9

Madu in training 9

Daisy Djenar Kinasih masih larut dalam lamunan saat lengan kirinya digoyang-goyangkan oleh Nirmala dan Dwi, anak asuh mereka di panti asuhan. Nirmala berusia delapan tahun sementara Dwi berusia sepuluh tahun. Syauqi yang melihat betapa paniknya Daisy beberapa jam lalu, berinisiatif mengantarnya menggunakan mobil yayasan, model APV dengan stiker yayasan di hampir seluruh body mobil. Agar wanita muda itu merasa nyaman karena mereka akan bepergian bersama, Syauqi meminta dua anak asuh untuk menemani mereka. 

Ketika keluar dari mobil, Daisy merasa kalau mereka sudah seperti sebuah keluarga kecil. Hal tersebut seharusnya mampu membuatnya tersenyum. Akan tetapi, Daisy malah semakin murung. Padahal, tidak setiap saat Syauqi berinisiatif seperti ini, setahun sekali juga belum tentu. Cinta dalam diam yang dirasakan oleh Daisy, barangkali tidak dirasakannya. Hanya saja, saat mereka berinteraksi, Daisy merasa kalau Syauqi paham dengan perasaannya juga.

"Kok murung terus?" suara lembut Syauqi menyadarkan mereka berdua. Nirmala dan Dwi sudah berjalan di depan mereka dengan memegang keranjang merah sementara Daisy hanya memandang lantai supermarket dengan wajah bingung.

"Eh? Ah, masak?" 

Daisy yang panik kemudian mengalihkan diri dengan pura-pura mengambil sebuah makanan ringan dari rak dan membaca kemasannya. 

"Banyak micin." 

Salah tingkah, Daisy lalu tersenyum dan mengembalikan makanan ringan tersebut ke rak. Dia tidak berminat untuk berbelanja. Jika sudah jajan, dia tidak akan berhenti lagi. Terutama saat menulis di malam hari. Amat bahaya. Dia merasa lebih banyak mengudap daripada mengetik dan tahu-tahu, yang dikerjakannya hanya sekian persen dari target. 

"Micin yang bikin sedap, sih." Syauqi kemudian mengambil kemasan makanan ringan yang baru saja dikembalikan oleh Daisy lalu ikut membaca tulisannya, "Ah, nggak terlalu banyak. Kamu mau?"

Daisy menggeleng. Dia ingin sekali mempercepat langkah dan mengejar dua bocah perempuan di depan mereka supaya Syauqi tidak perlu melihat rona merah yang terbit di pipinya yang putih. 

"Jangan. Nanti aja, bisa beli sendiri." 

Syauqi memanggil Nirmala agar mendekat dan gadis muda itu dan ketika Nirmala menghampirimya, Syauqi segera mengisi keranjang merah tersebut dengan beberapa bungkus makanan ringan. 

"Mas, nggak perlu. Panti lagi butuh banyak biaya, lho. Jangan gara-gara ini kamu keluar uang buat hal yang nggak guna." 

Nirmala memandang bingung ke arah dua orang dewasa yang bicara dengan nada serius di hadapannya. Apalagi, saat Daisy berkata, mereka sebaiknya berhemat daripada menghambur-hamburkan uang. Gara-gara itu juga, dia kemudian berinisiatif mengembalikan beberapa makanan ringan pilihannya ke rak. 

"Loh, kenapa dikembalikan?" Syauqi yang heran karena sikap Nirmala tidak bisa menghentikan rasa penasaran.

"Uhm, nggak apa-apa, Abi. Nanti makan nasi aja. Nggak enak sama teman-teman kalau lihat kami jajan." 

Baik Daisy maupun Syauqi, keduanya sama-sama terdiam. Di saat yang sama, Nirmala juga meminta Dwi mengembalikan belanjaan yang dia ambil sehingga hal tersebut membuat Syauqi cepat-cepat mencegah, "Sudah-sudah. Ambil saja yang kalian mau, nanti Abi bayar. Buat Titin, buat Siti, buat teman-teman kalian."

Nirmala dan Dwi bersorak senang. Mereka lalu mengambil kembali makanan ringan yang tadi telah dikembalikan ke rak. Tapi, kali ini, Nirmala dan Dwi benar-benar menghitung jumlahnya agar tidak kemahalan.

"Ambil yang seribuan aja, Wi. Kita, kan, rame. Kalau lima puluh orang, Abi mesti bayar lima puluh ribu."

Syauqi yang tidak enak hati lantas bicara lagi, "Nggak apa-apa. Yang lima ribu juga boleh."

"Kalau semuanya lima ribu, boleh, Bi? Susu sama ciki, sama kacang?" usul Dwi yang berpikir daripada mengambil satu barang seharga lima ribu rupiah, lebih mending mengambil sejumlah barang dengan total harga yang sama. Dengan begitu, akan lebih banyak lagi barang-barang yang didapat oleh teman-temannya."

"Boleh. Boleh." 

