74
Bab ini seneng, dah. Ketemu Bunda Piara, eh, Bundo Kanduang, Ealahh... Raden Ayu Bunda Hanum.
***
78 Madu in Training
Gendhis sempat menunggu sendirian di depan ruang operasi karena Krisna sempat izin sebentar untuk menunaikan ibadah salat Magrib. Ketika kembali, matanya masih sama merah seperti sebelumnya. Gendhis sampai tidak enak hati karena sempat memuntahkan kata-kata buruk kepada sang abang. Nyatanya, dia adalah orang yang paling terpukul dengan keadaan ini. Setelah sahabatnya sendiri yang jadi penyebab kekacauan ini, kondisi Daisy juga bisa dibilang cukup kritis.
“Sudah ada kabar, Dhis?” Krisna ikut duduk di sebelah Gendhis. Dia yang tadinya hendak melepas peci, mendadak mengembalikannya lagi ke kepala.
“Belum. Masih menunggu.” Gendhis menatap nyalang ke arah lantai granit rumah sakit. Seperti Krisna, air matanya juga sudah mengucur bagai air keran dari tadi. Rasanya amat mengejutkan. Siang hari mereka masih bersama-sama dan kini, usai Magrib, ipar tersayangnya itu terbaring tidak berdaya di kamar operasi.
“Si Fadli sialan itu, untung aja gue sempat bogem kepalanya kuat-kuat tadi.” Gendhis bicara dengan nada geram. Tidak lama, dia meremas rambutnya dengan kalut.
“Salat, Dhis.” Krisna memerintah. Adiknya bakal lebih banyak meracau dan bicara sembarangan bila dia sedang kacau seperti ini. Dulu, dengan Kartika dia lebih banyak diam. Menangis pun tanpa suara. Kini, dengan Daisy tidak bisa seperti itu. Karena umur mereka yang dekat, hubungan keduanya sangat akrab. Kehilangan Daisy berarti kehilangan sahabat dan juga ipar.
“Lagi palang merah.” Gendhis membalas. Diangkatnya kepala dan kehadiran kakak tertua mereka, Safira dan suaminya, Airlangga, membuat Gendhis dan Krisna bangkit.
“Gimana, Desi?” Safira yang baru saja melepas pelukannya pada Krisna mulai bertanya. Krisna sendiri cuma bisa menggeleng. Dia juga tidak tahu mesti menjawab apa.
“Masih dioperasi.”
Krisna tidak bisa melanjutkan lagi. Kepalanya terasa kosong dan dia hanya mampu mengucap istighfar. Rasanya sama persis seperti detik-detik kehilangan Kartika dulu. Bedanya adalah hal ini terjadi begitu cepat sampai dia tidak menyangka, bila Tuhan berkehendak, istrinya bisa diambil kembali oleh yang Maha Kuasa.
“Pakaian bayinya sudah ada? Baju ganti Daisy?” tanya Safira tiba-tiba. Gara-gara itu juga, Krisna kembali menggeleng.
“Nggak bawa. Nggak terpikir juga. Dari sore tadi aku cuma berharap dia sadar dan semua bakal baik-baik saja. Nggak tahunya, Desi malah harus dioperasi karena kondisi si kembar nggak begitu baik.”
Mereka semua sempat terdiam selama beberapa saat sampai akhirnya kedatangan Yulita, kakak kedua Krisna beserta Bunda Hanum membuat Gendhis mengeluh.
“Yah, si Bunda pake datang pula.”
“Dhis.” Krisna memperingatkan adiknya, “Jangan gitu. Bunda mau datang saja aku mengucapkan terima kasih.”
Wajah Gendhis tampak tidak setuju. Alasannya karena dia tahu jelas seperti apa sifat sang ibu. Meski begitu, dia akhirnya memilih diam dan duduk di pojokan sambil membuka ponsel dan memandangi foto-foto terakhirnya bersama Daisy saat mereka berada di toko peralatan bayi siang tadi.
