70

Rameiiiin pokoknya.

Kalo kaga, seperti kata netizen yang songong, eke apdet beberapa purnama.

Lu tau pada arti purnama? Bulan penuh. Berarti kalo beberapa = beberapa bulan. Jadinya kalo 3 purnama artinya 3 bulan. Bukannya bulan di hari senen sampe bulan hari sabtu yey itung. Ckckx pada pinter amat followers eke ya Allah matematika, ngitung seribu purnama lu kata 1000 hari? 🤦‍♀️🤦‍♀️🤦‍♀️
Benar begitu pulgoso?

Ntar eke nulis pulgoso, yey koreksi lagi jadi rudolpo. Baaaaahhh😭😭

Jangan bilang eke guru yey, ya. Maluuk.

***

74 Madu inTraining

Entah apa yang merasuki kepala Gendhis Wurdani Parawansa ketika dia menemani saudari iparnya berbelanja pakaian bayi. Daisy sendiri memilih duduk berselonjor kaki saat mereka berdua berada di sebuah babyshop yang lokasinya sekitar dua kilometer dari rumah Krisna. Sudah hampir satu jam mereka berada di sana dan tenaganya sudah habis, bukan karena dia sibuk memasukkan barang-barang ke keranjang melainkan sibuk mengiringi Gendhis yang terlihat terlalu bersemangat dengan pernak-pernik lucu di dalam toko.

“Cowok semua, kan?” Gendhis bertanya lagi, berusaha memastikan telinganya tidak salah dengar walau tatapan mata Daisy yang tertuju ke arahnya kentara sekali sedang menyindir kelakuan iparnya tersebut.

“Padahal kamu orang pertama yang paling tahu dibanding papanya si kembar.”

Papa, Gendhis selalu ingin tertawa kalau ingat itu. Yang satu ngotot ingin dipanggil ummi, yang satu lagi tidak mau dipanggil abi dan hanya mau dipanggil papa. 

“Mana ada orang tua nggak kompak, Papa-Ummi, kayak kalian. Aneh banget. Kalau beli cangkir Papa Mama bakal nggak nemu. Mana ada cangkir Ummi-Papa sampai ke Arab juga.”

Dasar Gendhis. Sampai urusan cangkir saja dia berisik. Daisy, kan, bukan mau sok alim atau bergaya ke-Arab-araban. Anak-anak di panti sudah terbiasa memanggilnya Ummi Daisy dan dia juga ingin anak-anaknya melakukan hal yang sama agar tidak terjadi kesenjangan di antara mereka semua, sementara Krisna sendiri sudah menegaskan, dia tidak mau dipanggil Abi karena mengingatkannya dengan Syauqi dan itu membuatnya sebal bahkan sebelum Daisy sempat menyebutkan panggilan tersebut untuknya.

“Biar unik, Dhis. Nanti juga kamu sama suamimu punya panggilan sayang, entah Mama Papa, Mami Papi.”

“Belum ada calonnya. Aku masih mau nikmatin hidup.” balas Gendhis santai. Seperti Daisy, kini dia ikut berselonjor di sebelah iparnya tersebut. Hanya saja, di hadapannya saat ini ada bertumpuk pakaian bayi yang amat dia suka desain dan bentuknya.

“Mentang-mentang kembar, bajunya jangan disamain, dong. Kayak mau parade aja. Nama juga jangan sama, masak dipanggil Jono Joni.” Gendhis bicara lagi. Dia tidak lupa memuji beberapa potong baju untuk usia satu tahun yang menurutnya amat gagah dan macho.

Daisy hanya menyunggingkan senyum. Sesekali dia menyentuh perutnya yang sedikit gatal. Dia tidak berani menggaruk dan berpikir untuk mencari lotion agar gatal tersebut sedikit berkurang. 

“Soal nama, Mas Krisna masih mikir katanya. Aku, sih, nurut aja. Yang pasti kami mau memberikan yang terbaik. Tapi, kalau namanya mirip, nggak susah manggilnya. Coba, deh, Jono, Joni, ayo ke sini.”

Gendhis berdecak tanda dia tidak setuju dengan alasan biar mudah memanggil nama anak-anak tersebut. Bagi dia, nama seorang anak adalah doa dan dia sendiri amat menyukai namanya sehingga kemudian dia berpikiran untuk menelepon Krisna agar tidak sembarangan menamai anak mereka.

