77-tamat
Ditamatin di sini.
Banyak bab nyempil, silahkan ke KK atau KBM. Yang menunggu ebook, silahkan follow IG eriskahelmi. Ada info di sana. Atau di bagian bawah sekali eke posting.
Komen yang banyak.
Setelah ini mampir ke lapak OlaHans yang juga dikit lagi tamat. Bukan di WP tapi, wkkwk.
Bab ini isinya ada 2 bab. 3 ribu words lebih. Kebangetan kalau kalian masih ga mau vote ama komen.
***
Ketika akhirnya si kembar genap tiga bulan dan tubuh mereka sudah semakin berisi dan lebih kuat dibanding awal saat mereka berdua lahir ke dunia, Krisna membuatkan sebuah perayaan aqiqah dengan mengundang semua orang yang mereka kenal baik. Tapi, acara tersebut tidak bisa sederhana karena yang punya hajat adalah Krisna, pemilik Astera Prima Mobilindo.
Meski Daisy sudah mewanti-wanti para tamu cuma datang, makan, dan pulang, tidak perlu ada seremonial dan sebagainya, tetapi, yang terjadi malah sebaliknya. Krisna mengejutkan Daisy dengan kedatangan EO yang akan mendekorasi rumah dan halaman ketika dia sedang menyusui si kembar. Hari itu adalah hari Kamis dan Mbak Tina mengetuk pintu kamar utama dengan wajah gugup.
“Ada mobil gede datang. Katanya dari EO.” lapor sang ART.
Untung saja hubungan Daisy dan Krisna tidak separah dulu dan pria itu langsung menerima telepon dari istrinya dan berikut omelan sang nyonya tentang kedatangan tamu di saat dia sedang sendirian di rumah.
“Nggak sendiri. Ada Mbak Tina. Yang datang juga satu tim, bukan seseorang. Lagian, bentar lagi aku pulang. Jadi nggak usah panik kayak begitu.”
Daisy bukannya gugup atau yang lebih parah, trauma karena hal tersebut mengingatkannya kepada Fadli. Tetapi, dia tidak menyangka saja Krisna berbuat senekat itu. Daisy pikir mereka hanya akan menyewa tenda dan katering saja, itu juga karena masih satu paket dengan layanan potong kambing yang juga menyediakan menu prasmanan serta nasi kotak. Kenyataannya, Krisna malah meminta bantuan kepada Event Organizer untuk membuat perayaan aqiqah Haikal dan Hakim lebih meriah dari biasanya.
"Kamu, tuh. Jangan boros-boros, Mas. Desi nggak enak hati sama Bunda."
Daisy menahan ucapannya agar dia tidak terdengar kurang menyukai sang mertua. Kenyataannya memang tidak begitu. Sejak menerima Krisna sebagai suami, dia juga menerima sang mertua tanpa banyak komentar. Meski begitu, Daisy masih kurang percaya diri mendengar omelan mertuanya tentang ini dan itu, terutama bila menyangkut uang dan perhitungannya. Daisy juga paham, bila terlaksana, acara aqiqah Haikal dan Hakim tidak mungkin disebut sederhana. Entah berapa dana yang mesti Krisna gelontorkan hingga EO harus datang. Padahal, kan, acara aqiqah dua putra mereka seharusnya tidak perlu ribet dan …
"Aku mau undang saudara-saudara mereka di panti. Anak-anak itu nanti mau kubuatkan booth bermain sendiri. Bukan cuma jadi tontonan para tamu. Malah, mereka yanh bakal jadi tamu VIP dan boleh mengunjungi stan mana saja."
Stan? Maksud Krisna apa? Daisy tidak paham. Mereka tidak mengadakan pameran dan mustahil showroom mobil milik suaminya bakal buka lapak di depan rumah.
“Jangan berlebihan, deh, Mas.” sekali lagi Daisy memperingatkan dan Krisna menanggapi dengan tawa.
