67
67 Madu in Training
Daisy yang mengira masalah dalam pernikahannya dengan Krisna hanyalah mertua resek seperti Hanum Sari Janardana kemudian menemukan kalau biang masalah lain bernama Fadli juga merupakan sebuah batu sandungan lain yang tidak bisa dia kesampingkan sama sekali.
Mulanya dia berpikiran kalau dia mendiamkan saja pria itu maka tidak akan ada masalah yang berarti. Tetapi nyatanya, saat kehamilannya menginjak hampir tujuh bulan, keberadaan pria itu makin membuatnya ketakutan. Ketika melapor kepada Krisna, suaminya kemudian merespon dengan amat baik dan Daisy tidak bisa mengucapkan terima kasih lebih dari itu.
“Dia nggak ngelirik Desi, kan, Mas?”
Waktu itu adalah hari Minggu. Krisna dan Daisy sedang menghadiri sebuah undangan dari staf yang cukup akrab dengan Krisna. Sewaktu hendak menaiki panggung untuk bersalaman dengan kedua mempelai, tahu-tahu saja sosok Fadli muncul dan dengan sikap amat ramah seperti dia yang biasa, pria itu memeluk dan menyalami Krisna sedang Daisy sendiri otomatis mundur takut kelincahan Fadli menyenggol tubuhnya yang memang sudah mulai amat kesulitan berjalan. Dua bocah aktif di dalam perutnya benar-benar tumbuh amat baik dan kadang, Daisy malu sendiri melihat penampilannya di depan kaca yang menurutnya amat mirip dengan buntalan karung goni. Anehnya Krisna tidak pernah berpikir sama dan mengatakan sebaliknya. Dengan perut buncitnya itu, dia makin sering membuat suaminya sakit kepala dan Krisna sendiri tidak bisa seleluasa di awal mereka menikah atau awal kehamilan Daisy dahulu. Dia harus menguasai diri untuk tidak sembarangan menerkam istrinya seperti kebiasaannya sebelum ini.
Fadli sendiri, tanpa ketahuan oleh Krisna memang beberapa kali mencuri pandang ke arah Daisy. Dia tidak malu mengedip sekali ketika tidak sengaja tatapan mereka beradu dan Daisy hanya mampu mendekat dan memeluk lengan suaminya seolah takut Krisna bakal meninggalkannya sendirian.
“Kayaknya nggak. Dia sibuk foto-foto sama anak-anak yang lain. Kamu mau gabung?”
Daisy menggeleng. Dia berusaha menahan diri untuk tidak bergidik walau saat ini rambut-rambut halus di sekujur tubuhnya meremang. Entah kenapa, seolah radar alarm terus memperingatkannya dan sepertinya Fadli mulai pandai menyembunyikan sifatnya di depan Krisna. Ketika suaminya mesti naik panggung untuk sesi foto bersama yang lain, Daisy hampir melompat karena tahu-tahu saja Fadli berdiri di sebelahnya.
“Gimana rasanya punya laki cemburuan kayak dia? Sebel, kan?”
Berhubung saat itu pesta yang mereka hadiri menggunakan konsep standing party alias tidak disediakan kursi, Daisy merasa Fadli malah sengaja mendekat ke arahnya. Hal tersebut tentu saja membuat Daisy risih, tetapi apabila dia menjauh secara tiba-tiba, Fadli bakal merasa ke-GR-an. Siapa tahu dia memang sengaja mengajak bicara basa-basi. Tapi Daisy tahu kalau dia merasa tidak nyaman, pasti ada sesuatu yang tidak beres. Seperti pria di sebelahnya saat ini contohnya. Setelah Krisna mengatakan kalau besar kemungkinan Fadli naksir kepadanya, Daisy tidak pernah bisa berpikir positif.
Padahal perutnya saat ini sudah sebesar nangka dan kakinya sudah seperti kaki gajah. Entah bagian mana yang membuat Fadli tertarik.
“Kamu makin cantik aja walau hamil.”
Daisy kembali bergidik. Jika yang mengatakan itu adalah Krisna, dia tidak segan-segan tersenyum dan mengucapkan terima kasih. Tetapi, karena yang mengucapkannya adalah Fadli, dia merasa sebaliknya.
“Bukannya anda juga bagian dari tim, kok, nggak ikut foto bersama?”
Daisy bukannya penasaran melainkan secara halus mengusir Fadli. Toh, sekarang Daisy merasa kalau pria tersebut dengan rakus menatap tubuhnya dari atas ke bawah padahal Daisy tidak menggunakan pakaian mengundang melainkan gamis tertutup dengan jilbab yang juga menjulur hingga perut. Memang, untuk hari itu dia memakai gamis yang kualitasnya amat bagus, pemberian Krisna setelah suaminya tahu dia tidak mungkin lagi memakai ukuran S. Gara-gara itu juga, dia merasa ingin menyembunyikan diri di toilet saja bila Krisna meninggalkannya lagi seperti saat ini. Dia berusaha maklum, tetapi siapa bisa mengusir pria genit di sebelahnya yang tanpa malu terus mengoceh?
