65 66
Dua bab. Gaes, kalo males komen, ini bakal jadi bab terakhir, ya. Viewsnya banyak, tapi komen seiprit. Siap2 juga, kalo ga eke up lagi, mungkin eke langsung hapus 90 persennya.
Yang baru baca, ini cerita udah tamat, dah jadi buku, jadi eke tinggal ambil comot aja bab-babnya dari platform sebelah buat posting di sini. Tapi, yah, kalo pada males, eke pun males.
Kayak, kalian aja males ngetik komen, apalagi eke, males juga ngetik.🤣 jangan paksa, yes. Kalo eke ga muncul2, yey tahu mo ke mana.
Konflik bab 70an. Tamat bab 88, ada epilog sama extra segala macam ada di karyakarsa dan KBM app, akunku eriskahelmi atau cari aja madu in training.
***
65 Madu in Training
Daisy harus meyakinkan Krisna hingga beberapa kali demi meyakinkan dia baik-baik saja. Kejutan yang dia rasakan tadi merupakan hal yang baru dan saking kagetnya, Daisy tidak sengaja menumpahkan piring berisi nasi ke lantai. Gara-gara itu juga dia jadi panik dan buru-buru mengambil sebuah kantong kresek dari lemari kabinet bawah bak cuci piring dan tanpa ragu memunguti pecahan beling meski Krisna yang segera mendekat meyakinkan kalau dia tidak perlu melakukannya.
"Nanti keinjak. Aku takut kamu ngamuk."
Daisy begitu ketakutan hingga matanya berubah merah sedang Krisna sendiri tidak memikirkan hal tersebut sama sekali. Tetapi, begitu dia meminta istrinya untuk duduk, Daisy menggeleng dan dengan tangan gemetar, dia meraih satu demi satu pecahan beling hingga tangan kanan Krisna menahan lengan kirinya.
“Desi.”
“Ini barang Mbak Tika. Aku nggak mau gara-gara ini kamu cerain aku …” Daisy mencoba mengerjap. Entah kenapa air matanya malah turun. Aneh sekali. Padahal sebelum ini dia merasa masa bodoh. Lagi pula, seharusnya dia lebih memikirkan kejutan yang baru terjadi tadi, tetapi fokusnya saat ini malah tentang piring milik Kartika. Otaknya pasti sedang bergeser.
Anehnya, Krisna malah mengucap istighfar dan memeluk tubuh Daisy yang tampak gemetar.
“Aku lebih mengkhawatirkan keadaan kamu, kamu malah mikir yang aneh-aneh. Ngapain aku mesti marah?"
Daisy tidak tahu mesti menjawab apa. Ketika Krisna melepaskan pelukan mereka, tangannya sendiri sudah berada ke atas perut. Daisy mengusap permukaan tersebut selama beberapa saat dan Krisna yang mendapatinya juga melakukan hal yang sama. Perut istrinya nampak kencang dan mau tidak mau dia makin khawatir.
"Ini punya Mbak Tika. Aku jaga banget supaya nggak rusak."
Daisy berusaha tersenyum. Pipinya basah dan Krisna merasa amat bersalah. Diraihnya tangan Daisy yang memegang pecahan beling lalu setelah memastikan beling tadi sudah masuk ke kantong kresek, pria itu membimbingnya duduk ke kursi makan.
"Perutmu sakit?"
Daisy yang terlalu panik memikirkan soal piring milik Kartika baru sadar bahwa saat ini Krisna sedang memperhatikan dirinya dan begitu juga dengan keadaan perutnya. Karena itu, sekali lagi dia menyentuh permukaan gundukan tersebut lalu menggeleng.
"Nggak. Nggak sakit. Tapi, tadi kayak ada sesuatu yang melayang-layang, terasa bergoyang tapi gimana jelasinnya, ya?"
Daisy merasa bingung sendiri. Dia juga baru pertama kali merasakan hal ini. Tapi, beberapa waktu lalu Gendhis sudah memberi tahu bahwa tidak lama lagi dia bakal merasakan gerakan-gerakan samar. Entah siapa yang melakukannya, apakah si kembar pertama atau yang kedua. Daisy belum memberi mereka nama panggilan.
"Gerak? Si Kakak atau Adik?"
