bukan hanya Syauqi, iparnya yang dulu sepertinya amat ibunya benci kadang juga kena getahnya. Topiknya, tentu tidak jauh-jauh supaya Gendhis mau jalan bareng dengan Syauqi dan hari ini.
"Ya nggak masalah. Dikibuli atau nggak, kita memang mesti pergi bareng hari ini." Syauqi menjawab dengan santai. Ditunjukkan SUV berwarna silver miliknya dan dari gerak tangannya, jelas sekali kalau dia meminta Gendhis untuk bergabung bersamanya.
"Kalau gue ogah? Napas aja gue nggak mau." gerutuan Gendhis, walau pelan tetap terdengar di telinga Syauqi. Namun, bukannya marah, pria itu malah tertawa dengan suara amat renyah.
"Nggak masalah. Tinggal kugendong masuk mobil."
"Sinting." Gendhis membalas. Dia sudah pasang kuda-kuda kalau Syauqi gila itu berani melakukannya. Tetapi, kata-kata berikutnya segera saja membuat tubuh Gendhis merinding dan dia rasanya ingin berteriak kuat-kuat bila tidak malu dibilang orang gila oleh sekelilingnya saat ini.
"Ayolah, Sayang. Masuk. Kita masih harus cari cincin dan setelahnya fitting baju. Kalau kamu main-main terus, bundamu bisa marah."
Hiih, sayang sayang apanya? Sejak kapan mereka saling sayang. Gendhis bahkan masih diam di tempat dan ogah bergabung dengan pria itu. Ingatkan lagi, dia enggan bernapas di satu ruangan yang sama dengan Syauqi Hadad.
"Ayo, masuk."
Pintu bagian penumpang terbuka dan Syauqilah yang melakukannya. Pria keturunan Arab tersebut memegang pintu mobil dan tangannya mempersilahkan sang perawat slebor itu masuk.
Dari luar pintu klinik terdengar suara riuh bersahut-sahutan dan ketika menoleh, Gendhis mendapati teman-temannya berkerumun mengintip interaksi mereka berdua.
"Cuittt-cuiitt, fitting, ni, yeeee."
Gendhis memejamkan mata, menahan diri untuk tidak menghajar mereka semua. Setelah menghentakkan kaki tanda kesal, dia tidak punya pilihan lagi selain melangkah masuk mobil dan menyumpah entah kepada siapa.
***
Jangan bilang haram- haram Dhis cat rambut. Kalo masuk neraka, yg disiksa dia, bukan yey, ya, ukhti. Kalo yey mau masuk surga, buruan, tutup ni halaman.
Babayyy.
Salam kecup Bunda Hanum.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top