76

Ola Alo.

Mokasih pengumuman.

Aslinya udah bab 80 ya yang kalian baca. Ada bab lompat, ya, wajarlah, jgn marah2. Ini on going lama banget dan ga terlalu banyak komennya. Eke syedih. Habis bab ini ada 1 bab lagi eke aplot, bab perpisahan. Yang mau minta lebih, silahkan ke KK. Kasihan ama yang udah bayar banyak tapi ga protes di sini digratisin.

Ada bab extra? Ada. Ntar ada bab tambahan lagi, tapi belumlah eke ketik. Masih menyelesaikan extra part Olahans.

Mo buka Open PO 2 Madu in Training. Silahkan daftar ke olshop masing2. Isi bukunya ya kayak yg kemarin.
Yang mau ke eke boleh. Dari palembang eke pakei lion parcel ya, mulai 10K. Kemaren ke olshop langganan kayaknya 12 K, itu di SBY. Jadi kaga berat2 amat. Silahkan DM aja, tar eke kasih nomor wa buat PO2.

G usah ke mbak iik, soalnya PO ini dikit aja. Paling 10-20 bijik. Tar kalo banyak, eke kaya dong.❤

Bab ini mayan panjang. Tolong dikomen juga. Kalo kaga mau, ya, tanda2 emang bener mo disay gudbai di bab depan.

Gendhis jadian sama siapa? Kayak g tau aja kalian. Bab-bab ujung malah kita ngurusin Gendhis yang mau kawin.🤣

Apaaah? Minta anboksing Gendhis?

Berapa banyak yang minta? Kalo seribu lebih komen di line anboksing gendhis, eke buatin. Wkwk. Kek beli barang di shopi aja.

Apa? Anboksing di sini? Janganlah. You tahu ngapa? Karena ada Bu Guru eke bacak.🤭 eke tatut kena geplak, secara emak eke itu, guru PPKN. Maap ya Buu🤭🤭🤭

***

80 Madu in Training

Krisna dan Gendhis kembali ke rumah sakit menjelang pukul sebelas malam. Mereka berdua sudah mandi dan berganti pakaian. Hanya saja, ketika ditawari makan, pria yang baru saja jadi ayah itu menolak. Dia lebih memikirkan keadaan istrinya yang saat ini terbaring di rumah sakit. Sejak tadi, dia sudah beberapa kali menelepon Safira, berusaha memastikan kalau Daisy baik-baik saja.

“Benar dia masih tidur? Nggak pingsan?” Krisna bertanya lagi. Meski begitu, setelah menunggu beberapa menit karena Gendhis mengeluh lapar dan mereka pada akhirnya membeli makanan di sebuah restoran yang masih buka. Setelah menyelesaikan semua urusan, Krisna mempercepat laju mobil agar dia bisa menemui Daisy. Dia bahkan hampir meninggalkan Gendhis yang masih berkutat dengan kantong-kantong belanjaannya dan terpaksa kembali membuka bagasi mobil karena dia juga melupakan koper dan tas yang berisi pakaian untuk Daisy dan bayi-bayinya.

“Pelan-pelan, Mas. Ntar gue nyungsep.” keluh Gendhis ketika dia berkutat dengan beberapa kantong plastik yang berisi kebutuhan Daisy serta menu makan malam mereka yang tadi dibeli. Gara-gara itu juga, Krisna memelankan langkah. Tetapi, matanya tetap memandang sepanjang koridor seolah berharap jalur yang mereka tempuh malam itu dipercepat dan mereka bisa cepat sampai ke ruang Daisy dirawat.

“Sudahlah. Lo lari aja sana.” Gendhis pada akhirnya menyerah. Entah kenapa langkahnya selambat siput sementara sang abang kentara sekali ingin melompat atau terbang secepat yang dia bisa. 

Mendengar suruhan Gendhis, tanpa pikir panjang, Krisna langsung ambil langkah seribu. Dia tidak peduli sama sekali dengan koper berat serta tas bayi di dalam pegangannya, termasuk peringatan Gendhis bahwa dia bisa jatuh karena berlari cepat dengan bawaan sebanyak itu.

“Mas, pelan-pelan. Ntar gigi lo patah.”

Percuma saja, pikir Gendhis. Abangnya sudah tidak peduli lagi kepada dunia dan dia lebih memilih istrinya daripada sang adik kandung. 

