68
Eke apdet soalnya lagi baek aja. Males sebenernya. Di bab sebelah komennya ga sampe 300. Tapi, work ini kudu tamat biar cepet eke ngapusnya. Ini bab juga lompat2, yang basa-basi eke ga taro sini. Yang udah baca di KK atau KBM pasti tahu. Yang penting masih nyambung, yes. Kalau mo baca ke kk komen aja di sini ntar eke kasih tahu bab yang ilang. Wkwkw.
Yang nunggu ebooknya sabar ya.
Di Shopee masih dikit lagi. Yang mau beli silahkan. Ada beberapa novel juga eke obral, ngabisin stok.
Dahlah. Baca aja.
***
72 Madu in Training
Ketika Fadli datang ke kantor pusat Astera Prima Mobilindo sekitar pukul sembilan pagi berikutnya, dia menemukan kalau Krisna sudah berdiri di ruang kantor Fadli sambil memandangi meja kerja sahabatnya. Fadli sendiri yang hari itu muncul dengan wajah lebam di sekitar bibir dan mata agak sedikit terkejut melihat kehadiran Krisna di sana.
"Lo … tumben mampir ke kantor gue." ujar Fadli, berusaha tetap santai sementara dihadapannya, Krisna asyik melihat-lihat isi meja kerja Fadli. Ada foto pria itu bersama orang-orang dekatnya. Tetapi, yang aneh, ada foto wajah Daisy tersembunyi di bawah meja kaca dan bila Krisna tadi tidak menggeser kalender meja, dia tidak akan menemukan gambar tersebut di sana.
Entah kapan Fadli mengabadikan foto Daisy. Tetapi, mengingat kondisi latar belakang dan pakaian yang dipakai wanita itu, Krisna tahu, foto tersebut diambil saat Daisy berada di hotel The Lawson, tempat mereka pernah menginap saat Krisna melaksanakan pertemuan penting beberapa bulan lalu.
"Gue kira lo iseng aja, goda-goda dia pas gue nggak ada." Krisna mulai bicara sementara Fadli masih berada di dekat pintu. Tingkahnya yang gugup seolah menunjukkan kalau dia memang melakukannya dengan sengaja.
"Dia bini gue, Fad." Krisna merangsek maju, menarik dasi Fadli hingga pria tersebut hampir batuk menahan sesak napas.
"Sa… sakit. Gue nggak bisa napas, Boy." Fadli menarik tangan Krisna yang mencekik lehernya. Entah kenapa tidak timbul sama sekali empati di dalam diri Krisna melihat sahabatnya dia perlakukan seperti itu. Lagipula, apa pantas Fadli disebut sahabat bila dia punya obsesi gila yang membuat Krisna jadi amat jijik kepadanya?
"Nggak bisa napas? Lo masih untung bisa hidup sampai detik ini. Gue kira lo main-main, tapi waktu gue lihat lo simpan foto dia… sumpah, lo kelewatan."
Keributan di ruangan Fadli yang saat itu menjabat sebagai manajer penjualan telah memancing perhatian staf Astera lainnya. Mereka mulai melerai tepat saat Krisna berhasil menjatuhkan Fadli ke lantai.
"Mas… Mas Krisna nyebut." ujar seorang staf senior. Seorang sales lain juga menarik tangan Krisna berusaha melerai pertikaian pagi itu.
"Jangan panggil gue Krisna kalau nggak ngabisin lo pagi ini." Krisna berontak melepaskan diri sementara Fadli berusaha bangkit dan mengusap luka di bibirnya yang kembali berdarah dengan punggung tangan kiri.
"Kenapa lo sewot gue deketin dia? Bini lo nggak nolak." Fadli membalas dengan suara keras membuat semua orang saling pandang dan disela suasana hening selama beberapa detik, cekalan staf yang memegang tangan Krisna terlepas lalu dengan leluasa mantan pemenang Pria Sehat Indonesia tersebut memukul dan menendang tubuh Fadli sepuas hatinya, membuat semua orang langsung panik dan sigap memisahkan mereka berdua.
"Berhenti, Kris." seru wakil direktur, teman Krisna selain Fadli yang tahu-tahu nyelonong masuk. Dia menarik tubuh sahabatnya menjauh dan juga memberi jarak kepada Fadli yang sudah pasang kuda-kuda. Fadli sendiri berhasil memukul wajah dan menendang ulu hati Krisna hingga pria itu mundur beberapa langkah.