Ya Allah, Mbak. Jangan pergi, please. Aku nggak punya teman lagi kalau kamu ninggalin aku juga. Aku nggak akrab sama kedua mbakku. Bunda juga nggak pernah peduli. Sudah ditinggal Mbak Tika, kamu mau ninggalin aku juga?
Gendhis menyeka air mata. Di saat yang sama, ponselnya berdering. Dia tidak sempat mendengar obrolan sang bunda dengan saudara-saudaranya yang lain, lalu memilih untuk mengangkat panggilan dari Ummi Yuyun yang sejak tadi sudah dikabari tentang insiden yang menimpa Daisy, anak asuhnya.
“Assalamualaikum. Ummi.” Gendhis berusaha menarik napas. Air matanya turun lagi sewaktu mendengar ibu asuh sang kakak ipar menangis tersedu-sedu.
“Udah sadar tadi, Umm. Sekarang sedang dioperasi. Ummi mau ke sini?”
Ketika Ummi Yuyun mengiyakan, Gendhis menyebutkan alamat rumah sakit tempat mereka berada saat ini. Dia merasa amat lega karena sebentar lagi, orang-orang yang sayang kepada Daisy akan menemaninya di sana.
Usai menerima telepon, Gendhis menoleh lagi ke arah kerumunan di depannya. Dua orang kakak perempuannya sudah ikut duduk dan menenangkan Krisna. Airlangga juga ada. Dia berdiri di depan ruang operasi. Sekali-sekali kepalanya mengintip melalui sebuah jendela kecil. Setelahnya, Airlangga menoleh kembali ke arah keluarganya dan menggeleng. Sementara Krisna duduk tertunduk dengan tangan menutupi wajah. Dia pasti amat lelah dan kalut, pikir Gendhis. Tetapi, sewaktu Safira menawarinya makan atau minum, pria itu menolak.
Pas sama Mbak Tika, Mas Krisna masih sempat makan, walau hatinya benar-benar kacau.
Baru saja Gendhis hendak berdiri karena dia akan ke kamar kecil, Krisna tahu-tahu saja bicara dengan nada cukup tinggi kepada ibu kandungnya sendiri. Gendhis hampir tidak pernah mendengar abangnya melakukan hal seperti itu sebelumnya. Dia bahkan melihat Safira menahan lengan adiknya sewaktu Krisna mulai bicara lagi.
“Astaghfirullah, Bun. Daisy itu menantumu. Dia sekarang meregang nyawa di dalam sana dan isi otak Bunda cuma kapan dia mati supaya aku bisa menikah dengan Nilam. Astaghfirullahalazhim. Terbuat dari apa hati Bunda sampai tega seperti itu kepada istri dan anak-anakku, Bun?”
Krisna menggigit bibir. Air matanya turun lagi dan bila tidak ditenangkan oleh kakak kandung dan iparnya, dia sudah pasti sudah makin emosi.
“Kamu, tuh. Bunda cuma bilangin. Si anak yatim itu …”
“Bunda yang benar kalau ngomong! Apa karena dia besar di sana dia nggak layak jadi istriku? Standar layak menurut Bunda itu apa? Harta? Keturunan? Demi Allah aku nggak sudi menikah dengan wanita lain selain Desi. Dia adalah hadiah dari Allah, dari Tika buatku. Bunda setuju atau tidak, kenyataannya dia adalah istriku sekarang dan selamanya. Jangan sampai Bunda berpikiran aku bakal menikah dengan wanita lain.”
Wajah Bunda Hanum merah padam. Dia hampir menunjuk wajah putranya itu saat hendak melanjutkan, “Jangan durhaka kamu sama Bunda. Nggak tahu kalau dulu aku meregang nyawa …”
“Aku tahu, tanpa Bunda aku bukan apa-apa. Tapi di dalam sana istriku juga sekarat. Sakit yang pernah Bunda rasa sewaktu melahirkan aku juga dia rasakan sekarang. Tolonglah, kalau memang nggak ada simpati sama sekali buat Bunda kepadanya, Bunda boleh pulang. Aku nggak akan memilih wanita lain.”