“Ini aqiqah anak pertama Krisna Jatu Janardana. Memangnya kenapa kalau aku buat agak mewah sedikit? Aku juga nggak pamer melainkan karena ingin berbagi kebahagiaan.”
Bahagia, sih, bahagia. Tapi, dia tidak yakin Bunda Hanum bakal senang. Hingga detik ini saja, Haikal dan Hakim belum pernah dijenguk oleh sang nenek. Krisna juga tidak ada keinginan mengajak anak-anaknya ke rumah sang ibu sekadar untuk main dan daripada sedih, Hanum Sari Janardana nampaknya senang-senang saja tidak direcoki oleh dua anggota baru keluarga mereka.
"Tapi, kayak Desi bilang tadi, nggak enak sama Bunda. Apalagi kamu sudah kasih tahu kalau ibumu nggak datang."
Suara Daisy terdengar pelan dan khawatir. Dia serius mencemaskan mertuanya. Safira dan Yulita sepakat akan datang bersama keluarga mereka. Begitu juga dengan Gendhis, suporter nomor satu si kembar bahkan sebelum keduanya lahir ke dunia. Bila semua anggota keluarga berkumpul kecuali sang ibu, Daisy yakin, bakal membuat perasaan Bunda Hanum terluka.
"Bunda punya pilihan dan beliau memilih nggak datang." balas Krisna enteng. Tapi, dia tahu Daisy amat tidak puas dengan jawaban itu. Mau bagaimana lagi, Krisna sudah menekankan kepada sang ibu kalau dia tidak mau diatur apalagi dipaksa menikah dengan wanita yang tidak dia inginkan. Bunda Hanum juga masih pada pendiriannya tidak menerima Daisy dan bagi Krisna hal tersebut sudah cukup. Dia tidak ingin memaksa ibunya mencintai Daisy. Yang pasti, dia tetap menghormati wanita yang telah melahirkannya tersebut namun, urusan rumah tangga Krisna dan Daisy adalah ranah pribadi yang tidak ingin dicampuri oleh orang lain, walaupun itu ibu kandungnya sendiri.
"Kamu nggak takut dikutuk jadi batu kayak Malin Kundang, Mas?" Daisy memperingatkan, sedang Krisna sendiri malah terbahak. Apakah dia harus menjabarkan seperti apa sifat Malin Kundang itu sehingga bisa menjadi batu?
"Nanti biniku nangis kalau aku jadi batu. Sudahlah, jangan bahas soal Bunda dan yang lain." Krisna mencoba mengalihkan perhatian istrinya, "Aku sebentar lagi pulang. Kalau kamu masih mau di kamar juga nggak apa-apa. Suruh Mbak Tina kasih minum ke mereka. Orang-orang EO itu profesional, kok. Nggak bakal mereka ganggu kamu."
Krisna panjang lebar memberikan penjelasan tentang organizer yang dia pilih untuk menyelenggarakan aqiqah Haikal dan Hakim. Dia juga tahu penyelenggara itu dari Yulita kakaknya dan Krisna tidak bakal sembarang pilih jika tidak ada testimoni bagus dari pengguna jasa itu sebelumnya.
"Des, nanti bakal ada banyak tamu. Rekan-rekanku bakal datang dan aku harap kamu nggak minder." pinta Krisna setelah beberapa saat mereka saling diam.
"Tahu dari mana Desi minder?" Daisy membalas. Namun, di dalam hati dia sebenarnya khawatir. Padahal, sebelum ini, dia sudah pernah bertemu dengan teman-teman suaminya di resepsi pernikahan mereka. Cuma, sejak kejadian dengan Fadli, Daisy seolah menutup diri dan merasa malu.
"Prasangkaku saja." Krisna bicara lagi, "Aku takut kamu membanding-bandingkan diri dengan rekan-rekanku atau nanti malah istri mereka. Kamu harus tahu, mau sehebat apa pun wanita di luar sana, kamu adalah yang terbaik buatku."