“Oalah, Dhis. Memangnya Mas Krisna mau dengar kamu? Kalian, kan, doyan berantem.”

Dia dan Krisna tidak selalu bertengkar. Akan tetapi kalau Gendhis merasa tidak sesuai dengan prinsipnya, mereka bisa berdebat tanpa habis-habisnya. Tapi, bila sudah mencapai kata sepakat, mereka bakal sangat akur. Hubungan Gendhis dan Krisna memang jauh lebih akrab dibanding kakak-kakaknya yang lain.

“Kalau nama keponakanku jelek, bakal kumarahi dia.”

Gendhis memang nekat, pikir Daisy. Tetapi, dia yakin suaminya juga mempertimbangkan semuanya. Bagaimanapun juga, Krisna tidak bodoh. Amat pandai malah hingga kadang Daisy minder dengan suaminya sendiri. Meski punya mulut tajam dan agak mudah marah, nyatanya dia adalah seorang Magister, S2 yang selama ini hanya bisa dia temukan pada Ummi Yuyun. 

Bagi Daisy yang hanya tamatan SMA, gelar yang dimiliki suaminya seperti mimpi yang tidak bakal terwujud. Tapi, dia tidak merasa minder. Suatu hari nanti, bila Krisna mengizinkan dan si kembar sudah cukup besar, dia juga akan berusaha menggapai kembali cita-citanya yang terpaksa kandas di masa lalu. Daisy masih punya tabungan bila dia ingin merasakan pendidikan di bangku kuliah. 

"Sebelum kamu marah, aku duluan bakal protes." Daisy menjamin. Dia sendiri tidak yakin bakal melakukan hal tersebut. Tetapi, bila Krisna sedang kumat sintingnya, bukan tidak mungkin nama anak-anak mereka menjadi korban.

"Nama panggilan masih Kakak-Adek?" tanya Gendhis lagi ketika dia menemukan lima pasang kaus kaki anak laki-laki yang dijual satu set. Tanpa ragu dia segera menyerahkan benda tersebut ke pangkuan kakak iparnya. 

"Masih. Mas Krisna suka dan aku juga. Kakak-Adek adalah panggilan paling mudah dan nggak perlu berantem waktu suamiku pertama kali memanggil si kembar seperti itu."

"Jiah, suamiku." Gendhis memasang raut wajah pura-pura muak. Entah kenapa bulu kuduknya berdiri ketika mendengar Daisy menyebut suaminya dengan lembut.

"Udah cinta banget kayaknya. Dulu aja, pas udah akad, kamu mau patahin leherku."

Mau bagaimana lagi? Mustahil Daisy mengabaikan Krisna dan setelah berbulan-bulan, dia akhirnya luluh juga. Benar kata Kartika, bila sudah jatuh cinta, Krisna akan jadi pria amat baik dan lembut sehingga dia sendiri susah mengabaikan si tampan itu. 

"Kenapa? Kamu iri aku merebut abangmu atau kamu iri kepingin punya suami juga?"

Gendhis menatap ke arah langit-langit baby shop tersebut dan dia pura-pura menepuk jidat saking merasa Daisy mulai lemot. Bukankah tadi dia sudah bilang belum punya tambatan hati?

"Kayak gini aja nantang-nantangin. Pas berantem kemaren cari siapa hayo?" Gendhis membela dirinya sendiri sementara Daisy sudah tertawa dengan wajah memerah menahan malu. 

"Iya. Cari kamu." Daisy mengalah. Melawan Krisna saja dia kalah apalagi melawan adiknya yang punya mulut seperti Bon Cabe level 50, pedas tidak karuan dan ahli membuat lawannya mati kutu. 

Pada akhirnya kedua sahabat tersebut kembali saat hari menjelang pukul tiga sore. Untung saja, di saat Gendhis makin kalap berbelanja, telepon dari Krisna membuat Daisy kemudian mengajak adik iparnya pulang. Mereka tidak sadar sudah nongkrong di toko keperluan bayi tersebut selama hampir dua jam. Entah apa yang dicari oleh Gendhis. Yang pasti, ketika keluar, Daisy hanya menggelengkan kepala melihat perintilan-perintilan kecil yang dibelikan oleh Tante Perawat untuk kedua keponakan yang saat ini bahkan belum menghirup udara di dunia. 