“Aku nggak diperlukan buat foto-foto begitu. Lagian mending di sini, nemenin kamu yang sendirian.”
Fadli menoleh ke arah Daisy dan wanita berjilbab itu mengucap amit-amit di dalam hati. Sepertinya pria di sebelahnya itu perlu rukiyah. kehadirannya benar-benar membuat Daisy tidak nyaman. Karena itulah dia kemudian memutuskan untuk bergerak maju ke arah panggung.
“Nah, suami saya kayaknya sudah selesai. Permisi.”
Tanpa ragu, Daisy mempercepat langkah mengabaikan Fadli yang memanggil namanya karena merasa pembicaraan mereka belum selesai. Daisy sendiri bersyukur dengan kondisi sekitar yang dipenuhi tamu yang berdiri sehingga dia tidak perlu merasa takut dikejar walau sebenarnya dia tahu, dari belakang Fadli tetap menyusul sekali pun kehadirannya dianggap angin lalu saja oleh istri sahabatnya itu.
“Nggak usah jual mahal, lah.”
Daisy memejamkan mata karena dia tahu kata-kata Fadli barusan ditujukan kepadanya walau pria itu tidak bicara dengan suara besar. Tapi, kenapa juga dia mesti peduli? Bukankah it takes two to tango alias jika diladeni, Fadli bakal merasa berada di atas angin dan mengira Daisy membalasnya karena naksir juga?
Untung saja, Krisna segera turun dan menyambut tangan istrinya yang terasa sedingin es. Dia langsung tanggap dan hendak merangsek ke arah Fadli tetapi Daisy menahan, “Jangan, Mas. Banyak orang. Kita pulang aja.”
"Dia kurang ajar sama kamu?" Krisna bertanya. Dia memastikan tubuh istrinya baik-baik saja dan usapan lembut yang suaminya beri di puncak kepala serta di punggungnya membuat Daisy menggeleng.
"Pulang aja, yuk. Mas jangan buat keributan di sini."
Krisna mengedarkan pandang mencari sosok Fadli yang sejak dirinya berada di atas panggung seolah cari kesempatan mendekati Daisy. Karena itu juga, dia tidak bisa melanjutkan basa-basi dan memilih cepat-cepat menghampiri istrinya.
"Bukan buat keributan, tapi memperingatkan dia supaya nggak macam-macam."
Fadli sialan itu menghilang amat cepat seperti belut, pikir Krisna geram. Diraihnya tangan kanan Daisy yang masih dingin, lalu dengan pelan diajaknya sang nyonya keluar dari ballroom hotel tempat resepsi diadakan.
"Diapain sama dia, Des?" Krisna bertanya lagi sewaktu mereka berhasil keluar dari ruang resepsi. Di bagian depan ada beberapa pasang tamu. Mereka sedang sibuk berfoto pada sebuah booth yang didesain khusus agar tamu yang datang dapat mengabadikan momen mereka. Di bagian penerima tamu, masih ada tamu yang baru datang. Daisy sebenarnya merasa tidak enak meninggalkan pesta seperti ini. Tetapi, Krisna sudah begitu protektif kepadanya dan saat ini dia seperti melihat pria yang sama yang pernah amat marah kepadanya di awal pernikahan mereka dulu. Hanya saja, kali ini Krisna amat berang kepada Fadli, bukan istrinya.
"Kamu telepon siapa?" tanya Daisy bingung ketika beberapa meter kemudian dia melihat Krisna meraih ponsel dan mulai menelepon seseorang. Wajah tegang tidak lepas dari raut wajahnya. Bahkan, tangan mereka masih bertaut sejak tadi.
"Lo di mana sekarang?"
Daisy masih menebak-nebak siapa lawan bicara Krisna begitu dia sadar, suaminya telah melepaskan tautan tangan mereka dan berlari secepat kilat ke arah kanan mereka. Kejadiannya berlangsung amat cepat dan Daisy hanya mampu mengucap istighfar. Tetapi, tidak hanya dia. Beberapa tamu perempuan serta pihak keamanan dan WO hotel segera siap siaga begitu terdengar suara teriakan dan suara pukulan yang letaknya tidak jauh dari mereka.
"Mas." Daisy menutup mulutnya dengan tangan kiri, dia berusaha berjalan sementara di depannya, dua orang pria berjas menahan kedua lengan suaminya yang kini menendang tulang kering Fadli yang terbungkuk menahan nyeri.
"Nggak ada otak lo, bener-bener!" sembur Krisna marah. Dia bahkan tidak peduli sama sekali dengan dua pria bertubuh besar yang kini menahan tubuhnya. Fadli sendiri, setelah memegangi perut dan bibirnya yang nampak pecah, malah tersenyum seolah dia tidak keberatan mendapat satu atau dua pukulan lagi.