“Ya, terus aja. Gue bisa jalan sendiri.” Gendhis mengeluh ketika bayangan Krisna sudah hilang dari pandangannya dan dia sendiri pada akhirnya menoleh ke arah kiri kanan koridor rumah sakit yang tampak sangat sepi dan memutuskan untuk mempercepat langkah.

“Mas, tunggu. Gue takut!”

***

Krisna menarik napas lega begitu dia melihat Daisy masih bernapas ketika dia sampai. Safira bahkan menertawakannya. Saat ini sebenarnya sudah bukan lagi waktu besuk, tetapi, dia melihat keberadaan Ummi Yuyun yang duduk sambil membaca ayat suci di samping tempat tidur Daisy. Seketika dia merasa amat terharu. Wanita itu, dengan penampilannya yang bersahaja, rela datang dari panti asuhan dan masih berada di samping istrinya, tanpa ragu membacakan lantunan ayat suci tidak peduli Daisy lahir bukan dari rahimnya. Sementara, ibu kandungnya sendiri, yang jelas-jelas merupakan mertuanya, jangankan menjenguk. Yang Hanum Sari pikirkan adalah Daisy cepat mati supaya putranya bisa menikah lagi. 

Krisna mengerjap, berusaha mengalihkan pandang dari momen mengharukan yang membuat kerongkongannya kering. Dia kemudian mendekat ke arah Daisy, membubuhkan sebuah kecupan penuh kasih sayang di dahinya. Gerakan tersebut ternyata membangunkan sang istri.

“Sudah sampai?”

Krisna mengangguk menjawab pertanyaan Daisy. Ibu jari dan telunjuk kanannya masih berada di dahi Daisy dan dia mengusap kepala istrinya dengan amat pelan. Safira telah memasangkan selendang di kepala Daisy, jaga-jaga bila dokter lelaki masuk, sementara Airlangga memilih menunggu di luar bersama Syauqi yang tersenyum begitu melihat Krisna tadi. Krisna sendiri hanya membalas dengan sebuah senyum tipis dan buru-buru masuk. Hatinya masih terasa tidak nyaman usai membaca surat dari Daisy kepada Gendhis tadi.

“Sudah.” Krisna membalas dengan senyum. Tatapannya tidak lepas dari wajah Daisy yang kini karena keajaiban dari Sang Maha Kuasa, kembali bisa balas menatap wajahnya.

“Sudah makan?” Daisy bertanya lagi. Suaranya pelan namun Krisna dapat mendengar dengan amat jelas. Dia membalas dengan gelengan dan hal itu membuat istrinya agak sedikit kecewa. Daisy kemudian mencari-cari arloji di tangan kanan suaminya dan menemukan kalau hari itu sudah sangat larut.

“Kenapa nggak makan? Ini sudah malam banget. Nanti kamu sakit perut.”

Bagaimana bisa Krisna makan setelah seharian ini dia dihadapkan pada rentetan kejadian yang membuat nafsu makannya hilang entah ke mana? Belum lagi surat yang berisi permohonan terakhir Daisy yang membuatnya hilang akal.

“Kangen kamu.” Krisna menjawab lagi. Tenggorokannya kembali nyeri dan yang bisa dia lakukan adalah memeluk tubuh istrinya lalu menggenggam tangan kanan Daisy dengan erat. 

Daisy berusaha tersenyum. Hanya saja, bibir kanannya yang terluka membuat dirinya tidak bisa melebarkan senyum. Meski begitu, dia merasa amat bingung melihat sikap suaminya. Untung saja, kedatangan Gendhis membuat perhatian mereka semua terpecah dan si bungsu keluarga Janardana tersebut langsung memajukan bibir saat dia melihat abangnya sibuk memeluk Daisy.

“Yah, orang capek-capek lari di belakang, kalian malah pelukan.” keluh Gendhis. Meski begitu, dia sendiri akhirnya berjalan menuju meja di ruang tamu sebelah kamar rawat dan meletakkan makanan yang berhasil mereka beli tadi. Setelah itu, dia mendekat ke arah Ummi Yuyun dan mencium tangannya. 

“Makan, Mi. Dhis banyak beli makanan.”

“Makasih. Ummi udah makan tadi di panti. Ini juga mau pulang. Karena tadi kalian belum datang, Ummi putuskan buat menunggui Desi.”

Krisna yang sadar bahwa ada orang lain di dekatnya saat ini kemudian mengangkat kepala dan tersenyum kepada Ummi Yuyun. Dia merasa agak tidak enak karena langsung menemui istrinya terlebih dahulu bukan pengasuh istrinya tersebut.