"Lo urus dia, Jack." Krisna berseru kepada sang wakil direktur, "Jangan sampai gue lihat batang hidungnya lagi di Astera. Siapkan surat pemecatan tidak hormat…"
Fadli langsung berontak, "Lo nggak bisa mutusin sepihak, Boy. Siapa lo yang berani pecat gue, hah? Ada direksi. Lo mentang-mentang …"
" Jangan sampai gue kirim laporan ke polisi atas perbuatan lo, termasuk neror bini gue dan menyimpan fotonya diam-diam. Gue sudah kumpulin bukti …" balas Krisna dengan suara amat tegas. Bila Daisy sang istri melihatnya, pastilah wanita hamil itu ketakutan atau nyaris pingsan. Wajah Krisna benar-benar serius dan saking marahnya dia saat ini, satu kali lagi Fadli membantah, dia bisa memukulnya hingga pingsan. Entah ada apa di dalam benak sahabat sintingnya itu. Sudah jelas Krisna dan Daisy baik-baik saja, tetapi dia seperti orang sinting yang mengharapkan mereka bercerai.
"Dan lo jangan mimpi lihat kami pisah. Cuma manusia otak kotor kayak lo yang mikir begitu."
Untung saja Krisna menahan diri untuk tidak meludahi wajah Fadli karena bagaimana pun juga, mereka pernah bersahabat. Tetapi, dia tidak yakin setelah ini persahabatan mereka bakal kembali normal seperti sebelumnya. Ulah Fadli begitu kelewatan dan tidak ada sahabat gila yang menusuk dari belakang dengan mencintai istri sahabatnya.
Fadli sendiri, langsung tersungkur karena beberapa orang yang memeganginya memilih melepaskan pria itu setelah mendengar apa yang terjadi dan mereka semua, seperti Krisna meninggalkan ruangan Fadli dan mulai menggerutu, bisa-bisanya pria itu tega menikam Krisna dari belakang dengan nekat merebut istri kedua sahabatnya sendiri.
***
Daisy yang merasa agak cemas sepanjang hari akhirnya menemukan jawaban ketika suaminya pulang ke rumah menjelang waktu Magrib. Pipi kanan suaminya agak sedikit lebam dan ketika Krisna membuka pakaiannya, dia melihat lebam yang sama di atas perut Krisna. Seketika Daisy panik. Dia berjalan menuju kotak obat tetapi bingung hendak mengoleskan apa. Krisna jelas belum mandi dan pria itu tidak ingin mendapatkan pengobatan apa pun kecuali memeluk istrinya yang sibuk mengajaknya ke dokter.
"Aku habis berantem sama Fadli pagi tadi." balas Krisna dengan suara datar. Daisy yang tidak menyangka kalau perseteruan kemarin siang bakal terulang lagi, mengeluh kalau Krisna tidak boleh melakukan hal itu.
"Aku lagi hamil, Mas. Kalau ada apa-apa denganmu, gimana nasib kami?" Daisy menahan ngilu karena melihat bibir bagian atas suaminya sedikit berdarah, "Kalian gebuk-gebukan, kah? Apa nggak ada orang di sana yang melerai? Kenapa kamu harus berantem lagi?"
"Awalnya cuma mau bicara, tapi aku menemukan kejutan luar biasa di sana." Krisna membalas sambil mengelus dahi Daisy. Entah kenapa akhir-akhir ini dia selalu senang memandangi wajah sang ibu hamil yang terlihat amat cerah dan bercahaya. Karena itu, dia amat marah ketika tahu Fadli sinting itu diam-diam menyimpan foto istrinya.
Dasar psikopat.
"Kejutan apa sampai kamu harus berantem sama dia? Apa yang kemarin kurang?" Daisy menahan diri untuk tidak meledak. Bagaimana jika mereka berdua harus berakhir di kantor polisi? Daisy tidak sanggup membayangkannya.
"Foto kamu dia sembunyikan di bawah kalender di mejanya."
Kali ini, Daisy tidak bisa menghentikan rasa terkejut. Jika tidak dipegang oleh suaminya, dia yakin akan jatuh. Krisna sendiri menyunggingkan senyum tipis selagi tangan kanannya mengelus lembut punggung Daisy yang berada di dalam dekapannya.
"Yang benar, Mas? Ngapain dia berbuat kayak gitu?"
Terus terang, Daisy merasa cukup cemas begitu tahu kalau Fadli menyimpan fotonya. Apalagi ketika Krisna menyebut kalau besar kemungkinan kalau foto tersebut diambil ketika mereka berada di hotel The Lawson beberapa bulan lalu.
