59

Mana nih penggemar Dedes ama Didis? Mulai males-males ih komen ama votenya. Ntar eke apdetnya sebulan sekali, malah komen kangen-kangen.

Mau kayak gituuuuuu?

Okelah. Yang kangen ke KK atau KBM aja. Tungguin info PO di IG eriskahelmi

***

59 Madu in Training

Daisy yang baru keluar dari toilet di gerai ayam cepat saji yang dikunjungi olehnya dan Gendhis, menatap heran pada sang ipar yang tersenyum dengan gaya yang misterius. Gendhis sendiri hanya menggeleng ketika Daisy yang cemas dengan keadaannya, menanyai gadis itu bila sesuatu telah terjadi. Nyatanya, Gendhis menyimpan semua kesenangan barunya di dalam hati. Memberi tahu Daisy sudah pasti bakal membuat bencana. Lagipula, dia amat suka membuat Krisna kebakaran jenggot. 

Saat Daisy izin ke kamar kecil, dia dengan lancang mengambil ponsel wanita itu dan secepat kilat memasang mode pesawat terbang. Daisy tidak akan curiga. Tinggal katakan saja tersenggol, dia akan menurut. Toh, ponselnya adalah generasi android yang sudah ketinggalan zaman. RAM-ya saja cuma 2 GB dan untuk kebutuhan di masa sekarang, angka segitu benar-benar ketinggalan zaman. 

"Dari tadi, lho, Dhis. Kamu, tuh, ketawa sendiri kayak orang gangguan jiwa. Aku takut." 

Untung saja ada menu lain yang tersedia di gerai ayam cepat saji ini. Daisy langsung suka ketika Gendhis memesan beberapa potong perkedel kentang dan juga sup krim yang membuatnya mengira-ngira resep sup tersebut. 

"Ini enak, lho. Anak-anak pasti bakalan suka banget. Ada ayam kecil-kecil. Aku mau buat yang versi lembut. Ayamnya digiling aja, biar Ita bisa kunyah." 

Gendhis yang saat itu sedang asyik mengelupas kulit ayam goreng tampak menyimak cerita Daisy. Iparnya sama sekali tidak sadar kalau ponselnya telah dibajak dan sekarang ponsel milik Gendhis terus bergetar tiada henti. Tadi dia sempat mengaktifkan nada dering dan kepalanya pusing karena sepanjang perjalanan menuju tempat makan, Krisna tidak berhenti menelepon.

"Ada yang nelepon. HP-mu dari tadi bunyi. Sekarang getar terus." 

Supaya meyakinkan, Gendhis sempat berhenti makan. Untung saja dia telah mengganti nama abangnya dengan nama Debt Collector ditambah emotikon cinta di sebelah agar tahu yang menelepon adalah Krisna bukan tukang tagih duit sebenarnya. 

"Debt Collector pinjol, Mbak." balas Gendhis sekenanya. Si baik budi di hadapan Gendhis kemudian panik dan mengucap istighfar.

"Ya Allah, Dhis. Gimana bisa kamu setenang ini? Yang kubaca kalau kamu nggak angkat-angkat, mereka bakal mengincar keluarga dan rekan terdekatmu."

Paniknya natural sekali, pikir Gendhis yang kini mengunyah paha ayam. Dia tidak habis pikir mengapa Krisna tidak menyukai paha senikmat itu. 

"Lagian, kamu kenapa ngutang? Bisa pinjam sama aku, lho. Eh, nggak, bisa minta."

Sungguh mulia sekali, pikir Gendhis. Tidak heran Daisy seperti kerbau dicucuk hidung setiap dia berhadapan dengan Krisna. 

"Terpaksa aku, Mbak." Gendhis memasang raut sedih tanpa peduli ponselnya masih bergetar, "Kalau nggak gitu, nggak bisa hidup."

Daisy yang begitu mudah percaya bahkan tidak bisa menyembunyikan rasa prihatin sementara iparnya yang dia kira bernasib amat malang, malah memilih mencolek saus sambal.

"Dhis, bahaya, lho kalau mereka cari sampai ke rumah." panik, Daisy terus bicara sambil memandangi Gendhis yang mengunyah ayam dengan wajah lesu.

"Benar, Mbak. Apalagi kalau dia ngamuk-ngamuk. Mungkin aku bisa mati dicekik." 

Daisy mengucap istighfar. Dia tidak sanggup membayangkan hal sadis seperti itu terjadi kepada saudara iparnya. Tanpa ragu, dia merogoh tasnya sendiri, mencari-cari dompet. Gerakan tersebut membuat Gendhis sempat melirik ke arah Daisy, memastikan dia tidak tahu kalau ponselnya sudah diutak-atik. Untung saja, Daisy sepertinya tidak peduli dengan ponsel dan lebih memilih menyerahkan sebuah kartu bertuliskan namanya yang membuat alis Gendhis naik.