“Udah, nggak apa-apa. Sudah benar seperti itu. Ummi malah senang kamu perhatian sama Daisy. Tadi Ummi cemas banget sama keadaannya. Kalian tahu, kan, melahirkan itu nggak pernah mudah, makanya ganjarannya syahid. Padahal, di saat yang sama badan Desi remuk. Ya Allah, Ummi sampai nggak tega ngebayangin dia berjuang sendirian. Untung anak Ummi kuat.”

Ummi Yuyun menggunakan tisu untuk menghapus air yang tiba-tiba menggenang di pelupuk matanya. 

“Kok, bisa, ada yang tega menyakiti Desi sampai begitu. Dia salah apa? Anak Ummi yang paling baik dan sabar, nggak pernah neko-neko itu dia.”

Ummi Yuyun menarik napas, mencoba mengendalikan diri, sementara Daisy yang menyaksikan ibu asuhnya terisak-isak, berusaha mengatakan kepada Ummi Yuyun kalau dia masih kuat.

"Des, setelah ini jangan lagi kamu diam. Ada masalah, lapor sama suamimu. Kalau perlu di rumah kalian pasang CCTV dan kamu nggak boleh sendirian kayak gini." Ummi Yuyun menyusut ingus, "Di panti kamu ada temennya dan rumahmu sudah hampir selesai."

Daisy tahu, Ummi Yuyun tidak benar-benar memintanya tinggal di rumah pemberian Kartika di panti. Lagipula, tidak mungkin baginya untuk meninggalkan rumah tanpa izin suaminya. 

"Ummi bisa jaga kamu." 

"Saya juga bisa menjaga istri saya dan anak-anak kami, Umm." Krisna membalas. Tangannya masih bertaut dengan jemari Daisy dan Ummi Yuyun dapat melihat tautan tangan tersebut. Dia memperhatikan Krisna bicara sementara Gendhis sudah mulai berjalan menuju meja tamu. Perutnya keroncongan luar biasa dan dia bakal menjadi semakin bodoh bila tidak mengisi perutnya. 

"Saya akui, insiden tadi sore adalah kelalaian saya. Sebagian besar, saya juga jadi penyebab Desi diserang. Jika saja dari awal saya tidak emosi, mungkin bajingan tengik itu nggak bakal menyerangnya. Tapi, nasi sudah menjadi bubur. Saat ini yang saya prioritaskan adalah pemulihan kondisi Desi dan kedua anak kami."

Panjang lebar Krisna berbicara dan Ummi Yuyun sempat mendebatnya beberapa kali tentang sikap Krisna yang pernah membuat Daisy minggat. Dia seperti mengocehi pria itu tentang sikapnya yang di mata sang pengasuh sempat membuatnya amat kecewa.

"Saya pernah sangat bodoh. Tapi, saya sudah belajar dari situ. Jika Ummi tidak percaya, tanya saja Desi."

Mata Ummi Yuyun bergerak meminta konfirmasi dari Daisy dan wanita muda itu mengangguk. Dia masih belum bisa banyak bergerak dan hanya tangan kanannya saja sesekali menerima usapan sedang tangan kirinya dipasangi infus. Sebelum sempat Ummi Yuyun membuka mulut kembali, kehadiran mereka diinterupsi oleh perawat yang masuk.

"Ibu Desi, makan obat dulu, ya." 

Kesempatan itu digunakan oleh Ummi Yuyun buat pamit karena hari sudah terlalu larut. Dia sempat memeluk dan mencium pipi anak asuhnya dan berkata bakal mampir kembali esok hari. Daisy yang tidak bisa banyak bergerak hanya mampu mengucapkan terima kasih kepadanya dan juga Syauqi yang sudah repot-repot mengantar. Syauqi sendiri hanya sempat menjulurkan kepala ke dalam ruang rawat dan karena itu, Krisna cepat-cepat keluar, selain dengan alasan dia tidak mau istrinya yang hanya menutupi kepalanya dengan selendang terlihat, dia juga lebih merasa senang Syauqi tidak banyak berinteraksi dengan Daisy.

"Masih cemburuan aja dia." ujar Gendhis saat dia akhirnya bisa mendekat ke arah sang kakak ipar. Perawat jaga sudah menyuntikkan obat ke saluran infus dan juga memberikan sewadah obat makan kepada Daisy. 

