60
Aduuh seneng deh, di bab sebelah rame. Nah, gitu dong. Pan eke seneng.
Btw, pada ngambek ke KK gara-gara kakoin. Sabar, yes. Ntar ga lama lagi open PO. Eke mo bertapa dulu biar ada extra part nambah. Bab sepesial buat emak-emak.
Apakah ada ena-ena? Sudahlah, Esmeralda. Jangan berkhayal kaw. Eke puyeng mikir adegan coblos2 gitu. Cukuplah Bebi Bulan ama Bhumpret dan Yaya ama Malik yang punya bab 50++ itu. Yang laen jangan. Ya kali eke bikin bab ena2 sama semua, bukannya bikin hot, malah ngakak. wkwk.
Ada bab 3 Malik di Karyakarsa. Malem ini moga2 Ola lanjut di KK. Eke udah kelar isi rapor. Besok bagi rapor. Siapa mo kasih kado?
***
60 Madu in Training
Dalam perjalanan pulang kembali ke rumah Krisna, sekitar satu kilometer dari rumah, Daisy mengeluh karena melihat layar ponselnya yang ternyata dalam mode pesawat. Dia tidak tahu kapan hal tersebut bermula. Tetapi, begitu dia menonaktifkan mode tersebut, ponselnya bergetar dan beberapa pesan masuk.
"Mas Krisna cari-cari aku dari siang, Dhis." Daisy mengeluh.
"Katamu tadi sudah izin."
Gendhis yang sedang menyetir hanya mengedikkan bahu. Saat itu sudah jam tujuh malam. Mereka sempat mampir menunaikan salat Magrib sebelum akhirnya mereka berdua memilih pulang. Walau masih terhitung sore, bagi Daisy hari sudah sangat larut. Wajahnya bahkan tampak panik saat dia membaca pesan-pesan dari suaminya.
Jangan pergi.
Jangan tinggalkan aku, Des. Kamu jangan menuruti kata-kata Gendhis.
Desi, tolong pulang. Aku minta maaf.
Ada beberapa pesan dari Krisna. Daisy sendiri tidak mengerti apa maksud perkataan suaminya. Mereka hanya pergi makan dan menonton, tetapi, kenapa gelagat pria itu seolah-olah Daisy hendak pergi ke Amerika saja?
"Mas Krisna kenapa malah kirim ginian? Tumben-tumben dia minta maaf."
Sekali lagi, Gendhis mengedikkan bahu. Jelas saja Daisy bingung. Sejak tadi Krisna tidak bisa menghubunginya dan dia yang merasa tidak punya banyak teman di dunia maya (kecuali saat dia menjadi Duta Jendolan) tidak bakal repot-repot menanti pesan entah dari siapa. Apalagi sebelum ini Krisna punya kecenderungan tidak peduli kepada Daisy. Pria itu baru panik gara-gara ulah Gendhis.
"Iya. Aneh banget. Baru ditinggal nonton bentar. Gimana kalo bininya ilang beneran?"
Gara-gara itu, otak Daisy segera saja mengaitkan semua kejanggalan hari ini termasuk ponselnya yang tiba-tiba saja berubah menjadi ke mode pesawat terbang. Daisy tidak percaya hal ini adalah kebetulan semata. Apalagi, tadi Gendhis sengaja menambah sesi makan-makan menjadi menonton. Dia yang seharusnya pulang sekitar waktu Asar, malah kembali menjelang waktu Isya tiba.
"Kerjaanmu ini, ya? Jangan-jangan debt collector tadi juga? Kamu nggak mau terima duitku." tuduh Daisy tanpa ragu. Dia tidak heran lagi sewaktu Gendhis mengacungkan telunjuk dan jari tengah yang membentuk lambang damai.
"Astaghfirullah, Dhis. Jadi tadi aku bilang nggak mau ketemu, itu sebenarnya Mas Krisna." Daisy menepuk dahi. Kepalanya mendadak pening dan dia ingin mencubit pipi iparnya itu saking gemasnya.
"100 "
Cih, pakai diberi nilai 100 pula. Daisy harus mengingatkan diri untuk bersabar dan terus menyebut nama Tuhan gara-gara kelakuan adik ipar sintingnya itu.