Rasanya amat terluka dan Gendhis tahu benar perasaan tersebut. Tidak satu atau dua kali dia dibandingkan dengan anak kenalan sang ibu dan merasa kalau dunianya sudah hancur sejak Bunda Hanum tidak lagi menganggap dia anak. Tapi, saat ini, untuk pertama kali dia merasa sikap abangnya sangat keren dan dia tidak bisa menahan diri untuk memeluk pria itu kuat-kuat. Entah apa yang telah diperbuat Daisy hingga Krisna jadi begitu membelanya, tetapi Gendhis salut. Krisna tidak pernah seperti ini selama hidupnya.
Bunda Hanum akhirnya memilih diam karena Yulita ikut menenangkannya dan mengatakan kalau saat ini Krisna sedang kalut. Di saat yang sama, pintu ruang operasi terbuka dan Krisna yang lebih dulu dipanggil masuk.
"Sudah lahir."
Entah siapa yang berbicara. Krisna sendiri langsung berdiri segera setelah dia mengerjapkan mata dan menoleh kepada keluarganya.
"Doain mereka baik-baik saja." Krisna memohon doa. Tatapannya sempat beradu kepada sang bunda selama beberapa detik, namun kemudian, Krisna memutuskan untuk mendekat ke arah ruang operasi. Gendhis sendiri ikut berjalan di belakangnya. Tetapi, dia tahu, saat ini kehadiran Krisna yang lebih diharapkan.
"Mas." panggil Gendhis. Krisna seketika menoleh kepada sang adik, hanya saja, dia tidak bicara.
"Lo sudah berusaha. Tapi, gue masih berharap mereka sehat-sehat semua."
Krisna mengangguk. Dia tidak banyak bersuara lagi dan memutuskan untuk mempercepat langkah. Di dalam hatinya, dia sangat mengkhawatirkan keadaan tiga orang yang sangat dia cintai. Daisy tentu saja yang paling dia cemaskan dan Krisna tidak sanggup bicara sepatah kata pun kecuali mengikuti sang perawat yang memintanya untuk masuk.
"Istri saya?" Krisna bertanya karena dia amat penasaran dengan kondisi istrinya. Perawat tersebut malah mengajak Krisna untuk melihat kedua bayinya yang langsung dimasukkan ke dalam inkubator. Kondisi keduanya tidak bisa dikatakan baik dan belum sempat Krisna bertanya lagi, kedatangan seorang dokter membuatnya agak sedikit gugup.
"Istri Bapak masih menyelesaikan proses operasi."
Krisna sempat menyentuh dahinya setelah mendengar penjelasan dokter. Bayi-bayi mereka berhasil diselamatkan. Tetapi, bukan berarti proses persalinan langsung selesai begitu saja. Luka bekas operasi harus ditutup kembali dan biasanya membutuhkan cukup waktu.
"Kondisinya gimana?"
Karena yang dia hadapi saat ini adalah dokter anak, Krisna tidak bisa mendapat jawaban yang detil. Tapi, dia agak merasa lega karena mendengar meski lemah, istrinya telah berhasil melewati tahap tadi. Meski begitu, proses pemulihannya mungkin bakal jauh lebih lama dibanding wanita yang baru melahirkan dengan cara sama lainnya. Kekerasan yang Daisy terima di sekujur tubuhnya membuatnya harus melewati masa-masa kritis.
Krisna merasa cukup cemas. Dia merasa amat ingin masuk ke ruang operasi. Hanya saja, dia tahu diri. Kondisinya amatlah tidak steril. Bahkan, untuk menemui kedua putranya, Krisna mesti memakai pakaian khusus. Lagipula, dia tahu saat ini tidak ada yang bisa dia lakukan selain terus berdoa bahwa kondisi Daisy akan cepat pulih seperti sedia kala.