Daisy merasakan sesuatu yang aneh di dadanya saat ini dan daripada minder, dia lebih terharu karena Krisna menganggapnya terbaik. Hanya saja, bukan Daisy namanya kalau tidak menggoda Krisna, "Ntar kuaduin sama Mbak Tika, lho, Mas."
Ada jeda selama beberapa detik sebelum Krisna menjawab, "Adukan saja. Aku juga bakal cerita kepadanya kalau kamu aslinya cerewet dan pemaksa."
Mereka berdebat kusir hingga lima menit lamanya dan baru berhenti karena Haikal menangis. Ibunya terlalu lama menerima panggilan dari sang ayah tercinta sehingga si sulung itu merasa diacuhkan. Untung saja Hakim masih nyenyak tidur dan yang bisa Daisy lakukan adalah buru-buru menyudahi telepon mereka lalu mulai menepuk pantat Haikal yang kembali melanjutkan tidurnya.
"Sabar, ya, Kak. Papa pulang sebentar lagi."
***
86 Madu in Training
Daisy benar-benar tidak menyangka kalau suaminya jadi semakin sinting setelah dia tahu betapa banyak tamu yang datang di acara aqiqah Haikal dan Hakim. Dia kira tamu yang datang paling banyak tiga ratus orang. Tetapi, Daisy sendiri tidak memperhitungkan kalau yang datang adalah keluarga, maka jumlah hitung-hitungan tersebut akan menjadi ngaco. Karenanya, setelah tahu tamu yang datang jumlahnya amat banyak, dia merasa ingin sekali mengoceh kepada Krisna.
Hanya saja, Krisna juga tidak peduli. Dia malah senang kalau tamu yang datang semakin banyak. Krisna sendiri sudah memesan katering untuk seribu undangan. Itu juga belum termasuk nasi kotak untuk dibagi-bagi ke warga sekitar serta di pinggir jalan usai acara nanti.
“Udah, santai saja. Kamu selalu berpikir kalau aku nggak punya teman gara-gara wajah sangarku. Huh, sangar dari mana? Dari semua orang yang aku kenal, cuma kamu satu-satunya wanita yang bilang kalau aku kayak demit.”
Saat itu sudah waktunya makan buat para tamu. Mereka berdua duduk lesehan di tengah rumah usai sesi foto bersama si kembar dan juga anggota keluarga yang lain. Krisna sendiri sedang menggendong Hakim sementara Haikal bersama ibu sang bayi. Mereka berempat memakai baju berwarna hampir senada, dengan kombinasi warna biru dan putih. Krisna dan kedua putranya memakai koko sementara Daisy memakai gamis. Di hari itu juga, Krisna meminta seorang penata rias menghias wajah istrinya dan setelah dua jam Daisy terkurung di dalam kamar, pada akhirnya Krisna tidak berhenti tersenyum melihat istrinya.
Meski begitu, amat bahaya berada dekat-dekat Krisna dengan wajah penuh make up, pikir Daisy. Tidak sampai satu menit, dia sudah ditarik ke kamar dan merelakan bibirnya jadi santapan sang suami dan dia harus memasang lipstik baru lagi karena pria rakus itu tampak sangat kelaparan. Untung saja di dalam kamar tersedia tisu basah milik si kembar sehingga bisa digunakan untuk mengusap bibir suaminya yang sudah cemong karena lipstik.
“Kamu memang sangar, kok.” Daisy membalas. Bibirnya tetap maju. Dia agak jengkel karena Krisna masih bersemangat mengambil kesempatan untuk menarik Daisy ke kamar atau ketika tidak ada orang, mencuri satu ciuman di bibirnya.
“Nih, tangannya jahil padahal lagi gendong Kakak.” Daisy mengingatkan. Tetapi, Krisna yang saat itu sedang menggendong Hakim dengan satu tangan, menggunakan tangan kirinya untuk mengusap puncak kepala Daisy yang memakai jilbab berwarna biru lembut. Dia tampak berkali-kali lipat lebih menawan dibandingkan biasa dan tidak heran Krisna makin blingsatan dibuat oleh istrinya.