"Eh, nggak usah marah-marah, Mbak. Kamu mesti terima kasih sama aku. Salah dikit, habis ini leherku yang ditebas sama suamimu." Gendhis berusaha membela diri. Memangnya Daisy kira hidupnya bakal aman setelah ini? Krisna mana mungkin membiarkannya selamat. Tetapi, jika tidak begitu, abangnya itu tidak bakal menyadari perasaannya sendiri.
Mbak Tika sudah meninggal. Sebelum pergi, dia sudah ikhlasin mereka berdua jadi suami istri. Gue cuma mau Mas Krisna tahu, biarpun dia nggak keren-keren amat, Mbak Desi jauh lebih layak jadi bininya dibanding wanita lain. Lagian, udah dibuntingin, masih aja nggak nerima. Waktu bikinnya gimana? Kerasukan jin gentong atau apa, gitu? Sampe-sampe, perut bini udah blendung, dia nggak terima. Sinting!
"Kamu pantas dimarahin. Jahil begitu. Aku yang ngomong normal aja, salah sedikit, bisa kena marah sama dia. Apalagi kamu, yang entah kenapa punya ide kayak sutradara film action. Gila kamu, Dhis. Mas Krisna itu lagi kesal gara-gara aku dan kamu tambahin lagi."
Daisy meremas kepalanya. Jarang-jarang dia marah dan kalut seperti ini, pikir Gendhis. Tetapi, tetap saja dia sebal. Sudah setengah mati membela iparnya itu, Daisy masih saja memikirkan perasaan Krisna.
"Biar aja. Rambate rata hayo, kita sikat rame-rame Mas Krisna."
Gendhis memukul setir, menunjukkan semangat dengan jari terkepal dan lengan terangkat sementara Daisy mengoceh cara mengemudinya itu bakal membuat mereka celaka.
"Nggaklah, Mbak. Emangnya aku nggak bisa nyetir. Gini-gini, aku mantan pembalap liar. Gara-gara ayah aja aku stop."
Wajah Gendhis tampak suram begitu mengenang masa lalunya yang lumayan kelam. Itu juga jadi alasan kenapa dia dan sang bunda tidak terlalu dekat.
"Tapi, gara-gara itu juga, aku bersyukur kenal kamu, bisa tinggal di panti dan dianggap anak sama Ummi Yuyun." Gendhis nyengir lima jari tepat saat mereka hampir tiba di depan pagar rumah Krisna. Begitu mobil berhenti, tanpa ragu perawat muda itu memencet klakson kuat-kuat hingga Daisy menegurnya.
"Dhis. Nggak enak sama tetangga."
"Biar aja. Tuh, lakimu lari kocar-kacir kayak dikejar maling."
Daisy menjulurkan kepala. Pagar rumah telah dibuka dan kepala suaminya muncul dari situ. Wajah Krisna tampak tegang dan Daisy mulai merapal doa agar suaminya tidak murka.
Gendhis sendiri dengan santai keluar dari mobil dan mengaku dosa kepada Krisna sebelum pria itu sempat mencerca istrinya, “Gue yang ngajak dia, yang matiin HP dia juga gue. Awas aja kalau lo marah-marah sama Mbak Desi. kita berantem.”
Wajah Krisna yang tadinya tegang begitu dia melihat sosok istrinya membuka pintu mobil segera mengendur. Dia bahkan menghela napas melihat Daisy tampak baik-baik saja, tidak kurang satu apa pun juga.
"Gue pulang, ya. Udah malam."
Belum sempat Krisna bicara karena perhatiannya tertuju kepada Daisy tadi, Gendhis sudah memutuskan untuk kabur.
“Eh, Dhis. Masak mau pulang?”
Meski Daisy bicara kepadanya, tatapan Gendhis terarah kepada Krisna yang tumben-tumbennya mengambil tas dan barang milik Daisy yang kebetulan dipegang oleh istrinya itu. Apakah efek dilarikan selama beberapa jam telah membuat Krisna kalang-kabut? Benarkah secepat itu?