"Balikin bini gue, Dhis. Kalau dia lecet, lo gue pites. Dia mudah capek, lho."

Gendhis bahkan harus memastikan yang menelepon adalah Krisna abangnya baru kemudian dia mendengarkan lagi bahwa memang Krisna Jatu Janardana yang sedang bicara. Salahkan Daisy yang begitu jujur mengatakan kalau mereka masih berada di baby shop. Padahal, mereka bukan cuma berbelanja pakaian. Gendhis masih sempat mengajak iparnya itu makan bakso malang yang kebetulan mangkal di depan toko. 

"Iya. Buset, dah. Nggak laki nggak bini, bucin semua." Gendhis mengoceh, "Gue balikin bini lo, Mas. Aman, nggak ada lecet. Apa perlu gue kirim foto before after supaya lo nggak berisik kayak gini?"

Perang dua saudara yang selalu membuat Daisy mengulum senyum. Dia sendiri kadang iri, suaminya memiliki banyak saudara. Tetapi, di panti dia juga tidak sendirian. Lagipula, Gendhis sudah lebih dari saudara dan dia bersyukur, Kartika telah mengenalkan mereka berdua bertahun-tahun lalu. 

"Sampai." lapor Gendhis ketika akhirnya mobil yang dia kendarai tiba di depan pagar. Tapi, dia tidak berhenti sampai di situ saja. Setelah menerima kunci pagar dari Daisy dan dia membuka pagar, Gendhis kemudian memasukkan mobil ke pekarangan rumah agar Daisy tidak perlu berjalan jauh. Di samping itu, dia juga harus membawa belanjaan mereka meski Daisy berkata dia bisa membantu.

"Tante Dhis baik banget. Aku, kan, jadi enak diginiin terus." Daisy menyunggingkan senyum lebar ketika Gendhis mengatakan kalau dia senang berbelanja untuk keponakannya daripada uang gajinya habis untuk salon atau beli minuman kekinian. 

"Lah, aku juga senang. Keponakan ada lima, semuanya cewek. Dua ini baru jagoan dan mereka bakal jaga tantenya kalau ada cowok hidung belang. Sekalian juga, buat ninju hidungnya si Syauqi yang berisik kayak emak-emak kalau aku mampir."

Gendhis sudah membawa ayunan bayi elektrik yang ketika tahu harganya sempat membuat Daisy menolak. Tapi, dia tahu Gendhis, semakin ditolak, dia bakal nekat membeli hadiah lain sehingga apa yang diberikan oleh ipar kesayangannya itu, dia terima.

"Pelan-pelan. Aku nggak mau Mas Krisna ngomel lagi gara-gara bininya lecet. Parah, deh. Sama Mbak Tika aja nggak segitunya dia. Kamu tahu, kadang, Mbak Tika ditinggal lembur sampai malam. Lah, kamu, sebelum Magrib, dia sudah ada di rumah. Pilih kasih bener."

Daisy sempat menghentikan langkah begitu mendengar ucapan Gendhis. Tetapi, iparnya nampak santai dan tidak merasa kalau ucapannya barusan mempunyai efek kejut buat Daisy yang tidak percaya kalau suaminya bersikap seperti itu hanya kepada dirinya. 

Aneh, padahal, Mas Krisna, kan, sayang banget sama Mbak Tika.

"Kunci pintu mana?" Gendhis bertanya kepada Daisy ketika dia sudah berada di depan pintu. Daisy sendiri buru-buru membuka pintu dan membiarkan Gendhis masuk terlebih dahulu supaya dia leluasa membawa hadiah pemberiannya ke dalam rumah.

"Bawa ke kamar si kembar?" 

"Di bawah aja dulu, di depan TV. Mas Krisna mungkin mau lihat. Biar dia aja yang susun di atas, sekalian sama baju-baju yang kamu kasih tadi."

Daisy membawa beberapa kantong belanja berisi pakaian dan pernak-pernik bayi pemberian Gendhis. Dia dan Krisna belum banyak berbelanja. Hanya ada dua lusin bedong, popok, dan pakaian bayi yang sejatinya akan dipakai sebentar saja karena bayi cepat tumbuh. Untung saja, Daisy sudah terbiasa mengurus bayi dan balita sehingga kemudian Krisna tidak protes setiap dia menjelaskan kalau mereka tidak perlu boros untuk pakaian yang hanya dipakai sesekali.