Raut senang dua anak perempuan tak berayah ibu tersebut tidak bisa ditutupi sama sekali. Setelah Nirmala dan Dwi saling hitung jumlah belanjaan mereka, Syauqi kembali fokus kepada Daisy yang masih termangu menatap mereka berdua.

"Des?" 

"Iya, Mas?" Daisy mencoba tersenyum, "terharu lihat kamu begitu baik sama mereka. Dulu, aku nggak sempat diajak jalan-jalan. Tapi, seumur mereka aku selalu berharap ada keluarga yang mengajak aku pulang. Memang terjadi, cuma, pada akhirnya aku selalu kembali ke panti. Sampai aku berpikir di pantilah takdirku. Mungkin, nanti aku juga bakal mati … "

"Istighfar," Syauqi memotong, "bukan aku nggak senang kalian terus bersama kami. Tetapi, kuharap semua orang punya masa depan yang indah. Termasuk kamu."

Daisy ingin sekali mengangguk. Tetapi, dia juga ingin mengingatkan Syauqi, bila nanti pria itu melamarnya, dia ikhlas mengabdikan diri untuk panti, selamanya. Karena itu, menyebut bahwa dia mungkin akan meninggal di tempat itu tidaklah salah. Apa lagi yang lebih bahagia dibanding meninggal di dalam pelukan orang yang paling dicintai? Hanya Kartika Hapsari yang otaknya sudah miring, bermimpi bahwa kematian paling indah adalah berhasil menyatukan suami dan adik angkatnya dalam satu mahligai rumah tangga. 

Yang satu itu sudah keblinger, pikir Daisy. Tapi, sekacau apa pun otak Kartika, Daisy amat menyayanginya. Wanita itu penyelamat Daisy sejak dia kecil, bahkan sempat menampungnya beberapa hari di rumah orang tua yang mengadopsi Kartika yang sempat dikiranya sebagai istana, namun, ternyata bukan.

"Terus, keadaan Mbak Tika gimana?" 

Setelah beberapa detik dalam keheningan, Syauqi akhirnya bicara lagi. Daisy yang mulanya enggan bicara, berpikir kalau dia harus berbagi kepada Syauqi. Siapa tahu, pria itu bisa memberikannya solusi, atau malah dengan tegas menyuruh Daisy menolak dan balik memintanya jadi istri. 

"Parah, Mas." 

Kata-kata itu meluncur saja dari bibir Daisy yang tidak berpulas lipstik sama sekali. Dia hanya melindungi diri dengan tabir surya saat keluar dari ruangan. 

"Parah gimana? Maksudmu, Mbak Tika nggak bisa sembuh?"

Usia Kartika dan Syauqi hanya berbeda dua tahun. Pria itu mengenal Kartika sejak kecil dan dia amat hormat kepadanya. Dibandingkan saudaranya yang lain, Anton dan Anita, Syauqi malah lebih akrab dengan panti. Entah kenapa, tapi dia merasa punya hubungan erat di sana.

"Iya." Daisy mengangguk. Dia ingin bicara membahas permintaan tak masuk akal yang diutarakan Kartika, tapi tidak berani. Alasan yang paling utama adalah dia tidak ingin menikah dengan Krisna. Dia tidak mencintai pria itu dan merasa pernikahan bukanlah solusi untuk kesembuhan Kartika.

"Pantas dia minta notaris buat ngurus jual beli tanah di sebelah panti secepat mungkin." Syauqi menggumam, dia berusaha mengingat-ingat semua hal yang dia tahu dan menceritakan semuanya kepada Daisy, "Aku ditawari bantuan bangunan dan renovasi panti. Angkanya fantastis. Mbak Tika juga minta dibangunkan kompleks rumah buat pengasuh terutama yang nggak punya keluarga dan rumah. Katanya, kamar di rumah utama sudah nggak layak. Ada bantuan sumur besar buat sumber air dan juga alat-alat keperluan anak-anak. Semuanya sudah dipesan dan dalam perjalanan ke panti."

Daisy menghentikan langkah. Wajahnya tampak kecewa karena dari cerita Syauqi, pria itu tampak tidak menolak sama sekali pemberian Kartika sementara dia sendiri bersusah payah menolak semua yang dilakukan kakak angkatnya, termasuk satu tawaran melanjutkan kuliah di salah satu universitas paling bergengsi di ibukota.

"Kenapa Mas nggak tolak? Uang yang dikasih Mbak Tika pasti banyak banget. Dia butuh buat pengobatan, Mas."

Syauqi mengangguk. Dia sempat melambai kepada Nirmala dan Dwi sebelum lanjut bicara, "Sudah. Aku jelas bilang kalau tidak berani menerima bantuan sebanyak itu. Apalagi dia punya suami. Tapi, Mbak Tika berkeras, itu adalah uang tabungan yang dia dapatkan dari bisnisnya sendiri. Tidak ada hubungan dengan suaminya. Kita tahu, Kartika Hapsari salah satu wanita sukses yang cukup terkenal. Brand pakaiannya banyak, dia punya kafe, punya usaha rental mobil."