“Pulang dulu, Mbak. Besok main lagi. Kita beneran minggat ke Bali, cari bule ganteng. Jangan lupa packing malam ini.”
“Dhis.” Krisna memanggil saudarinya dengan suara amat pelan. Gara-gara itu juga, Gendhis menjulurkan lidah lalu cepat-cepat masuk mobil. Tanpa waktu lama, dia kemudian melambai dan meninggalkan pasangan pengantin baru tersebut sementara Daisy tidak berhenti komat-kamit di dalam hati agar kemarahan suaminya tidak meledak di depan rumah mereka saat ini karena jujur, rasanya amat memalukan.
Daisy bahkan hanya berani menundukkan kepala setelah bayangan mobil Gendhis hilang dari pandangan. Dia sudah siap merangkai dalih yang bakal dia ucapkan bila Krisna menanyainya.
“Masuk, yuk?”
Daisy merasakan sebuah remasan lembut di tangan kanannya yang tahu-tahu saja digenggam oleh suaminya. Jantungnya bahkan berdetak dengan amat kencang. Tetapi, Daisy tidak bisa melakukan hal lain selain menuruti langkah suaminya hingga mereka berdua berada di dalam pagar. Tautan tangan keduanya terlepas karena Krisna mesti menutup dan mengunci pintu pagar. Namun, setelahnya, dia kembali menggenggam tangan Daisy dan mengajak istrinya masuk rumah, membuat Daisy bertanya-tanya seperti apa kemarahan yang bakal diluapkan oleh suaminya setiba mereka di dalam rumah nanti.
“Sudah makan?”
Krisna bertanya dengan suara yang seperti saat bicara kepada Gendhis tadi, pelan, namun berefek membuat rambut-rambut halus di sekujur punggung Daisy meremang.
“Sudah.” balas Daisy pendek. Dia ingin bertanya hal yang sama dan diberanikannya diri untuk buka suara, “Kamu sudah makan?”
Ketika melihat Krisna menggeleng, seketika Daisy dilanda perasaan bersalah. Tetapi, bukankah selama ini Krisna selalu makan walau tanpa Daisy di sisinya.
“Aku baru masuk ruang makan waktu Gendhis bilang kamu mau kabur ke Jawa.” Krisna menjawab. Perkataannya barusan membuat langkah Daisy terhenti.
“Kabur? Desi nggak ada niat sama sekali.”
Krisna mengangguk tepat setelah dia mengunci pintu. Lampu ruang tamu menyala dan dengan jelas Daisy bisa melihat betapa kusut dan pucat wajah suaminya.
“Aku tahu. Tapi tadi otakku nggak bisa berpikir jernih sama sekali apalagi ketika sampai rumah jam tiga tadi, kamu nggak ada di mana-mana.”
Jam tiga? Apakah Krisna kembali ke rumah pada jam segitu?
“Kutanya sama orang-orang panti, mereka bilang kamu nggak mampir.” Krisna tersenyum kecut sambil menyugar rambut. Wajahnya tampak pias dan Daisy harus menelan air ludah karena sudah lama sekali dia tidak melihat Krisna seperti itu. Seingatnya, terakhir kali wajah suaminya sekacau itu adalah ketika dia mengantarkan mendiang istrinya, Kartika, ke liang lahat.
"Karena kamu nggak suruh." balas Daisy pendek. Tapi, setelah itu, dia melanjutkan, "Gendhis bilang kalau dia sudah izin dan Desi nggak perlu telepon."
"Dan kamu percaya saja?" tebak Krisna. Daisy yang memang percaya kepada iparnya, memilih mengangguk.
"Dia iparku. Nggak mungkin berbuat jahat."
Krisna tampak menahan diri untuk mengucapkan sesuatu yang tidak dipahami oleh Daisy. Dia hanya sempat meminta maaf karena Gendhis telah mengutak-atik ponselnya sehingga tidak tahu kalau sepanjang sore Krisna sudah menghubunginya.