Kakak dan Adik? Daisy mengangkat kepala dan menoleh kepada suaminya. Sejak kapan Krisna memberi panggilan tersebut? Ini pertama kali Daisy mendengar suaminya mengatakan demikian dan dia merasa amat terharu.
Mbak, lihat suami kamu. Dia nggak marah aku pecahin piringmu tadi, malah, dia tahu-tahu manggil Kakak dan Adik ke anak-anak kami.
"Nggak tahu. Belum bisa bedain yang mana mereka." Daisy menjawab jujur. Selama ini dia hanya berkomunikasi dalam hati saja. Tetapi, seperti kata-katanya tadi, dia belum memiliki nama panggilan untuk kedua janin itu. Daisy hanya memanggil mereka anak-anakku. Kini, memandangi Krisna yang tampak penasaran, bahkan membubuhkan ciuman di puncak perutnya membuatnya ingin menangis lagi.
"Kamu belum makan, Mas. Desi bersihin dulu beling di bawah, habis itu ambilin nasi."
Daisy sudah ingin bangkit dari kursi makan, tetapi Krisna masih menahan dan bicara, “Nanti dulu. Aku mau bicara sama mereka, cari tahu siapa yang menggoda umminya.”
Ummi, Daisy berusaha tersenyum. Krisna beberapa kali melabeli dirinya dengan Ummi sejak mendengar Jelita memanggil pengasuh cantik tersebut dengan panggilan sama, Krisna juga melakukan hal itu kepadanya. Tetapi, dia sendiri tidak mau dipanggil Abi. Krisna bilang, dia tidak sealim itu. Lagipula, panggilan Abi membuatnya teringat Syauqi dan membayangkan dia mendapat panggilan yang sama membuatnya amat risih.
“Memangnya pernah ngobrol?” Daisy bertanya sambil menghapus air matanya yang masih menetes di pipi. Selama ini, Krisna masih terlihat cukup gengsi dan dia hanya sesekali saja memberikan usapan di perut istrinya. Namun, saat tidur, tangan suaminya tidak pernah lepas lagi dari perut Daisy dan dia tahu tentang itu.
“Loh, kenapa emaknya malah kepo kapan aku ngobrol sama anak-anakku?”
Sudah beberapa minggu dia tidak mendengar bibir judes Krisna bicara seperti itu kepadanya. Tapi, daripada marah, kata-kata barusan seperti menggoda Daisy untuk memancing Krisna bicara lagi. Entah kenapa dia amat suka ketika pria itu menyebut anak-anakku untuk dua janin di dalam rahimnya.
“Seingatku kalian nggak pernah …”
“Ya, pas aku mampir kalau kamu minta kelon. Pas abis tahajud, waktu emaknya ngorok sampai ngiler, aduh… “
krisna berhenti bicara karena Daisy mencubit pipinya. Kapan dia minta kelon pria itu? Yang ada malah Krisna yang makin terobsesi untuk bercocok tanam setiap ada kesempatan. Lalu yang kedua, Daisy hampir selalu terjaga setiap dini hari dan walau dia sering mendapati Krisna salat tahajud, terutama sejak mereka tidur di kamar utama, tetap saja dia masih sempat memandangi suaminya sebelum akhirnya kalah oleh rasa kantuk.
Okelah, mungkin dia benar tertidur. Tetapi, Krisna sudah dua kali mengatainya tidur sambil mengiler. Yang pertama saat di hotel, bibirnya memang basah. Hanya saja itu gara-gara Krisna yang mencium bibirnya dan mengatakan kalau Daisy ngiler. Sementara yang satunya, dia bahkan tidak ingat. Cuma, Daisy, kan, jadi penasaran karena selama ini dia tahu di awal-awal kehamilan, Krisna masih belum menerima keberadaan si kembar.
“Kapan Desi minta kelon?” Daisy bertanya dengan bibir maju. Meski begitu, tangan Krisna masih berada di perutnya dan pria itu terkekeh dengan wajah terlihat amat senang.
“Nggak ingat? Lagi, Mas. Iya, di situ…” Krisna berhenti bicara karena lagi-lagi Daisy mencubit pipinya. Dia baru menghentikan gerakannya karena sang suami lagi-lagi menempelkan bibir ke permukaan perut buncitnya dengan penuh kasih sayang.