“Dulu sama Mbak Tika begini juga, nggak, sih?” Daisy mencoba mengalihkan perhatian Krisna yang saat ini masa bodoh dengan kehadiran orang di sekitar. Kenapa pula tidak ada rekan pria itu yang mendekat dan anehnya lagi, Gendhis malah asyik ngobrol dengan beberapa pengasuh di panti. Hari ini penampilan iparnya itu agak sedikit berbeda dari biasa. Gendhis sengaja memakai gamis dan jilbab sehingga membuat kenalannya pangling saat melihatnya.
“Sama, lah. Kan, sama-sama sayang.” Krisna menyeringai lebar dan fakta itu anehnya tidak membuat Daisy kaget. Malah, dia merasa amat senang ketika tahu Krisna memperlakukan kakak angkatnya dengan sangat baik.
“Sikapmu ke Mbak Tika sama sintingnya kayak ke aku?” Daisy mendelik, pura-pura marah. Tapi, dia kepo alias penasaran. Krisna bilang sama-sama menyayangi mereka. Tetapi, urusan peluk cium dan di atas kasur, Kartika, kan, selama ini sakit. Bagaimana kakak angkatnya bisa mengatasi suami mereka?
“Kepo. Nanti kamu cemburu kalau kuberi tahu.” Krisna mencubit ujung hidung Daisy dengan tangannya yang bebas setelah tadi dia gunakan untuk mengusap kepala istrinya.
“Nggaklah. Aku cuma khawatir kalau gara-gara kegilaanmu di atas kasur jadi bikin Mbak Tika sakit.”
Krisna tahu kalau Daisy saat ini benar-benar penasaran. Wajahnya yang khawatir dengan keadaan Kartika sebelum meninggal juga tidak luput dari pengamatannya.
“Enak aja.” Krisna menjawil kembali hidung Daisy hingga dia protes batang hidungnya bakal patah dan dia bisa saja kena pilek karena tangan Krisna entah dari mana.
“Urusan kasur, kok, dibahas? Kamu tahu banget lakimu sehat, kan? Kalau Tika sedang sakit, ya, aku puasa. Santai aja. Suami kamu ini kuat, kok. Puasa berbulan-bulan aku sanggup.”
Bibir Daisy maju. Dia jelas sekali tidak percaya jawaban suaminya. Malah, dia juga menambahkan bahwa puasa atau tidak puasa, Krisna tetap sama gilanya. Hal tersebut membuat sang mantan juara Pria Sehat Indonesia itu tertawa dengan suara besar hingga Hakim yang tadinya terlelap jadi terkejut dan mulai menangis.
“Oh, anak Papa jangan nangis. Papa nggak marah.” Krisna mengusap dan menciumi pipi anaknya itu. Krisna bahkan sengaja bangkit dan menggendong Hakim agak sedikit menjauh dari Daisy dengan harapan tangis putranya reda. Saat melihat kehadiran Gendhis, Krisna langsung menyerahkan Hakim kepada sang adik dan sekejap, tangis si tampan mungil itu mulai reda. Krisna pun membiarkan saja Gendhis kabur membawa putranya dan dia sendiri sesekali menyuruh para tamu yang lewat di depannya untuk makan. Setelah merasa tidak ada lagi yang mendekat, dia akhirnya memutuskan untuk kembali duduk di sebelah Daisy yang menggeleng-gelengkan kepala melihat kelakuannya.
“Dasar kamu, Mas.” Daisy mengeluh. Kini, karena kedua tangannya telah bebas, dia bebas menyentuh dan memeluk tubuh istrinya. Krisna bahkan menyunggingkan senyum lebar sewaktu ada kenalan atau keluarganya yang lain menggoda.
“Lepasin, ah. Desi malu dilihat orang. Kalau Bunda tahu …” Daisy menghentikan bicara. Dia menoleh ke arah sekeliling sebelum membuka mulut. Tidak ada Bunda Hanum dekat mereka saat itu.
