71
Yang mau dobel apdet, ramein kolom komen dan vote.
Jangan lupa, share juga ke mana aja.
Kalian udah baca saingannya Dedes-Nana Pelangi di Langit Gladiola, belum?
Bacak dong
***
75 Madu in Training
Krisna Jatu Janardana baru menyelesaikan rapat bulanan bersama timnya ketika dia bersiap keluar dari ruang meeting. Entah kenapa dia berpikir tentang Daisy namun kemudian yang dilakukannya kemudian adalah meraih ponselnya dan menelepon si bungsu, Gendhis. Suara cempreng Gendhis langsung mampir ke gendang telinganya begitu sambungan mereka terhubung.
“Waalaikumsalam.” ucap Gendhis padahal Krisna belum mengucap salam sama sekali. Gara-gara itu Krisna kemudian mengulang kembali salam dan Gendhis membalasnya dengan tawa.
“Kenapa telepon? Bini lo udah gue balikin.”
Walau hampir tidak terdengar, Gendhis tahu kalau saat ini Krisna sedang tersenyum kepadanya.
“Nggak laki, nggak bini, sama aja. Apa lo juga mau gue salamin?” Gendhis mulai merepet.
“Nggak usah. Nanti gue sendiri langsung kasih salam sama dia.” Krisna membalas. Dia lalu bicara lagi dalam perjalanannya kembali ke ruangan, “Nggak kecapekan, kan, dia?”
“Nggaklah. Di toko kerjaannya duduk doang, gue yang keliling. Dia bilang bajunya sudah disiapin Mas Krisna. Eeeh, sekalian gue mau konfirmasi, lo jangan sembarangan kasih nama keponakan gue, ye. Awas aja kalo lo kasih nama pake bunyi mirip kayak Jono-Joni.” ujar Gendhis setengah merajuk.
Kali ini kekehan Krisna terdengar dengan jelas dan Gendhis yang masih mengemudi juga ikut tersenyum.
“Apa salahnya gue ngasih nama Jono dan Joni? Lo punya kisah jelek sama pemilik nama itu?”
Asem, gerutu Gendhis. Kenapa dia malah kena perangkap? Lagipula siapa itu Jono dan Joni? Gendhis mana punya kisah dengan mereka. Ada-ada saja.
“Lo gila, Mas. Ya kali gue diliatin sama temen-temen gue kalau bawa mereka jalan, Jono-Joni jangan nakal.”
Benar-benar lawak, pikir Gendhis. Krisna juga malah tertawa terbahak-bahak seolah yang barusan dia dengar adalah gurauan paling lucu.
“Astaghfirullah, nggak ada salah dengan nama itu.” Krisna bicara setelah dia lelah tertawa, lalu melanjutkan kembali ucapannya, “Ntar pemilik nama itu kasih kamu somasi karena tersinggung.”
Gendhis mengucap istighfar karena dia sama sekali tidak bermaksud menyinggung orang-orang yang punya nama sama. Yang dia pikirkan adalah rima yang terdengar karena penamaan tersebut. Itu saja.
“Gue nggak menghina yang punya nama. Maksud gue, lo coba kreatif dikit, kek. Nama, kan, doa.”
Nada suara Gendhis agak sedikit merendah dan dia merasa agak kikuk ketika mendengar kata somasi yang disebutkan oleh Krisna barusan.
“Dasar. Tadi koar-koar banget. Sekarang malah memble.”
Krisna selalu begitu. Bila lawan bicaranya keok, dia merasa di atas awan bisa mengocehi lawan bicaranya. Meski begitu, agak jarang melihat Gendhis mau-mau saja dikalahkan.
“Lo, kan, tahu gue punya pengalaman jelek sama orang yang suka somasi itu. Dahlah, sekarang gue tanya, lo kenapa telepon?” Gendhis kemudian membalas lagi. Mereka sudah mengobrol beberapa saat, tetapi dia masih belum paham alasan Krisna menelepon. Bila hendak mencari Daisy, Krisna sebaiknya langsung menghubungi nomor istrinya bukan Gendhis.