"Ya, tapi, dia bisa pakai buat berobat ke Singapura, Amerika, bukan cuma di sini." sanggah Daisy. Hatinya tidak puas mendengarkan penjelasan Syauqi.

"Mbak Tika jelas bilang kalau dia tidak punya anak dan bantuan yang dia berikan seolah-olah dia melakukan untuk anaknya sendiri. Siapa tahu, salah satu dari mereka menolongnya saat di akhirat nanti."

Daisy merasa tenggorokannya tercekat begitu mendengar Syauqi menyebutkan kalimat tersebut. Hatinya seolah teriris membayangkan Kartika yang saat ini sedang berjuang hidup dan mati ternyata sempat memikirkan hal yang amat mulia. 

"Dia bilang, tidak punya orang tua, tidak punya saudara, dan tentu saja anak. Hanya suami yang mampu menolongnya di akhirat. Tapi, itu saja nggak cukup. Makanya dia bersikeras. Mbak Tika bilang, sebanyak apa pun uang yang dia punya, nggak bakal memperpanjang nyawanya, cuma, dia tahu pasti, uang segitu bakal amat berguna buat anak-anak. Dan kamu."

Syauqi menyebutkan kata kamu kepada Daisy dengan amat lembut sehingga Daisy merasa matanya panas dan terpaksa dia harus mengerjap berkali-kali agar tidak menangis. Nyatanya, ketika Syauqi berkata bahwa Kartika telah menyiapkan sebuah rumah khusus untuknya di panti dengan sertifikat atas namanya juga, dia hanya bisa menutupi wajahnya dengan kedua tangan.

"Des? Ada apa? Ada yang bisa kubantu?" 

Syauqi berdiri cukup dekat dengan posisi Daisy saat ini. Tetapi, pria itu memilih tetap di tempatnya. Dia tidak berani menyentuh wanita muda tersebut. Hanya kata-kata perhatian yang bisa dia ucapkan untuk menghibur hati salah satu pengasuh terbaik yang dimilikinya. 

"Desi mesti bagaimana membalas kebaikan Mbak Tika, Mas? Aku nggak tega. Tapi di satu sisi, aku nggak sanggup ketika dia mengajukan permintaan kepadaku."

"Selama kamu masih bisa mengabulkannya, lakukanlah. Setidaknya, supaya dia punya kenangan indah. Kalian sangat dekat, bukan?"

Daisy mengangguk. Dia melepaskan kedua tangan lalu menoleh kepada Syauqi. Air matanya masih menetes dan entah kenapa, Syauqi ingin sekali menghapus bulir-bulir bening tersebut. Tapi, dia tahu, dia harus menahan diri. 

"Mbak Tika minta aku menjadi madunya. Apa menurut Mas, semua itu sepadan dengan kebaikan yang dia beri untuk panti?"

Syauqi terhenyak. Dia tidak menyangka Kartika meminta hal seberat itu kepada Daisy. Menjadi madunya? Syauqi sudah melihat suami Kartika beberapa kali dan tadi, mereka bertemu kembali. Di matanya, Syauqi tahu, Kartika adalah segalanya bagi pria itu. Bagaimana bisa dia menyerahkan belahan jiwanya kepada Daisy?

"Kamu satu-satunya yang berpikiran waras saat ini, Ki. Daisy tidak mau menerima bantuanku. Padahal, masa depannya masih panjang. Panti ini juga masih butuh banyak bantuan. Aku nggak tega lihat anak-anak sakit, mereka tidur di atas kasur tipis lapuk, kursi sudah rusak. Ambillah. Terima bantuan dana dariku. Bukan untukmu tapi untuk mereka. Berjanjilah kamu akan melakukannya untukku. Keluarga Hadad sangat terpandang. Aku tahu, uang bukan tujuanmu mengabdi di tempat ini. Jadi aku mohon, sebelum aku mati, buat aku bahagia dengan membahagiakan anak-anak itu  dan adikku, Daisy."

"Yang benar, Des?" 

Daisy mengangguk, "Makanya aku datang ke sana. Tapi, kamu lihat sendiri tadi kondisinya makin parah dan setelah mendengar ceritamu tentang bantuan yang dia beri buat panti, aku merasa tertekan, Mas. Aku nggak mau jadi istri kedua suaminya. Aku nggak mau."

Daisy berusaha tidak menangis. Tetapi, air matanya menolak berhenti sekalipun dia juga telah berkali-kali menghapusnya dengan punggung tangan. Amat berat menerima pinangan dari Kartika tetapi setelah tahu bantuan yang kakak angkatnya beri untuk panti, Daisy merasa penolakan yang dia berikan adalah hal yang amat jahat.

"Aku mesti gimana, Mas?" 

Tangis Daisy bukan hanya meminta pendapat Syauqi, namun, dia juga berharap kalau pria itu bisa menahannya untuk tidak mengangguk. Syauqi adalah harapan Daisy kalau dia bisa melanjutkan hidup meski tanpa orang tua dan sanak saudara dan gelengan kepala darinya adalah hal yang paling wanita muda itu harapkan.

"Kamu sendiri, bagaimana, Des?" 

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top