61

Eke mo ngetik extra part 3 tapi mager. Wkwkw. Siapa udah baca sampai extra part 2? Doain tahun baru udah PO, yes. Wkwkw. Bedanya apa sama versi KK dan KBM? Ya, yang atu kertas, yang atu dari HP. Tambahan bab bakal nambah lagi di KK/KBM ga? Iya doain aja. Kalo kaga, sepesial hanya di buku. Wakaka.

Bukunya bisa-bisa setebel yaya-malik, yes. Tapi, eke dah trauma buku2 tebel gitu. Jadi mo eke jadiin dua aja. Buku 1 dan 2. Ini covernya sama😂 eke bedain supaya kalian ga ketuker ama nanya apa bedanya buku satu ama buku 2. Cape deh.

Yang satu suram. Taulah sendiri kenapa.

Buku dua sok centil tahulah sendiri kenapa, kebanyakan disetrum ama Mas Nana. Betewe keramean ga sih kembang di cover dua? Eh, ada sop iler sinopsis di buku 2. Hahahahhahahahahahahhah.

Dedes jadian ama Fadli? Ya iyalah. Emangnya dia tahan punya laki kek Nana? Sesuai permintaan netizen jugak.

***

61 Madu in Training

Walau di dalam hati dia merasa amat kesal karena Krisna masih saja menganggapnya sebagai Kartika, Daisy pada akhirnya tidak bisa membiarkan pria gagal move on tersebut kelaparan hingga waktu tidur mereka tiba. Segera setelah mandi, berganti pakaian, dan menunaikan salat Isya, Daisy keluar dari kamar dan segera menuju dapur. Akan tetapi, begitu melewati ruang tengah, dia amat terkejut karena melihat Krisna masih duduk termenung memandangi jari-jari tangannya. Kepala pria tampan itu tertunduk dan dia diam tanpa suara.

Dia bahkan masih memakai pakaian yang sama dengan sebelumnya dan bagi Daisy ini adalah pertanda kalau Krisna belum juga beranjak dari tempat itu sejak tadi.

“Mas. Kamu nggak mandi?” Daisy mendekat dan dia menyentuh lengan kiri suaminya. Ketika Krisna mengangkat kepala, pria itu menggeleng.

“Sudah hampir jam setengah sembilan, lho.” Daisy melirik ke arah jam di seberang mereka, dekat pigura foto berisikan gambar Kartika dan Krisna sedang berpelukan dengan mesra.

Krisna hanya mengangguk-angguk. Tidak ada kalimat yang keluar dari bibirnya, membuat Daisy sedikit cemas. Ketika berusaha mengusap puncak kepala Krisna, pria itu mendekap perutnya dan menyandarkan kepala di antara perut dan dada Daisy. Terdengar keluhan napas dan Daisy yang tadinya masih merajuk, tidak bisa lagi melanjutkan kemarahannya.

"Mandi dulu."

Daripada membalas dengan kata-kata, Krisna malah semakin mempererat pelukannya. Beberapa detik kemudian, Daisy malah mendengar sebuah isak tertahan yang membuat perasaannya jadi tidak karuan.

"Mas? Kamu nangis?"

Masih tidak ada jawaban, tetapi pada saat yang sama, dia bisa melihat bahu suaminya naik turun. Tidak pernah dia melihat Krisna seperti itu sebelumnya. Krisna yang dia kenal adalah seorang pemarah, bukan melankolis yang memeluk tubuhnya sambil terisak-isak. 

Apa yang telah terjadi?

"Aku takut kamu bakal pergi menyusul Tika."

Apa?

Apakah telinganya baru saja salah dengar? Lagi-lagi nama Kartika disebutkan. Tetapi, Daisy menangkap hal yang aneh, sesuatu yang sepertinya bukan khas seorang Krisna Jatu Janardana. Dia mengenal suaminya sebagai pria yang lumayan keras, tidak pedulian kepada dirinya sendiri. Tahu-tahu saja dia mendengar Krisna mengatakan kalau dia takut Daisy bakal menyusul Kartika. Apakah maksudnya Krisna takut kalau Daisy meninggal?

"Desi nggak ke mana-mana." Daisy berusaha tersenyum. Entah ke mana kekesalannya tadi. Tapi, dia yakin, separuhnya menguap karena mendengar pernyataan barusan. 

"Aku tahu. Cuma, aku takut." Krisna mengangkat kepala. Matanya merah dan wajahnya basah. Daisy hampir tidak pernah melihat suaminya jadi seperti ini sebelumnya.

"Tapi, kalaupun mati, orang-orang bilang Desi bakal syahid."