Astaga, Daisy mengucap istighfar. Semakin mereka akrab semakin aneh obrolan mereka berdua. Daisy sangsi Krisna pernah melakukan hal ini bersama Kartika. Tetapi, mengingat mesranya mereka melebihi hubungan dirinya dengan pria itu, Daisy kemudian meragukan semuanya. Sudah pasti adegan romantis antara Krisna dan Kartika lebih indah dari kisahnya dan dia sendiri tidak berniat merusak kebahagiaan pria itu dengan membahasnya kembali.
“Aku mau ambil nasi lagi.” Daisy berusaha berdiri. Jika didiamkan, mereka akan menghabiskan banyak waktu ngalor-ngidul dan mereka bakal mendapat antrian ujung.
“Yah, Papa disuruh Ummi makan. Nanti ngobrol lagi, ya.” Krisna menyampaikan selamat tinggal kepada kedua janin di dalam perut Daisy. Saat bangkit Krisna menahan Daisy berdiri, “Nanti dulu. Aku sapu belingnya. Kamu duduk dulu.”
Kalimat tadi lebih berupa perintah daripada pernyataan sehingga Daisy yang sadar betul seperti apa perangai suaminya memutuskan untuk duduk selama beberapa saat dan memperhatikan Krisna mengambil alih tugas mengambil pecahan piring serta nasi yang berceceran di lantai.
“Desi aja, Mas. Nggak enak.” Daisy bangkit atas inisiatifnya sendiri karena dia membayangkan wajah Bunda Hanum berdiri menunjuk-nunjuk dan mengatai dirinya bini tidak becus karena membiarkan suaminya melakukan hal tersebut. Dia yang tidak ingin mendapatkan hardikan lagi kemudian berdiri dan berusaha mengambil sapu di dekat meja makan karena di saat yang sama, Krisna sedang berjongkok memunguti beling.
“Nggak usah. Duduk aja, Des.”
Krisna sekali lagi memperingatkan Daisy agar istrinya tetap duduk di kursi dan Daisy yang tidak bisa berbuat apa-apa lagi pada akhirnya hanya mampu duduk dan memandangi Krisna yang anehnya tidak memiliki kesulitan menggunakan sapu dan pengki. Dia bahkan menggunakan vacuum cleaner untuk memastikan tidak ada lagi serpihan beling. Meski begitu, setelah sepuluh menit bersih-bersih, pada akhirnya dia sendiri yang mengambil nasi dan duduk di sebelah Daisy yang memandanginya dengan bibir maju.
“Harusnya tadi aku yang ambil nasi biar sekalian manasin lauk.”
Sudah pasti lauk di hadapan mereka saat ini menjadi dingin. Karenanya Daisy jadi tidak enak hati. Tapi, Krisna dengan enteng mengusap rambut istrinya, “Udah. katanya tadi nyuruh cepat ke dokter? Kamu juga makan.”
Sebenarnya, sejak kedatangan Bunda Hanum tadi, nafsu makan Daisy telah menguap entah ke mana. Belum lagi insiden piring pecah barusan. Dia tidak hendak makan, tetapi rupanya Krisna telah membawa dua piring nasi untuk mereka nikmati bersama dan dia tidak bisa menolak lagi ketika suaminya mulai bicara, “Kamu sendiri, kan, yang janji sama aku buat jaga mereka? Mulai dengan makan dengan baik. Aku bakal marah kalau kamu nggak memenuhi janjimu.
Dia mati kutu dan tidak bisa berbuat apa-apa ketika Krisna mulai menuangkan secentong sayur sup ayam ke piring nasinya dan menambahkan sambal udang tumis dengan petai yang sebelum ini berhasil membuat suaminya minta dibuatkan lagi hingga detik ini Daisy masih tidak bisa mempercayai keberuntungannya.
"Bunda tadi ngapain aja?" Krisna mulai bicara lagi setelah mereka saling diam selama beberapa menit. Daisy yang hanya mengaduk-ngaduk nasi, akhirnya mengangkat kepala.
"Bunda? Ah, nggak. Biasa aja. Cuma kangen kamu."