"Di dekat kolam renang."
Daisy terkesiap. Bukankah saat itu dia sedang duduk sendiri, mengetik dan kemudian pria itu tahu-tahu muncul mengejutkannya hanya dengan memakai celana renang?
"Ya Allah. Itu saat dia muncul cuma pakai celana renang doang, yang kayak sempak itu." Daisy bergidik. Dia ingat sekali kegilaan yang Fadli lakukan. Pria itu tanpa malu mendekat ke arah Daisy dan yang bisa dia lakukan hanya lari secepat kilat sebelum sahabat suaminya itu menyentuhnya.
"Dia bukan lagi sahabatku." Krisna tersenyum masam, "Kenapa nggak kasih tahu kalau dia sudah nekat waktu itu?"
Daisy memandangi wajah suaminya lekat-lekat. Sebelum ini, Krisna tidak pernah memandanginya secemas itu dan dia merasa agak sedikit terharu. Suaminya sudah begitu banyak berubah dan Daisy kira, dia bakal cuek ada pria seperti Fadli di sekitar mereka.
"Desi takut persahabatan kalian bakal rusak dan lagi, daripada percaya, aku yakin, kamu mungkin berpikir kalau saat itu aku sedang menghasut dan membuat pertemanan kalian hancur. Nggak sedikit persahabatan jadi runyam gara-gara ada istri yang nggak setuju." Daisy takut-takut berbicara tetapi dia kemudian sadar kalau Krisna tidak berpikiran seperti itu.
"Masalahnya yang dia incar adalah kamu, istriku. Kalau dia sampai menyimpan fotomu, memaksa aku buat cerai denganmu, dan mengiming-imingi bakal memperlakukan kamu seperti ratu, itu bukan pemikiran seorang pria sehat, Des. Dia tahu kita menikah, dia juga salah satu saksi dan sahabat yang aku percayai, makanya, aku nggak habis pikir dengan jalan pikirannya."
"Mungkin dia cemburu aku merebut sahabatnya?" Daisy mencicit dan Krisna mengucap istighfar, "Sahabat macam apa bisa cemburuan dengan istri sahabatnya? Dia nggak pernah begitu dengan Tika dan sama kamu, dia kayak terobsesi." Krisna menggeleng, "Itu bukan sahabat lagi."
Wajah Krisna tampak kaku begitu dia menyebut Fadli bukan sahabatnya. Daisy juga merasa sedikit bersalah karena dia secara tidak langsung menjadi alasan penyebab dua sahabat itu bertengkar.
"Mulai hari ini dia bukan karyawan Astera lagi." Krisna bicara lagi setelah pelukan mereka terpisah. Pria itu sedang berjalan menuju kamar mandi sementara Daisy hendak mengambil handuk untuk suaminya. Gara-gara itu juga, Daisy batal berjalan ke arah gantungan handuk dan memilih untuk mendengar penjelasan suaminya.
"Sikapnya sudah kelewatan dan aku nggak bisa bekerja satu atap dengan seseorang yang punya pikiran untuk merebut istriku."
Sungguh, perasaan Daisy amat tidak enak. Apakah perbuatan Fadli sampai sefatal itu sehingga dia dikeluarkan? Bagaimana dengan kehidupannya setelah ini? Apakah masih ada perusahaan yang mau menampungnya?
"Nggak tahu." balas Krisna ketika dia mendekat dan mengambil handuk dari tangan istrinya, "Terus terang aku nggak peduli. Istri dan anak-anakku adalah hal paling nomor satu dibanding sahabat brengsek kayak dia."
Krisna menggantungkan handuk ke lehernya dan setelah mengusap puncak kepala Daisy, dia tersenyum lalu berjalan menuju kamar mandi, sementara Daisy sendiri memilih untuk duduk di sisi tempat tidur. Kepalanya pening dan dia merasa butuh udara segar.
Kenapa Fadli bisa berbuat senekat itu dan tidak berpikir akibat fatal yang dia terima gara-gara menyukai orang seperti Daisy?
Huh, mana mungkin dia segila itu. Daisy bukan wanita cantik dan hebat sehingga bisa diperebutkan di sana sini. Bahkan, Syauqi Hadad saja tidak menaruh hati sama sekali kepadanya.
Mungkin mata Fadli mengalami sedikit gangguan seperti rabun atau katarak, Daisy tidak paham. Tapi, dia berharap, pria itu belajar dari kesalahan dan berpikir dua kali bila hendak menggoda istri orang lagi.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top