"Sebentar lagi mereka akan dibawa ke ruang NICU."
Sang dokter anak menjelaskan panjang lebar tentang kondisi kedua putranya. Mereka berdua memang sedikit lemah. Beratnya juga belum maksimal. Karena itu akan membutuhkan banyak waktu buat mereka berdua hingga mencapai bobot tubuh ideal sebelum bisa pulang ke rumah. Krisna sendiri, kembali mengutuk Fadli dan tindakan sintingnya, tetapi, memaki di saat seperti ini tidak akan banyak berguna. Anak dan istrinya lebih butuh dia dan Krisna sudah meminta bantuan suami Yulita yang memang seorang pengacara untuk menangani kasus yang menimpa Daisy. Dia merasa tidak sanggup untuk bertatap muka dengan mantan sahabatnya tersebut. Bukan apa-apa, Krisna tidak yakin, emosinya tidak akan tersulut bila dia melihat Fadli.
Krisna kemudian berhasil menemui kedua putranya yang tidur di dalam masing-masing inkubator. Ukuran mereka berdua amatlah kecil. Kelewat kecil dibanding anak-anak yang lahir normal. Krisna bahkan ingat para keponakannya yang lahir tidak pernah ada yang semungil mereka.
Tangan Krisna menyentuh dinding inkubator. Bayi yang pertama, meski terlalu kecil, dia tahu, amat mirip dengan wajahnya sendiri. Hidung, bibir, bahkan pipinya benar-benar cetakan sang ayah. Dia juga sempat menoleh ke arah bayi kedua dan menemukan kalau si kembar lahir identik. Hal tersebut berarti kalau keduanya mewarisi wajah Krisna.
"Beratnya masih kurang banyak." Krisna menggumam. Dia ingin menyentuh kedua putranya, tetapi Krisna mesti menahan diri kembali. Bayi-bayinya terlihat amat ringkih dan dia takut bakal mematahkan tulang-tulang mereka.
"Yang mana kakak dan adik?" Krisna berusaha menghibur diri. Dia sendirian saat ini. Tidak ada momen indah mendampingi istri melahirkan seperti yang selalu dia lihat di TV. Krisna harus berpuas diri dengan yang sekarang ini dia lihat.
Nggak apa-apa. Yang terpenting kalian lahir. Kalian jadi saksi betapa kuatnya Ummi di dalam sana berjuang dan bagaimana tadi dia mempertahankan kalian.
"Bapak mau mengazani?"
Krisna tersentak setelah suara perawat lain menyadarkan dirinya. Dia bingung dan menoleh ke arah sekeliling lalu kemudian memutuskan untuk mengangguk. Wudunya belum batal dan dia akan mengazani kedua putranya sebelum mereka dibawa kembali ke ruangan NICU.
Krisna mendekat ke arah kedua putranya. Dia sempat menyunggingkan senyum. Hari ini, di antara kegetiran hati, Tuhan telah mengirimkannya hadiah yang amat indah. Tidak hanya satu, tetapi dua sekaligus. Meski belum cukup umur, mereka lahir sempurna dan lengkap.
Krisna mengucapkan sebait doa sebelum melafazkan azan. Setelah usai, dia memejamkan mata dan mulai melantunkan panggilan pertama untuk kedua putranya malam itu. Hatinya campur aduk. Sedih, hancur, tetapi di saat bersamaan dia mengucap syukur atas anugerah yang sebelum ini, tidak terlintas bakal dia dapatkan seumur hidupnya.
"Allahuakbar, Allahuakbar."
Allah Maha Besar, Krisna memuji di dalam hati dan seketika, air matanya luruh lagi.
Des, kamu mesti bangun dan menyaksikan mereka tumbuh besar. Kamu mesti selamat. Ada tiga orang pria malang yang menunggu kamu.
Dan kami bisa gila, kalau kamu kemudian lebih memilih pergi meninggalkan kami.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top