Wajah Daisy jelas-jelas berbohong. Jika Bunda Hanum merindukannya, maka wanita itu bakal memeluk dan menciumi putranya tanpa ragu. Tetapi tadi, setelah melihat Krisna, dia malah kabur seolah-olah dikejar maling. Bahkan, diajak untuk melihat USG saja menolak. Krisna merasa tidak enak kepada Daisy, tetapi wanita itu menganggap santai absennya sang mertua bukan menjadi masalah. Dia merasa senang Bunda Hanum tidak ikut. Batinnya agak kurang siap setiap mendengar kalimat yang keluar dari bibir mertuanya dan tidak mungkin dia berbalas kata dengan wanita paruh baya tersebut entah di depan Krisna atau malah, di depan dokter kandungannya.
"Yang benar? Kamu nggak diocehin?"
Wajah Krisna tampak menyelidik dan Daisy merasa dia seolah sedang diinterogasi oleh polisi padahal kenyataannya, si judes Krisna Jatu Janardana alias sang suami sedang memasang raut khawatir. Krisna tahu betul sikap ibu kandungnya tersebut dan dalam pertemuannya yang terakhir di rumah wanita itu, dia tidak mau berlama-lama meninggalkan Daisy sendiri. Minimal harus ada Gendhis tetapi, adiknya saat ini sedang sibuk.
"Nggak. Bunda kayak biasa."
Daisy melirik ke langit-langit rumah demi menghindari tatapan menyelidik suaminya. Tapi, Krisna tidak semudah itu menyerah.
"Desi, jangan coba bohong. Tadi Bunda buru-buru banget. Nggak biasanya beliau mampir tanpa ada aku di rumah."
Andai saja Krisna tahu, berapa kali sudah Bunda Hanum datang dengan motif pura-pura mencari putranya dan selalu berujung pergi begitu mendapat uang. Tetapi, Daisy tidak segila itu mengumbar sifat ibu mertuanya walau dalam hati dia ingin sekali. Di dalam perutnya ada dua janin yang harus dia jaga mati-matian sementara Krisna amat sensitif bila menyangkut ibu kandungnya sendiri. Lagipula, amat mudah memecahkan masalah mertuanya, tidak perlu banyak strategi melainkan dengan bersatunya Bung Karno dan Bung Hatta dalam lembaran kertas merah. Hal tersebut amat cukup membuat mertuanya seperti vampir cina yang dimantrai dengan jimat.
"Udah sering mampir juga. Kangen sama cucunya."
Entah Daisy bicara jujur atau dia sedang sarkasme, Krisna tahu, bundanya tidak sekangen itu dengan calon cucu kembarnya. Bukti nyata yang dia dapat tadi sudah amat jelas, keluarga Jenderal yang amat dibangga-banggakan oleh sang ibu nampaknya jauh lebih penting.
"Kadang aku merasa Bunda pilih kasih banget." Krisna menyentuh lengan kiri Daisy. Dia sudah selesai makan sehingga memutuskan untuk bicara kepada istrinya. Daisy sendiri terlihat biasa saja meski ucapan Krisna tadi membuatnya sempat kaget selama beberapa detik. Kapan Krisna menyadari bahwa sikap ibunya seperti itu? Dia kira selama ini suaminya mendiamkan saja Bunda Hanum terus merundungnya.
"Nggaklah, Mas. Orang kayak Desi seharusnya bersyukur ada kamu yang mau menerima. Bunda bilang, aku harus berterima kasih kepadamu juga Mbak Tika yang sudi memungut … "
Daisy diam karena bibir suaminya sempat maju sebelum dia sempat menyelesaikan kalimatnya. Karena itu juga, dia merasa sudah kenyang dan memutuskan untuk membereskan makan siang yang kelewat sore mereka saat itu.
"Setelah Tika, kamu adalah satu-satunya wanita yang aku mau menemani sisa hidupku sampai akhir nanti. Jangan sampai ucapan Bunda buat kamu tertekan dan tolong dengarkan ini, bukan karena asal-usul kamu, bukan karena kamu dibesarkan di panti lantas kamu boleh diam saat Bunda bicara seperti itu."
Krisna bicara panjang lebar dan Daisy hanya menanggapi suaminya dengan sebaris senyum. Kenapa pria itu begitu cepat berubah jadi semanis ini? Dia masih saja belum percaya bahwa dia adalah orang yang sama dengan pria yang selalu menganggapnya sebagai peniru Kartika. Daisy tentu juga telah berusaha membela dirinya di depan Bunda Hanum dan dia juga telah mengatakan hal tersebut kepada Krisna.