“Dia makan, nggak?”
“Ya ampun, Krisna Jatu Janardana. Apa susahnya tinggal telepon dan tanya sendiri bini lo?” Gendhis kembali mengoceh. Sumpah, di matanya saat ini baik Krisna atau Daisy masing-masing seperti sedang kasmaran. Daisy tampak malu-malu tetapi bertanya terus tentang suaminya kepada Gendhis, Krisna juga setali tiga uang, sampai bertanya istrinya sudah makan atau belum saja harus kepada Gendhis.
“Bukan gitu. Dia kadang nggak peduli dengan dirinya sendiri bahkan kalau gue suruh, dia kebanyakan nggak nurut atau ujung-ujungnya malah makan mie. Gue cuma nanya lo buat mastiin dia makan bergizi tadi.”
“Kami makan bakso malang tadi.”
Hening selama detik dan Gendhis tahu kalau saat ini abangnya sedang mengumpulkan tenaga buat memarahinya. Toh, mie instan dan bakso malang sebenarnya sedikit sama, apalagi banyak kandungan penyedap rasa yang sudah pasti digunakan oleh penjualnya tanpa ragu supaya masakan mereka semakin bertambah nikmat.
“Lo tahu kalo Desi hamil.”
“Iya. Tapi kami lapar. Lo mau kami pingsan?” Gendhis membela diri, “Gue mesti nyetir. Ntar kalo nabrak, gimana?”
Entah kenapa dia menghubungi Gendhis tadi, Krisna tidak mengerti. Yang pasti, setelah ngalor ngidul tidak karuan itu dia lantas melirik jam tangannya dan berharap waktu cepat berlalu sehingga dia bisa segera pulang dan memastikan kalau ibu dari dua calon anak-anaknya tersebut dalam keadaan baik-baik saja setelah menikmati bakso dari gerobak pinggir jalan.
***
Vas bunga anggrek terbuat dari bahan keramik berwarna putih polos yang tadinya berada di atas meja tamu telah tergeletak di lantai. Vas tersebut pecah berkeping-keping setelah lutut Daisy tidak sengaja menyenggolnya saat dia berlari tidak lama setelah Fadli menendang pintu depan dan memaksa masuk.
“Anda memasuki rumah orang lain tanpa izin. Saya sudah bilang kalau suami saya tidak di rumah.” Daisy mencoba mundur karena Fadli dengan santai berjalan ke arahnya. Pria itu tidak peduli sama sekali dengan kata-kata dituntut atau laporan polisi yang Daisy sebutkan karena kehadirannya amat mengancam wanita tersebut, terutama setelah Fadli mengucapkan kata seksi.
“Jangan mendekat.” Daisy menyorongkan sebuah payung yang dia ambil dari wadah payung porselen tidak jauh dari ruang tamu. Fadli tidak takut sama sekali dan makin asyik mengunyah permen karet sementara lawan bicaranya mulai gemetar.
“Aku bayangin kamu nggak pakai apa-apa.” ujarnya santai. Daisy yang mendengar kemudian merasa amat jijik dengan pria di depannya karena ucapannya yang membuat Daisy bergidik. Dia otomatis memeluk tubuhnya sendiri.
“Anda sinting! Kalau Mas Krisna tahu …”
“Dia nggak ada di sini dan gue tahu banget jam berapa dia keluar. Si gila kerja itu bakal ngelupain lo kayak dia ngelupain Tika.” potong Fadli.
Gaya bicara Fadli berubah dari aku-kamu menjadi gue lo. Dia juga tidak lagi seramah biasanya dan makin menjadi ketika dia mengatakan Krisna tidak akan datang untuk Daisy. Daisy sendiri yang sadar dengan hal tersebut segera menoleh ke arah pintu dan dia tahu harus menyelamatkan diri sebelum terkurung di dalam rumah bersama pria menakutkan yang sejak dulu tidak pernah mengundang simpatinya.