"Kalau masih sakit, bilang ya, Bu." kata sang perawat dengan ramah. Dia bahkan amat berhati-hati menyuntikkan obat ke selang infus dekat jarum kateter agar Daisy tidak merasa ngilu. Tetapi, respon Daisy hanya sebuah senyum. 

Perawat tersebut menghabiskan sekitar sepuluh menit demi memastikan dia sudah menyelesaikan pemeriksaan hingga akhirnya pamit kembali ke ruang jaga. Krisna juga akhirnya masuk setelah mengantarkan Ummi Yuyun dan kakaknya, Safira dengan sang suami. Setelahnya, dia tanpa ragu mendekat ke arah tempat tidur Daisy lalu membantunya melepaskan selendang.

"Sudah pulang semua." Krisna memberi tahu. Suaranya amat lembut dan penuh kasih sayang sehingga membuat Gendhis yang saat itu sedang minum air mineral botol, memandanginya dengan mata terpicing.

"Masih sakit semua badannya? Apa perlu aku panggil dokter?" 

"Baru juga dikasih obat." giliran Gendhis yang membalas. Dia lalu melanjutkan, "Daripada lo sibuk nanyain sakit, nggak, mending lo makan. Dari tadi disuruh makan nggak mau. Ada aja alasannya."

"Berisik. Sana lanjutin aja lo makan sendiri." balas Krisna pura-pura marah. Setelah Ummi Yuyun pulang, akhirnya dia bisa duduk di samping Daisy dan menatap wajah sang nyonya dengan tatapan penuh kerinduan.

"Kamu nggak tahu betapa senangnya aku lihat kamu kembali lagi." Krisna mengusap pipi Daisy. Dia juga meraih tangan kanan Daisy dan mengecup punggungnya. Sementara ini hanya tangan sang istri yang bisa dia nikmati. Nekat menyosor bibir Daisy saat sang pemilik bibir lebam itu terbaring lemah bakal membuat sosok tukang makan di kursi seberangnya mengamuk. Cukup sudah pagi tadi dia diomeli. Krisna juga tahu diri, walau sebenarnya, dia amat ingin berterima kasih karena istrinya memilih bertahan setelah melahirkan kedua putra mereka.

"Ini nggak gombal, kan?" Daisy berusaha tersenyum walau agak susah baginya melebarkan bibir. Meski begitu, yang menjawab adalah Gendhis, bukan sang abang.

"Jujur dia, mah. Tadi nangis-nangis di rumah habis nemu kain kafan titipanmu." 

Gara-gara itu juga, Krisna melotot kepada adiknya seolah amat tak elok mengungkit kejadian di kamar adiknya tadi. Tapi, Daisy yang keburu mendengar malah mengerutkan alis, "Kain kafan?"

Dia merasa Krisna menggenggam tangannya makin erat usai bertanya seperti itu. Karenanya, Daisy lantas teringat sesuatu.

"Oh, kamu nyari kain, ya? Aku lupa kalau kutaruh semua di sana." 

Suara Daisy sebenarnya agak sedikit terbata. Krisna bahkan amat mencemaskan keadaannya. Tetapi, fokus wanita itu malah suaminya.

"Pantas kamu nggak mau makan." lirih, Daisy berusaha tersenyum lagi saat matanya beradu pandang dengan Krisna.

"Nggak apa-apa. Mana mungkin bisa makan lihat kamu kayak gini." Krisna memejamkan mata karena tangan kanan Daisy sudah bergerak ke arah pipinya. Rasanya sangat menyenangkan, meski dia tahu, jari-jari istrinya terluka dan kini dilindungi dengan plaster.

"Haish. Gombal." Gendhis nimbrung. Krisna lagi-lagi mesti menahan gondok karena momen sentimentilnya mesti diinterupsi oleh perawat slengekan yang entah kenapa ditakdirkan Tuhan jadi adik kandungnya. Tetapi, karena dia paham betul bahwa si bungsu cuma bisa menyindir, Krisna memutuskan untuk kembali bicara kepada istrinya.

"Cepat sehat, ya, Umminya anak-anak. Mereka butuh kamu untuk peluk dan cium mereka. Tadi aku sempat abadikan foto dan videonya." 

Krisna kemudian memeriksa saku celana jin yang dia pakai malam itu dan merasa senang ketika menemukan ponselnya. Setelah berhasil membuka aplikasi galeri, dia segera menunjukkan foto-foto pertama bayi mereka yang membuat Daisy mengerjapkan kelopak matanya beberapa kali.