“Biarin aja kalau Bunda lihat. Dengan begitu nggak ada kesempatan buatnya maksa aku kawin lagi. Menurutmu, mukaku kelihatan kayak orang doyan kawin?”
Haruskah Daisy menjawab iya? Bukankah suaminya punya kemampuan hebat bisa menggauli istri mudanya di saat sang istri tua sedang sekarat? Mungkin bila dia sendiri meninggal dan meminta Krisna menikah lagi, hal tersebut seharusnya tidak terlalu sulit.
“Kalau kemarin aku benar-benar meninggal tapi, sebelumnya sempat menyuruh kamu menikah lagi seperti yang dilakukan sama Mbak Tika, aku yakin kamu nggak nolak.”
Terdengar decak tidak setuju dan sesaat kemudian Krisna tahu-tahu bangkit. Ada rekan kerja satu timnya datang memberi selamat dan sebuah kado berukuran amat besar sehingga berhasil membuat biji mata Daisy nyaris keluar. Entah apa isi kado tersebut, tetapi, Daisy yakin harganya tidak murah.
Krisna sendiri sempat mengobrol selama beberapa saat sementara Daisy hanya bisa menanggapi dengan senyum. Dia akhirnya ingat kalau pria itu dipanggil Krisna Jek, salah seorang wakil pimpinan Astera yang hubungannya cukup akrab. Untung saja istri pria itu cukup baik dan Daisy akhirnya bicara basa-basi. Dia juga senang ternyata istri Jek amat pandai dan Daisy merasa mendapat satu lagi kenalan baru yang membuatnya mendapat ilmu. Di saat yang sama, matanya sempat menangkap Gendhis yang mendekati Bunda Hanum.
Wanita paruh baya itu tahu-tahu saja datang ke rumah mereka bersama Yulita dan keluarganya. Daisy sempat sangat terkejut. Tetapi, dia sangat bersyukur, mertuanya tidak banyak protes lagi bahkan ketika melihat Haikal dan Hakim yang amat mirip dengan Krisna. Hanya saja, seperti kata Gendhis dan Krisna, jangan mudah percaya dengan penampilan sang ibu. Kadang, hati Hanum Sari Janardana tidak bisa dimengerti. Pagi dia cemberut, malam hari dia sudah tersenyum. Cuma, menurut Daisy, bagian itu terjadi karena di akhir hari ada transferan atau bahkan selipan amplop berisi rupiah untuk meredam kejengkelan mertuanya. Dan, kehadiran Hanum hari ini, menurut Gendhis tidak lebih untuk melihat, seperti apa acara yang diadakan oleh Krisna dan menantu dari panti yang membuatnya selalu malu.
Krisna sendiri merasa amat puas bisa menunjukkan kemeriahan acara di rumahnya dan dia menerima kehadiran sang ibu meski Bunda Hanum sendiri memilih duduk agak jauh dari anak dan menantunya itu. Hanum Sari Janardana bahkan memilih duduk di luar, dekat panggung, di salah satu bangku untuk VIP dan dia dengan wajah bosan memandangi ponselnya sementara cucu-cucunya yang lain terus memanggil namanya.
"Eyang. Ayo sini foto."
"Nantilah, Mbak. Eyang lagi menunggu WA dari teman Eyang."
Wajah Allysa, anak dari Yulita agak sedikit kecewa saat mendengar jawaban dari neneknya. Dia sempat mendengar gumam dari bibir Bunda Hanum tentang Ibu Jenderal yang sepertinya memblokir nomor wanita tersebut. Bunda Hanum sendiri tidak peduli dengan keadaan Allysa dan dia baru mengangkat kepala saat Gendhis lewat di depan mukanya sambil menggendong Hakim.
"Eh, ada Nenek." Gendhis menyebut ibunya dengan panggilan nenek seolah Hakim bakal mendengar dan membeo kata yang sama untuk neneknya. Tetapi, Hakim sendiri hanya memainkan bibir dan menatap langit dengan mata menyipit. Bunda Hanum yang dipanggil nenek oleh putri bungsunya mulai jengkel.