"Desi tahu, kamu nggak bakal telepon atau cari kalau nggak penting-penting amat dan masalah si kembar bikin kamu makin jijik sama aku … "
Daisy menundukkan kepala. Dia tidak mau terlihat lemah di depan suaminya dan merasa sudah siap dengan konsekuensi apa saja yang bakal keluar dari mulut suaminya. Misal, jika diusir, dia sudah pasrah. Tetapi, ketika sedetik kemudian dia merasakan sebuah dekapan hangat yang membuat kedua matanya panas, Daisy tidak bisa mempercayai nasibnya malam itu.
"Nggak jijik. Harusnya aku berterima kasih."
Mbak Tika, entah suamimu kepentok apa, Desi nggak tahu. Tapi, melihatnya kayak gini, aku jadi bingung.
Daisy mengangkat kepala dan berusaha tersenyum tepat saat Krisna mengusap air mata di kedua pipinya.
"Aku hampir jantungan waktu Gendhis bilang kamu memilih kabur. Tapi, aku nggak pernah merasa selega ini waktu lihat kamu kembali."
"Bukannya kamu mau sebaliknya?" Daisy berusaha tersenyum dan minta Krisna melepaskan dekapan mereka. Dia malu. Tubuhnya kotor dan bau keringat. Pria itu pasti terganggu dengan aroma tubuhnya. Hanya saja, Krisna tampak tidak peduli dan mempererat dekapan mereka.
"Aku bertanggung jawab kalau sesuatu yang buruk terjadi pada istri dan kedua calon anak-anakku."
Daisy tidak sengaja mengencangkan pegangan tangannya di bagian depan lengan Krisna sewaktu mendengarkan ucapan itu. Dia bahkan berusaha untuk tidak mengerjap tetapi, usahanya kalah cepat. Air matanya sudah keburu meleleh.
Dia tidak salah dengar, kan? Krisna menyebutkan anak-anaknya? Atau Daisy merasa dia punya banyak kotoran di telinga sehingga salah mengartikan ucapan suaminya.
"Istri dan anak-anakku." ucap Krisna lagi karena dia tahu di saat yang sama, Daisy masih mempertanyakan ucapan suaminya yang sukar dia percayai.
"Jangan menangis." Krisna membelai kepala Daisy yang kini terisak-isak di dadanya.
"Aku yang salah. Di kepalaku, Tika yang selalu berusaha hamil dan gagal, sampai akhirnya dia pergi, bikin aku trauma."
Daisy memejamkan mata. Jadi itukah penyebab Krisna mengamuk seperti bocah? Kenapa dia selalu menganggap Daisy seperti Kartika. Mereka adalah orang yang berbeda. Krisna sudah tahu jelas akan hal itu.
"Kenapa kamu selalu bandingin Desi sama Mbak Tika, Mas? Bukannya sudah berkali-kali kubilang, kami berbeda."
Daisy berusaha melepaskan pelukan Krisna. Benar kata Gendhis. Benar-benar melelahkan berada di samping pria yang selalu memikirkan istri pertamanya.
"Des. Des, tunggu. Jangan begini. Aku cuma terbayang hal yang sama, bukan menganggap kalian adalah satu orang."
Daisy menggeleng, berusaha tersenyum namun tidak mampu. Padahal, biasanya dia kuat. Apakah janin-janin di dalam perutnya sudah menuntut Krisna agar tidak lagi menganggap Daisy sebagai Kartika?
Tapi, dia tahu suaminya hanya membual. Sampai kapan pun pria itu bakal memperlakukannya sama. Kecuali satu, tidak pernah mengizinkan Daisy menginjakkan kaki di kamar peraduan suami dan kakak angkatnya tersebut, hal paling konyol yang pernah dilihat oleh mata dan kepala Daisy bahkan hingga detik ini.
"Desi capek, Mas. Mau istirahat."
Daisy mengucap syukur begitu Krisna yang begitu terkejut, tidak sengaja mengendurkan pegangan dan buat Daisy, dia bisa pergi meninggalkan suaminya untuk menuju kamar Gendhis.
Mereka benar-benar butuh waktu untuk saling bisa memahami satu sama lain dan entah kapan hal itu bisa terwujud, Daisy sama sekali tidak tahu.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top