Krisna mengucap istighfar dan menggeleng berkali-kali. Meski begitu, tanpa rasa berdosa, Daisy bicara lagi, "Aku nggak percaya yang sekarang aku lihat adalah kamu, Mas. Rasanya Desi melihat sosok lain dari seorang Mas Krisna." 

Daisy berhenti bicara karena pada saat yang sama Krisna berdiri dan kini, posisi tubuhnya jadi jauh lebih tinggi di antara mereka berdua.

"Jadinya nyebelin, kan?" tanya Krisna. Wajahnya masih sama kecut dengan tadi. Tetapi, Daisy memilih menggeleng.

"Ya udah. Udah makin malam. Kamu mandi dulu. Aku siapin makan malam." 

Seharusnya Krisna mengangguk dan memilih menjauh dari Daisy. Tetapi, pria itu malah kembali memeluk istrinya. Kali ini  Krisna menyandarkan kepala di bahu kanan Daisy. Bagi wanita itu, kepala Krisna yang bersandar di bahunya terasa cukup berat. Hanya saja, dia amat menyukai momen ini setelah hampir seharian, sejak kemarin malam, mereka agak perang urat syaraf. 

"Besok aku mau mengurus surat-surat nikah kita. Kamu bantu siapin berkasmu … "

Daisy merasa seolah dia baru menang undian. Bahkan, seketika matanya kembali basah. 

"Nggak usah bercanda, deh. Ada angin apa kamu tiba-tiba berinisiatif seperti itu?"

"Kalau mereka lahir, bukankah bakal butuh semua berkas untuk mengurus akta kelahiran? Aku juga belum sempat mengurus kartu keluarga yang baru. Yang lama masih ada nama Tika."

Krisna sempat terdiam sebentar usai menyebut nama mendiang istrinya, Kartika. Selama ini, dia tampak tidak memikirkan tentang semua itu, tetapi, Daisy bahkan tidak tahu, urusan administrasi untuk menghapuskan nama Kartika dari surat-surat penting, telah membuat Krisna jadi begitu sensitif.

"Ka… kalau kamu berat, jangan dihapus." Daisy berusaha mengusap air matanya. Tetapi, Krisna sudah lebih dulu tanggap dan melakukan hal tersebut untuk istri mudanya yang malam itu mengenakan baby doll warna peach, model yang paling disukainya.

"Nggak bisa. Aku seharusnya urus ini segera setelah dia meninggal. Tapi, aku lebih mentingin diriku sendiri. Kalau nggak diurus, semua kewajiban atas nama dia bakal terus berlanjut. Entah itu asuransi, tagihan, dan lain-lain. Aku bahkan, nggak peduli pada aset-aset yang dia punya." 

Mata mereka berdua merah. Bibir Krisna bahkan bergetar ketika dia berusaha bicara. 

"Walau hampir tiga bulan, rasanya masih berat buatku. Aku tahu kamu terluka karena aku terus menyebut-nyebut dia."

Daisy cepat-cepat memotong omongan Krisna dengan sebuah gelengan. Dia juga mengusap pipi kanan Krisna yang kini basah karena air mata. 

"Nggak apa-apa. Desi berusaha mengerti. Kalian sudah sama-sama sejak lama. Cuma, Desi minta tolong kamu yakin, aku bakal menjaga mereka dengan baik."

Wajah Krisna terlihat seperti habis menelan sebiji bakso bulat-bulat sewaktu mendengar Daisy bicara seperti itu. Bagaimana bisa wanita bertubuh sekecil dia bisa membawa dua bayi di dalam perutnya? Mereka pasti bakal mengoyak-ngoyak perut Daisy daripada tidur dengan nyaman di dalam rahimnya.

“Mas. Perut wanita itu elastis.” Daisy memulai ceramah, “Bayangin punyamu bisa masuk … “ Daisy tiba-tiba saja berhenti bicara dan memilih menoleh ke arah lain karena entah kenapa bibirnya bisa lancang mengucapkan hal seperti itu. Sayangnya, Krisna yang tahu-tahu tertawa, dengan gemas mencuri satu kecupan di bibir istrinya.

“Aku jadi bodoh kalau soal perempuan, terutama kamu.” 

"Bodoh atau sinting?" Daisy menantang, siapa tahu pria di hadapannya ini sadar kalau dulu tingkahnya selalu membuat Daisy mengelus dada.

"Bodoh, sinting, semuanya. Itu juga salahmu karena sudah berani main api denganku."

Apa? Setelah semua perbuatannya selama ini, Krisna masih menyalahkan Daisy? Dia sudah berusaha menjauh, tapi tetap saja takdir menyatukan mereka. 

"Masih salah Desi juga, Mas?"

Ketika Krisna mengangguk, Daisy yakin dia tidak bakalan memasak makan malam untuk suaminya. Tetapi, setelah beberapa detik saling pandang, Krisna kembali bicara, nyaris membuat tubuh wanita itu melorot saking kagetnya.