"Nanak Nenek, kamu kira Bunda orang biasa? Lagian, kenapa kamu gendong-gendong anak itu?"
"Lha, neneknya aja nggak mau gendong. Jadinya aku yang gendong Hakim ke mana-mana." Gendhis membalas. Masa bodoh bila ibunya makin jengkel.
"Kamu ini." Bunda Hanum mulai menaikkan alis, "Mana mau Bunda gendong."
"Kalau Bunda mati nanti, anak-anak ini yang bakal bantu bapaknya angkat keranda Bunda. Memangnya mau nyuruh siapa?"
Astaga, Gendhis. Dia tahu membalas ucapan orang tua adalah kurang ajar. Tetapi, lebih kurang ajar lagi menyebut Bunda Hanum mati dan mengandaikan dua keponakannya untuk mengangkat jenazah sang ibu. Siapa tahu, Haikal dan Hakim ogah membawa nenek mereka ke liang lahat.
Ckckck, anak durhaka lo, Dhis, Gendhis memaki dirinya sendiri.
"Astaghfirullah, Gendhis. Begitu ucapanmu sama Bunda? Kalau Bunda kutuk, kembali lagi ke perut, kamu. Mau?"
"Kutuk aja. Palingan vag*na Bunda rusak berat kemasukan aku. Walau sebenarnya benda itu elastis, tapi mustahil aku bisa masuk tanpa bikin Bunda jejeritan. Apalagi, Bunda sudah menopause, nggak ada pelicinnya …"
Untung saja Bunda Hanum tidak melempari Gendhis dengan botol air mineral yang ada di depannya. Malah, wanita paruh baya itu sedang memikirkan kalimat yang pantas untuk diucapkan kepada anaknya saat Gendhis yang masih menggendong Hakim, tiba-tiba saja mengaduh. Kakinya tidak sengaja terinjak oleh seseorang.
Saat matanya bertemu dengan mata sang pelaku, Gendhis tanpa ragu menyemburkan sejumlah kata-kata pedas yang membuat Bunda Hanum menggeleng.
"Biji mata lo di mana?"
"Gendhis."
"Sori… maaf. Nggak sengaja."
Untung saja Hakim tidak mengamuk. Tapi, Gendhis sudah kadung sebal dengan sosok berpakaian koko putih dan peci warna putih gading. Wajah khas Arab miliknya membuat Gendhis makin melotot. Siapa sangka, di tempat abangnya, dia mesti melihat Syauqi Hadad kembali.
"Pecah jempol gue." Gendhis menggerutu. Dia hanya memakai sendal jepit dan kakinya kena injak hak pantofel milik Syauqi. Sialan! Seharusnya pria itu memakai sandal saja ke acara seperti ini. Toh, tamu utamanya sedang berada di dalam gendongan Gendhis, bukan orang tuanya yang kini asyik mesra-mesraan di tengah rumah sana. Syauqi juga sepertinya sok ganteng sekali dengan memakai pantofel seolah dia hendak menghadiri upacara kenegaraan.
"Aduh, maaf banget. Saya bantu ke rumah sakit."
Rumah sakit, katanya? Si bodoh itu lupa kalau Gendhis adalah perawat? Gendhis masih ingin memaki-maki Syauqi saat seorang perempuan berusia seumuran Bunda Hanum, menepuk bahunya dengan perlahan.
"Ya Allah. Kamu injak kakinya? Cepat minta maaf, Qi. Bawa ke dokter."
Waduh. Gendhis belum pernah mendengar suara lembut dari bibir seorang wanita selain dari bibir Kartika dan Daisy. Dia selalu bertengkar dengan ibunya dan tidak terlalu akur dengan dua kakak perempuannya. Tapi, suara perempuan yang menghampiri Syauqi entah kenapa membuatnya teringat kepada Kartika dan Gendhis sampai membeku di tempat karenanya.