"Lo yang gila. Cuma karena perempuan, persahabatan kita jadi hancur."
Krisna tampaknya masih ingin meninju batang hidung Fadli tetapi gerakannya tertahan karena salah seorang keamanan memperingatkannya, "Tolong jangan buat keributan di sini, kami bisa menghubungi pihak berwajib."
Daisy sendiri sudah panik dan tidak bisa menahan diri untuk tidak menangis. Krisna tidak pernah semarah itu dan hal tersebut semakin membuatnya gemetar.
"Mas, tolong."
Suara Daisylah yang membuat Krisna lantas menghela napas dan berusaha menguasai diri.
"Lo yang gila, nggak ada otak." Krisna membalas tepat setelah dia meyakinkan diri tidak akan menendang Fadli kembali. Lagipula, beberapa tamu mulai menggunakan ponsel mereka untuk menyorot dan bagi Krisna hal tersebut merupakan pertanda kalau dia mesti pergi meninggalkan tempat tersebut.
"Awas kalau lo dekat-dekat Desi lagi. Gue nggak segan laporin lo ke polisi." Krisna memperingatkan sebelum akhirnya dia benar-benar membawa Daisy pergi. Ketika akhirnya mereka berdua berada di mobil, Daisy tidak bisa menghentikan air matanya dan dia baru bisa diam saat Krisna memeluknya erat.
"Sudah. Sudah. Nggak apa-apa."
"Aku takut kamu ditangkap polisi gara-gara tadi." Daisy berusaha bicara di sela-sela isak tangis. Buku jari Krisna terluka. Tampaknya alih-alih menonjok bibir Fadli, tangannya sudah lebih dulu mampir ke gigi mantan sahabatnya itu. Untung saja gigi Fadli tidak rontok, atau kalau rontok juga, Daisy tidak peduli. Dia sudah mengelap luka di tangan suaminya dengan tisu basah. Tetapi, ketika menganjurkan suaminya untuk ke klinik, Krisna menolak.
"Sebelum itu, dia duluan yang bakal kukirim ke penjara. Enak aja goda biniku." balas Krisna sewaktu dia mengusap air mata Daisy dengan sudut telunjuk kanannya.
"Tapi, gara-gara itu kamu jadi malu."
Krisna menggeleng. Jika dia tidak melakukannya, maka harga dirinya sebagai seorang suami yang patut dipertanyakan. Dia sudah seharusnya membela Daisy.
"Nggaklah. Bahkan kalau Gendhis lihat, dia bakal memuji aku baru saja melakukan tindakan keren. Benar, kan?"
Daisy tidak protes. Dia tahu benar seperti apa sikap adik iparnya tersebut.
"Tapi, tetap aja, tindakan kamu tadi salah. Aku masih gemetar kalau ingat tadi kamu bikin dia jatuh dengan satu kali pukulan."
"Mau gimana lagi? Dia berani goda istriku dan aku cemburu bukan main … "
Daisy menjauhkan tubuhnya yang masih berada dalam pelukan Krisna. Pipinya tiba-tiba saja terasa hangat dan dia berusaha memalingkan wajah.
"Pasti nggak percaya, kan?" tanya Krisna sambil mengurai sebuah senyum tipis. Tangan kirinya masih berada di pinggang Daisy dan istrinya kini bersikap amat aneh padahal beberapa detik lalu dia masih terisak-isak di dadanya.
"Nggak." Daisy membalas pendek. Dia tidak menoleh lagi dan memutuskan untuk memandangi jendela di samping kirinya daripada meladeni Krisna yang entah kenapa jadi semangat menggoda.
"Tapi, serius. Aku nggak pernah semarah ini sama Fadli dan yang dia lakukan memang sudah kelewatan."
Daisy setuju dengan perkataan suaminya, tetapi dia tidak membenarkan perbuatan Krisna yang main hakim sendiri. Entah kenapa, kalimat yang pernah diucapkan Fadli berbulan-bulan lalu membuatnya teringat kembali dan gara-gara itu, dia malah merasa bimbang.
"Des, Krisna itu nggak sebaik yang kamu lihat sekarang. Dia kalau sedang jahat, bahkan bisa menyingkirkan orang semudah menepuk kedua tangan. Aku cuma memperingatkan… "
Huh, dia tahu kalau Krisna tidak seperti itu dan menilai dari kata-katanya, Fadli licik itu sepertinya sedang merencanakan sesuatu, Daisy yakin, mereka berdua harus lebih waspada dibandingkan dengan saat ini.
"Tenang aja. Kalau ada apa-apa, aku adalah orang nomor satu yang bakal melindungi kamu."
Daisy menoleh kepada suaminya yang kini sudah menyalakan mobil. Dia mengangguk dan berusaha tersenyum. Apa pun itu, dia harap, ini terakhir kalinya Fadli bersikap sinting.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top