Gendhis sendiri hanya menghabiskan waktu sekitar sepuluh menit di rumah abangnya dan dia langsung pamit usai salat Asar yang tertunda karena mereka tadi masih berada di jalan. Begitu mobil iparnya sudah berlalu, giliran Daisy bergegas untuk membereskan piring-piring kotor bekas makan mereka tadi yang tidak sempat Daisy bersihkan karena mereka keburu berangkat. Untunglah, tidak banyak piring yang kotor sehingga saat bel di depan rumah berbunyi, Daisy baru saja selesai meletakkan mangkuk ke rak peniris.

"Eh, siapa? Gendhis balik lagi?"

Saat itu pukul empat dan mustahil Krisna kembali karena dia tahu, suaminya masih melangsungkan rapat. Bila itu Gendhis, biasanya si bungsu Janardana tersebut bakal meneleponnya untuk mengabarkan kalau dia datang atau kembali karena ada yang tertinggal. 

Setelah beberapa saat, bel yang tadinya berbunyi berubah menjadi ketukan pelan. Daisy harus mempercepat langkah demi memastikan tamu yang datang tidak menunggu terlalu lama walau dia merasa agak cemas, tidak biasanya dia menerima tamu saat sedang sendirian seperti ini. Tamu yang lain bakal datang ketika suaminya sedang berada di rumah dan Daisy kadang tidak perlu repot-repot menampakkam diri kecuali bila dia harus menyuguhkan minuman atau makanan ringan. 

Ketukan terdengar lagi dan Daisy segera menyentuh handel pintu serta membuka kunci tanpa pikir panjang lagi. Dia hampir tidak bisa bernapas sewaktu pintu terbuka separuh dan suara salam membuat dia mendadak kaku.

"Assalamualaikum."

Daisy bahkan tidak sempat membalas salam karena matanya langsung bersirobok dengan sang pemilik luka lebam di bibir yang langsung membuka kacamata hitam yang dipakainya begitu lawan bicaranya tidak bergerak sama sekali.

"Ca… cari Mas Krisna? Dia masih di kantor." gugup, Daisy membalas padahal Fadli yang berdiri di hadapannya sama sekali tidak menyebutkan nama Krisna sebagai alasan kedatangannya. 

Fadli sendiri yang saat itu sedang mengunyah permen karet, tersenyum sambil menganggukkan kepala.

"Baguslah. Memang aku nggak datang cari dia."

Daisy harus memastikan telinganya tidak salah dengar dan setelah dia sadar, tubuhnya segera memberi alarm kalau kedatangan Fadli bakal membahayakan dirinya. Sewaktu Daisy berusaha menutup kembali pintu rumah, masa bodoh dia bakal dibilang tuan rumah kurang ajar, ketakutannya terbukti. Fadli dengan satu tangan menahan pintu tersebut dan dengan mudah mendorongnya hingga menjeblak dan Daisy mundur beberapa langkah.

"Kenapa panik, sih? Tamu datang, tuh, mesti disambut." Fadli makin mengembangkan senyum dan dia melangkah ke dalam rumah dengan penuh percaya diri sementara Daisy memberi peringatan, "Suami saya tidak di rumah. Sebaiknya anda pergi."

"Lah, siapa yang cari dia? Yang aku cari itu kamu, Des."

Fadli melepaskan kacamata hitamnya lalu dengan santai menggantungkannya di antara kancing baju ke dua dari kemeja berwarna hitam motif bunga berbahan rayon yang dipakainya. Penampilannya teramat santai dan Daisy yang gugup tidak berhenti mengucap nama Tuhan.

"Gila, ya. Pantes Krisna kayak orang dipelet.  Bunting gede gini aja, kamu makin seksi."

Sumpah, belum pernah Daisy merasa setakut ini. Bahkan, saat Krisna pertama kali menyentuhnya sebagai seorang suami. Entah kenapa, tangan kanannya malah refleks menyentuh permukaan perut dan Daisy amat berharap, Gendhis kembali lalu melemparkan sepatu ke kepala pria menakutkan di hadapannya saat ini.

***


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top