"Udah, kok. Udah Desi bilang. Kalau bisa, Desi nggak mau lahir tanpa orang tua atau dibuang begitu saja di depan pintu panti. Tapi, nasib kita nggak bisa pilih kayak beli baju di supermarket. Lagipula, aku termasuk orang yang cukup beruntung, ada pria yang mau menerima jadi suami." Daisy berusaha melebarkan senyum tetapi, dia cepat-cepat menutup bibirnya karena yakin, saat makan tadi ada potongan daun sop yang menyelip di sela-sela gigi.
Daisy tahu, jika didiamkan, Krisna bakal meladeni ucapannya termasuk mengoreksi dan meminta maaf kembali tentang sikap buruknya di awal pernikahan mereka. Rasanya seperti mendengar kaset rusak yang diputar berulang-ulang meski hingga detik ini dia masih sangat penasaran dengan sikap Krisna yang berubah amat drastis.
"Kamu mau mandi dulu, Mas? Atau kita langsung berangkat?" Daisy pada akhirnya bicara. Dia sudah hendak mengangkat piring ke dapur tetapi Krisna menggeleng dan dia sendiri berinisiatif mengambil alih pekerjaan istrinya saat itu.
"Langsung aja. Siapa tahu pulangnya cepat."
Krisna juga tidak mengizinkan Daisy mencuci piring dan dia meminta istrinya untuk segera berkemas selagi dia mencuci wajahnya di kamar mandi selama beberapa saat. Ketika keluar, Daisy sudah menunggu di ruang tamu dan dia segera berdiri begitu melihat suaminya berjalan ke arahnya.
"Nggak ada yang tinggal? Kartu berobat?"
Daisy menunjukkan sebuah kartu anggota klinik ibu dan hamil bertuliskan namanya dan nomor pasien di bagian bawah kartu dan hal tersebut membuat Krisna berdeham beberapa kali sebelum akhirnya dia memberikan lengan kanannya agar bisa digunakan sebagai tumpuan sang istri ketika mereka berjalan ke luar rumah.
"Temenin Desi ke ATM Bank Daerah dulu, ya. Ambil uang."
Krisna merasa agak aneh karena jarang sekali Daisy melakukan hal tersebut. Selama ini, Krisna selalu menyiapkan uang cash untuk keperluan sehari-hari dan rekeningnya tidak ada yang menggunakan bank daerah, termasuk ATM yang sengaja dia tinggal untuk istrinya.
"Loh, kenapa? Uang belanja habis?"
Daisy menggeleng. Krisna sudah selesai mengunci pintu dan mereka sedang menuruni tangga. Mobil milik Krisna terparkir di luar rumah karena tadi mobil Bunda Hanum menghalangi jalan masuk.
"Nggak. Mau ngecek gaji."
Daisy tahu, wajah Krisna tampak curiga. Tetapi, mau bagaimana lagi. Daisy lupa menyisakan beberapa lembar uang di dompetnya gara-gara Bunda Hanum tadi dan mustahil dia ke mana-mana tanpa uang. Dia tidak pernah berganti rekening sejak dulu. Bank daerah adalah bank terdekat dari panti dan dia yang pemalas akhirnya menjadi nasabah setia bank tersebut.
"Gajian, kok, tanggal enam belas?" Krisna mengerutkan dahi, "Duit dari lakimu kurang?"
Dasar kepo, pikir Daisy. Sepertinya Krisna lupa kalau Daisy masih malas makan uang pemberiannya dan dia merasa lebih berharga makan uang gajinya sendiri, walau kadang, tidak bisa menolak pemberian suaminya saat mereka berbelanja bersama. Ada bagian di dalam diri wanita tersebut yang merasa enggan mengemis uang Krisna apalagi kata-kata Bunda Hanum seolah menusuk jantungnya, bahwa anaknya seolah-olah melupakan sang ibu karena menikah dengannya.
"Gajian dari Google tanggal segitu. Biarpun nggak banyak, sekali-sekali mau jajan pakai duit sendiri."
"Google?" Krisna bertanya, "Pakai dollar?"