Tetapi, untuk menuju pintu, Daisy harus melewati Fadli yang kini berdiri dan menatapnya dengan rakus. Dia bahkan menghindari melihat wajah pria itu karena semakin lama, dia merasa ingin muntah. Semarah-marahnya dia kepada Krisna, belum pernah dia merasa muak seperti yang saat ini dia rasakan.
"Jika memang Mas Krisna begitu, maka semuanya adalah urusan kami berdua. Anda tidak ada sangkut pautnya." balas Daisy dengan suara tegas. Fadli sempat diam selama beberapa saat sebelum akhirnya dia tertawa dengan suara yang sangat dibuat-buat.
"Jadi sangkut paut gue, lah." pria itu menepuk dadanya sendiri. "Gue yang selalu bela lo waktu tahu dia nyakitin lo. Berkali-kali gue bujuk dia buat cerain lo kalau nggak bisa jaga dan urus dengan baik. Gue bisa melakukan seratus kali lipat lebih baik dari dia."
Daisy bergidik mendengar pernyataan Fadli tersebut. Entah apa yang salah dengan otaknya, tetapi, Daisy yakin, pria itu butuh bantuan profesional. Kenapa juga dia mesti memaksa Krisna menceraikannya padahal sudah jelas suaminya sendiri bilang kepada Daisy dia tidak pernah berpikir sama sekali tentang perpisahan.
"Anda gila." Daisy mencoba menyuarakan pendapatnya, "Pria mana yang dengan santai menyuruh seorang suami menceraikan istrinya? Cuma anda seorang."
"Gue berpikiran mulia, Des. Dia memperlakukan lo nggak lebih dari sampah. Krisna sialan itu …"
"Nggak ada yang salah dengan pernikahan kami. Semua baik-baik saja. Mungkin otak anda yang korslet." Daisy memotong. Dia merasa bimbang harus berlari keluar rumah atau bersembunyi di kamar Gendhis. Dia tidak yakin bisa melakukannya dengan cepat. Arah mana saja yang dia tuju, Fadli yang bertubuh tegap itu akan mudah saja menjatuhkannya.
Ya Allah, Nak. Kalian harus tetap kuat. HP Ummi ada di kamar atas. Gimana bisa menghubungi papa kalian?
Tubuh Daisy sudah gemetar. Tangannya sudah sedingin es dan dia masih mengacungkan ujung payung ke arah tubuh Fadli. Tapi, dia tahu, hal tersebut tidak bakal banyak berguna sama sekali.
"Laki lo yang sinting. Bini baek-baek, dipermalukan di depan orang."
Daisy sempat terperangah beberapa saat ketika melihat betapa emosinya wajah Fadli saat mengucapkan hal tersebut. Dia ingin sekali tertawa, tetapi sadar, melakukannya bisa memancing pria itu melakukan hal lebih fatal lainnya.
"Saya baik-baik saja. Hubungan kami berdua tidak bermasalah."
"Lo nggak ngerti." hardik Fadli. Sekali lagi Daisy terdiam. Dia sedang mencerna sikap pria di hadapannya itu. Daisy tidak tahu apakah Fadli berada di pihaknya atau bukan.
Tapi, percuma saja. Entah di pihaknya atau pihak Krisna, atau malah pihak siapa, dia yakin, tujuan pria itu datang ke rumah suaminya hari ini bukanlah untuk sekedar silahturahmi. Dari gelagatnya, Daisy malah yakin, Fadli sedang berusaha untuk membalaskan dendam.
"Pintar." Fadli tersenyum ketika Daisy menyebutkan tentang dendam.
"Lo lihat yang dia perbuat di muka dan badan gue?" Fadli menunjuk ke arah bibir dan tanpa ragu ke arah lehernya yang terbuka. Ada bekas lebam yang dia tidak paham asal usulnya.