"Ya Allah, mereka kecil banget." Daisy menggigit bibir. Dua bayinya terlelap dengan memakai topi kupluk untuk menghangatkan tubuh. Sedang mereka tidak memakai baju sama sekali. Ada berbagai kabel berukuran mini yang membuat Daisy bertanya-tanya apakah bayi-bayinya menderita. Dia tidak tahan melihat selang di dekat mulut bayinya dan meminta maaf kepada Krisna karena kebodohannya. 

"Nggak. Bukan salahmu anak-anak kita lahir terlalu dini. Takdir mereka lahir hari ini dan aku senang kalian semua selamat. Des, kamu nggak tahu betapa aku nggak bisa mikir apa-apa lagi ketika kamu nyaris nggak bernapas." 

Untung saja Gendhis meninggalkan mereka berdua untuk ke kamar mandi sehingga Krisna merasa lega, adik perempuannya yang sinting itu tidak nimbrung obrolan suami istri tersebut. 

"Dan yang Gendhis bilang soal kain kafan tadi benar, aku menangis kayak bocah ditinggal mati orang yang paling dia sayangi." 

Krisna sempat diam sejenak sebelum melanjutkan sementara video dua bayi di ponselnya mulai berputar. 

"Bagaimana bisa, kamu minta tolong sama orang dan bayar mereka buat mengurus jenazahmu sementara kamu masih hidup? Lagipula, aku nggak akan biarkan … "

Krisna merasa tenggorokannya tercekat. Dia ingat jelas isi amplop yang berisi biaya jasa untuk petugas yang Daisy minta untuk mengurusnya bila meninggal. Jantungnya terasa diiris-iris setelah Gendhis menghitung nominal masing-masing amplop yang jumlahnya tidak sedikit. 

"Desi ingat kata-katamu, Mas. Aku nggak mau ngerepotin dan juga berhutang budi. Saat itu aku merasa sendirian dan yang kupunya selain Dhis, cuma keluargaku di panti. Waktu itu kamu dengan lantang bilang aku nggak lebih dari pelacurmu yang dibayar… " 

Krisna membisikkan istighfar dan kata maaf yang tidak putus sewaktu dia mengusap air mata Daisy yang tiba-tiba luruh.

"Nggak seharusnya kamu lihat itu." Daisy tergugu, "Seharusnya itu jadi rahasiaku."

"Aku menyesal, Des. Bersujud dan minta ampun di kakimu pun pasti nggak berarti. Ummi Yuyun betul, wanita sebaik dan sesabar kamu tidak seharusnya aku sia-siakan. Aku benar-benar menyesal dan minta maaf." 

Mereka berdua saling pandang dan suara Gendhis yang buang angin di depan kamar mandi membuat Krisna merasa seharusnya dia memesan satu kamar lagi untuk adik perempuannya itu. 

"Halah, nggak usah sok, deh. Lo mau ngandelin suster paling cantik dan setia, itu cuma gue. Dahlah, nggak usah sok sayang. Ntar kepingin. Lo mesti puasa panjang, Mas. Sini, tidur di sofa samping gue aja. Jangan ganggu Mbak Desi. Subuh besok dia mesti belajar duduk. Eh, tapi, udah kuat belum tulangnya? Ntar nunggu dokter aja, deh. Yang penting, kakinya udah bisa geser. Dahlah, lo awas, gue mau cek pipisnya udah sebanyak apa. Sana. Tadi gue nggak lihat pas perawat jaga ke sini." 

Krisna menolak bergeser dan sepertinya, daripada tidur di sebelah Gendhis, dia lebih suka tidur di lantai bawah tempat tidur Daisy yang kemudian ditertawakan oleh adiknya tersebut.

"Kayak jaman perang aja tidur di lantai. Tuh sofa seluas apaan, malah milih gegoleran. Ada-ada aja. Mbak, suruh lakimu makan, gih. Sayang nasinya nggak disenggol." Gendhis menggeser bokong Krisna dengan pinggulnya sendiri hingga sang abang terpaksa bergeser dan menyerah mundur. Daisy juga memintanya untuk makan dan pada akhirnya, tidak ada lagi yang bisa dia lakukan kecuali bergerak menuju sofa dan menghabiskan nasi tanpa banyak protes. Gendhis Wurdani Parawansa yang bersikap sok tahu dan suka memerintah itu, entah kenapa membuatnya teringat kembali dengan sang ibu dan merasa kalau adiknya adalah jelmaan Hanum Sari Janardana yang tiga puluh tujuh tahun lebih muda dibanding dengan ibu mereka saat ini.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top