"Iya, Mi. Ini sedang minta maaf."
"Aduh, kamu benar-benar, ya, Bang. Jangan bikin malu keluarga Hadad, lah. Kita selalu menjunjung tinggi perempuan. Apalagi seorang ibu."
Tampaknya wanita di depannya saat ini salah menduga Gendhis adalah seorang wanita beranak satu. Tapi, dia tidak perlu memberi penjelasan. Justru Syauqi yang tampak panik dan mencoba menggeleng, seolah mengatakan kalau dia tidak bermaksud menginjak kaki Gendhis.
Namun, keriuhan itu terhenti karena Bunda Hanum tiba-tiba saja berdiri dan seolah dia sudah mengenali wanita yang menepuk bahu Syauqi barusan.
"Hadad? Almaira Hadad, bukan? Pengusaha sukses, bos Kopi Bahagia yang terkenal itu. Pantas wajahnya nggak asing."
Gendhis bahkan tidak update hingga tahu kalau nama wanita di depannya bernama Almaira Hadad. Lagipula, kenapa wajah sang ibu nampak sangat antusias dan dia menarik lengan Gendhis mendekat ke arahnya setelah basa-basi dua menit dan Almaira Hadad mewakili putranya untuk meminta maaf.
"Oh, ya, ndak apa-apa. Ini anak bungsu saya memang matanya entah ke mana. Omong-omong, dia masih gadis. Yang dia gendong itu cucu saya, salah satu dari si kembar, Hakim namanya."
Lah? Kenapa sekarang insiden injak kaki jadi acara klarifikasi tentang status Gendhis dan sejak kapan Bunda Hanum tahu kalau yang sedang dia gendong sekarang adalah Hakim, bukan Haikal? Apa ibunya mengenali si kembar dengan baik? Padahal di yakin, sang ibu belum pernah menggendong atau mencium si kembar.
Senyumnya bahkan tidak pernah selebar itu setelah sekian lama.
"Oh, jadi Syauqi yang punya panti asuhan Hikmah Kasih? Masih jomlo?"
Huh, perasaannya jadi tidak enak dan entah kenapa, tubuhnya terkunci dan cekalan Bunda Hanum di lengannya jadi makin erat. Syauqi sendiri memilih menatap atap tenda yang berwarna biru muda dan sesekali melambai saat terdengar suara anak-anak panti memanggil namanya.
Sumpah, selama bertahun-tahun, tidak pernah dia merasa secanggung ini dan melihat gelagat ibunya, dia curiga, setelah ini, putri sang jenderal tidak lagi menjadi target incaran sang Bunda dan entah kenapa, sekujur tubuhnya mulai merinding tidak karuan.
Perasaan gue, kok, jadi nggak enak gini.
***
Pisah di sini. Bab di atas adalah bab 85 dan 86. Ada beberapa extra, silahkan ke KK dan KBM. Paling banter 10 ribu rupiah.
Janganlah beli bajakan atau minta2 ebook, apalagi yang merasa dah beli bisa bagi2 gratis. Sumpahlah, pedih kali hatiku. Ntar, manusia-manusia tak tahu diri itu bakal kuposting sampai ke rumah2nya, ya, biar kapok, biar pembacaku bisa maki2 mereka, karena itu juga jadi alasan penulis banyak pindah platform.
Yang mau ebook murah eriskahelmi, sudah diposting di IG, silahkan follow. Mulai dari 10K dan halal buat kalian.
Ketik saja akun ini di gugel chrome/website kalian
https://www.nihbuatjajan.com/eriskahelmi/karya
Insyaallah bermanfaat. Yang suka maling2 terus dijual 5ribu, beneran, dah, eke g ikhlas lahir batin dan sumpahin kalian susah beol sampe kiamat.
Beneran.
Dahlah, eke mau sai gudbai. Pindah lapak, hayuuk.
Yang mau beli novel fisik Dedes silahkan komen. Atau dm eke. Dah, babay.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top