"Krisna yang buat. Gila, ya. Dia bisa ngamuk kayak gini karena lo. Ckckck." Fadli berdecak, "Apa yang sudah lo kasih sampe dia gila-gilaan kayak gitu, Des? Dia nggak pernah segitunya kalau soal Tika."
Daisy yang mulanya memegang payung dengan satu tangan, kemudian menggunakan dua tangannya untuk menghunus benda tersebut, sebagai peringatan kepada Fadli.
"Saya peringatkan, anda sudah tahu bagaimana suami saya bila dia marah."
Fadli menyeringai, "Tahulah. Dia semena-mena, bikin karir gue hancur, sehancur-hancurnya. Gila bener. Padahal dia sudah gue lembut-lembutin, Boy, cerain aja bini lo, buat gu …"
Fadli menangkis lemparan payung dari Daisy yang merasa amat terhina dengan ucapan pria tersebut. Tidak hanya payung, Daisy juga berhasil mengambil sebuah buku tebal yang entah mengapa bisa berada di sana lalu melemparkannya tepat ke dahi mantan sahabat suaminya. Dia berharap memiliki kekuatan super sehingga bisa melawan Fadli dalam kondisi seperti itu. Tapi, Daisy sadar diri, dia harus kuat. Pria yang mengamuk seperti Fadli sudah pasti tidak peduli dengan apa-apa lagi dan saat ini dia tahu, pria itu amat bernafsu mengincar dirinya.
Daisy berlari secepat yang dia bisa ke kamar Gendhis. Dia tahu, jika pintu kamar sudah berhasil dia kunci, dia akan mengirim email kepada suaminya. Tidak masalah HP-nya tertinggal di kamar atas asal wifi rumah masih terhubung.
Belum sepuluh langkah, dia memekik, tepat pada saat tangan Fadli yang bebas, menyentuh bagian atas perutnya, tepat di bawah dada.
"Nggak!" Daisy meronta membebaskan diri. Di dalam hati dia terus menyebut nama Allah dan semuanya terasa begitu cepat begitu Fadli menarik tangannya dan mendorong tubuhnya dengan keras sehingga tubuh Daisy menghantam ujung meja jati ketapang yang berada tepat di depan sofa, di ruang menonton yang selama ini menjadi tempat bercengkrama antara dirinya dan sang suami.
Daisy meringkuk, menyentuh perutnya. Dia menahan nyeri yang membuatnya nyaris tidak bisa bernapas. Di saat yang sama, Fadli yang masih mengunyah permen karet, berlutut. Dia melempar pakaian luarnya yang bermotif bunga lalu mendorong tubuh Daisy hingga terlentang. Air mata sudah meleleh di kedua pipinya.
"Gila. Anda manusia paling gila dan …"
Daisy tidak melanjutkan bicara. Wajahnya telah lebih dulu ditampar oleh pria itu sehingga dia hanya bisa memalingkan wajah menahan nyeri yang tiba-tiba membuat matanya buta.
"Nggak tahu kenapa, liat lo kayak gini aja bikin gue kepengen banget, Des."
Daisy tahu, dia harus bangkit. Rasa sakit yang dia rasakan bakal jadi penyesalan saja bila Fadli berhasil menjalankan niat busuknya. Pria itu sudah melepas tali pinggang dan menatap Daisy dengan pandangan penuh nafsu.
Bangun, Des. Bawah leher, ulu hati, adalah bagian paling lemah. Kalau saat ini nafsunya sedang naik, kamu tahu benar bagian mana yang harus kamu serang supaya dia lumpuh.
Daisy menelan air ludah. Dia tahu, waktu yang tersisa mungkin tidak banyak. Dia mungkin saja akan kehilangan nyawa, tapi dia tahu, yang harus dia pertahankan adalah harga diri dan anak-anaknya.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top