"Aku berencana membuat sebuah resepsi dan kamu jadi ratunya. Tapi, mungkin cuma bisa satu hari."

Dia kenapa, sih? Dari tadi ucapannya selalu mengejutkan Daisy. Mulai dari permintaan tidak boleh meninggalkannya, pengesahan pernikahan mereka, dan yang terakhir sebuah resepsi. Ini terlalu banyak buat diproses di dalam otak Daisy. Terasa seperti perencanaan yang tidak matang dan Daisy mana mau percaya.

"Jangan terburu-buru. Pilih salah satu aja, Mas. Desi juga nggak keberatan. Malah, kalau kamu menghambur-hamburkan uang, aku takut banyak yang nggak setuju."

Daisy hampir keceplosan mengatakan kalau benar niat suaminya jadi nyata, Bunda Hanum mungkin jadi yang paling pertama menentang. Tapi, dia sebisa mungkin menahan diri. Tidak satu atau dua kali mertuanya mengirim pesan dengan bahasa yang kurang baik, tentang Daisy yang selalu menghabiskan uang Krisna lalu ujung-ujungnya minta duit. Tapi, dia tidak protes tentang hal tersebut. Selama dia masih punya uang di dalam rekening, Daisy berpikir tidak ada salahnya memberi alakadarnya untuk sang mertua.

"Siapa yang nggak setuju? Orang-orang malah harus tahu kalau sekarang aku sudah menikah lagi."

Daisy mengangguk pelan. "Masalahnya, kamu sudah pernah menikah sebelumnya dan pesta mewah bakal bikin orang beranggapan kamu udah lupa sama Mbak Tika. Sudahlah, nggak usah aneh-aneh. Kamu berniat melegalkan pernikahan kita saja sudah alhamdulillah, Mas." Daisy tersenyum amat lebar, tetapi kemudian dia melanjutkan, "Sayangnya, kalau suatu hari kamu bosan dan ternyata ketemu perempuan yang lebih cantik dan seksi dari aku, kamu nggak bisa ngaku duda … aawww…"

Daisy terpekik karena di saat yang sama, tubuhnya diangkat oleh sang suami, tanpa ragu sehingga dia harus berpegangan erat di lehernya sambil mengeluh, "Turunin. Desi berat. Nanti jatuh."

"Memang dari dulu, mulutnya nggak pernah berubah, nyinyir dan bikin aku selalu sebal." Krisna membalas. Satu alisnya naik dan sudut bibirnya berkedut.

"Lah, kan, Desi bicara fakta." 

Daisy tidak sadar selagi bicara seperti itu, Krisna menggendong tubuhnya hingga mereka berada di lantai dua. Mata mereka saling tatap dan bibir Daisy maju pertanda dia tidak mau kalah lagi dalam perdebatan di antara mereka. 

"Fakta dari mana yang bilang aku tertarik dengan wanita lain yang katamu lebih cantik dan seksi? Memangnya kamu merasa seksi?"

Haish. Ingin rasanya Daisy menggetok kepala Krisna. Memang dia tidak semontok artis dangdut yang kerap manggung di layar televisi. Tapi, kalau dibandingkan dengan kambing kurus, dia jauh lebih berisi. Lagipula, setelah berkunjung ke dokter kemarin, beratnya bertambah dua kilogram. 

"Seksi, lah." balas Daisy begitu Krisna dengan serampangan mendorong pintu kamarnya dan Kartika dengan kaki. Di saat yang sama, Daisy sadar dan dia meminta untuk turun. 

"Mas, kenapa kamu bawa aku ke sini? Ini kamar kalian."

Krisna menggeleng, tepat saat dia mendudukkan Daisy di atas tempat tidur berukuran 180 x 200 cm. Biasanya Daisy berada di sana untuk mengganti seprai, menyapu dan membersihkan kamar, serta memasukkan pakaian suaminya yang sudah disetrika ke dalam lemari.

"Mulai hari ini, ini kamar kita."

Krisna menyeringai. Dia lantas melepaskan kancing di lengan baju berikut di kemejanya lalu berjalan untuk mengambil handuk yang berada di gantungan, kemudian dia meninggalkan Daisy yang terlalu bingung, ke kamar mandi.

Sungguh aneh dan amat mencurigakan. Daisy tidak bisa menahan diri untuk bertanya-tanya alasan suaminya bisa berubah secepat itu, terutama untuk urusan kamar tidur. Daisy bahkan merasa tubuhnya merinding daripada merasa terharu seperti kisah di dalam sinetron yang baginya tidak masuk akal.

"Kepalamu nggak kepentok atap mobil, kan, Mas?"

***

😜😜

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top