Daisy menggeleng dan bicara lagi, "Rupiah, kok."
Daisy sebenarnya malu membahas hal tersebut. Gaji bulanannya yang itu tidak terlalu besar. Paling banter satu juta tiga ratus ribu alias seratus dolar. Dia menulis beberapa artikel dan menerbitkannya juga sebagai buku digital. Tentu saja dengan nama pena. Dia belum mau identitasnya ketahuan suami atau juga mertuanya. Kalau Gendhis, dia sudah mengetahuinya sejak dulu dan bagusnya gadis itu, dia tidak mau koar-koar tentang Daisy kepada semua orang. Daisy sudah mengatakan kepadanya kalau dirinya di dunia maya dan dunia nyata benar-benar berbeda.
"Wah, bisa traktir aku, dong." Krisna nyengir, pura-pura amat tertarik dan berharap bisa ditraktir oleh Daisy yang kemudian mengangguk, "Bisa, dong. Emangnya kamu doang yang punya duit?"
Daisy meneliti perubahan raut wajah Krisna dan dia bersyukur suaminya tidak marah ketika dia bicara seperti itu. Uang kadang menjadi topik sensitif dan tidak satu atau dua kali mereka bertengkar. Lebih tepatnya, Krisna yang menuduh Daisy menikmati uang pemberian Kartika untuk dirinya sendiri. Tetapi, setelah menyaksikan istrinya sibuk menulis hingga dini hari, membaca begitu banyak buku dan sumber belajar di dunia maya, dia tahu telah salah menuduh.
Daisy sendiri masih belum banyak bicara kecuali bila suaminya bertanya. Lagipula, dia tetap butuh dana selain untuk tabungan di masa depan, Bunda Hanum yang sepertinya terus kekurangan uang membuatnya terus menulis. Dia tidak ingin dianggap sebagai benalu bahkan sebagai wanita yang cuma sanggup menghabiskan uang saja. Daisy, walau tidak sehebat Kartika, tetap mampu mencari pundi-pundi rupiah dengan segenap tenaga yang dia punya dan dia juga mencemaskan nasib anak-anaknya kelak bila nanti mereka lahir.
Walau Mas Krisna bilang dia nggak akan ninggalin kami, aku tetap harus nabung. Punya mertua kayak Bunda bukan jaminan aku bakal disayang selamanya.
"Iya, percaya. Biniku wanita hebat. Jadi traktir apa nanti? Pizza? Burger? Spaghetti?" Krisna memberi daftar sewaktu mereka sudah duduk di bangku masing-masing.
"Bubur kacang ijo aja, Mas. Sama es selendang mayang. Kepingin banget." Daisy memejamkan mata, membayangkan beberapa saat nanti dia bisa menikmati kudapan tersebut. Tetapi, sekejap kemudian dia membuka mata dan menyentuh lengan suaminya, "Mau tongseng juga kalau boleh."
Padahal tadi dia masak dan menu yang dia buat rasanya amat enak, pikir Krisna. Tetapi, dia melihat kalau Daisy tidak terlalu lahap saat mereka makan tadi. Karena itu, Krisna mengangguk.
"Iya. Tapi, nggak usah pakai sate kambingnya." Krisna memperingatkan dan disambut Daisy dengan sebuah anggukan.
Sebelum Krisna sempat menginjak gas, ponselnya berdering tanda ada satu pesan masuk dan dari nadanya, Krisna tahu sang pengirim adalah Fadli, sahabatnya.
"Tunggu bentar. Fadli WA."
Daisy tidak keberatan saat Krisna membaca pesan tersebut. Tetapi, sedetik kemudian, setelah menghapus pesan kiriman Fadli, pria itu tampak melempar ponselnya ke wadah permen dan mulai menjalankan mobil dengan wajah tegang, sementara Daisy menyentuh lengan sang suami dan bertanya dengan sikap waspada.
"Kenapa, Mas?"
Krisna menggeleng, matanya tidak lepas menatap jalan dan sesekali dia memandangi spion, dengan menahan gemeletuk.
Sial. Fadli sinting itu ngapain, sih?
Boy, ngp lo ngilang td?
Si Nilam nyari-nyari lo ke kantor.
Lo slingkuh ma dia?
Desi mo lo kemanain? Ksh gw aja👍
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top