"Lah, buat apa ngasih-ngasih ATM?"

"Lunasi hutang-hutangmu, Dhis. Aku nggak mau seumur hidup kamu dikejar-kejar penagih hutang. Dari yang kubaca, mereka bakal mengejar walau kamu bunuh diri sekalipun." 

Ya ampun. Gendhis berusaha menahan diri agar tidak meledak tawanya karena bila hal tersebut terjadi, dia bakal tersedak potongan ayam. Hal itu sudah pasti amat mengerikan sekali.

"Emang, Mbak. Yang satu itu sudah pasti bakal ngejar Dhis ke mana-mana." Gendhis menunjuk ke arah ponsel yang sengaja dia balik. Gara-gara itu juga, Daisy mendesaknya untuk mengangkat panggilan itu.

"Angkat, Dhis. Jawab, mau tak lunasin. Kalau perlu, kepala debt collector itu kamu beli, terus masukin ke museum."

Gendhis gagal mengunyah gara-gara ide sinting yang disebutkan oleh Daisy membuatnya terperangah. Apakah dia tidak tertarik untuk tahu siapa dalang di balik nama itu?

"Angkat." suruh Daisy lagi, membuat Gendhis cepat-cepat mengelap tangannya dengan tisu lalu mengangkat panggilan tersebut.

"Kemana lo bawa Desi?" 

Nyaris saja Gendhis menarik ponsel menjauh dari telinga saking kerasnya suara Krisna mencari istrinya. Untung saja juga, suara orang mengobrol di sekitar mereka cukup ramai sehingga Daisy tidak tahu kalau sebenarnya yang menelepon adalah suaminya. 

"Ih, nanya-nanya ke mana-ke mana. Emangnya situ Ayu Tinting?"

Cari mati. Bodo amat kalau nanti Krisna mencekiknya. 

"Kasih HP lo ke dia. Gue mau ngomong." dengan tegas Krisna memerintahkan adiknya. Di saat yang sama, Gendhis yang jahil kemudian bertanya kepada Daisy, tanpa menutup speaker ponsel.

"Mbak, dia mau ngajak ketemuan. Gimana? Lo mau?" 

Respon Daisy adalah hal terepik yang membuat senyum Gendhis melebar.

"Ih, Dhis. Ngapain ketemuan-ketemuan? Nggak usah." Daisy menggeleng sekaligus bergidik di saat yang bersamaan.

"Nah, lo denger, kan? Dia nggak mau ketemu."

Tanpa banyak bicara, Gendhis segera memutuskan panggilan sementara Daisy yang tidak tahu apa-apa malah mengacungkan jempol dan memuji iparnya tersebut, "Bagus. Yang kayak gitu mesti diladeni balik. Mereka cuma penagih. Bank yang ada sangkut-paut sama kita." 

Dasar wanita polos, Gendhis menggelengkan kepala dan melanjutkan makan. Dia harus memasang wajah santai. Super santai walau pria sinting di sebelah sana sudah pasti sedang kebakaran jenggot. Masa bodoh nanti mereka bakal bertengkar atau saling tarik rambut. Yang pasti, saat ini hati seorang Gendhis Wurdani Parawansa amatlah senang. Dia sudah mengerjai kakaknya hingga pria itu kocar-kacir mencari istrinya. 

Tapi, segini saja belum cukup, pikir Gendhis. Dia akan mengerjai abangnya sekali lagi. Lagipula, wajah Daisy terlihat mulai bercahaya semenjak disogok perkedel kentang dan sembab di pipi dan matanya sudah mulai berkurang drastis. Setelah ini, Gendhis akan mengajaknya menonton. Di lantai atas ada bioskop dan dia ingat, sekarang sedang ditayangkan film tentang jilbaber dan seorang pria alim yang sebenarnya di otak Gendhis, kisahnya amat tidak masuk akal. Tapi, dia tahu, cerita-cerita model begitu biasanya amat disukai oleh Daisy. 

"Habis ini kita nonton, ya?" pinta Gendhis dengan wajah memelas. Dia sudah selesai makan dan mengira-ngira durasi film dua jam sudah cukup untuk membuat Krisna makin kocar-kacir.

"Ih, gimana, sih? Kamu bilang makan tok. Nanti Mas Krisna pulang."

Gendhis memajukan bibir dan pura-pura terlihat sedih sebelum dia bicara, "Mas Krisna aja nggak peduli sama kamu dan kamu masih mikirin dia. Kalau nggak ikut aku nonton, kita putus hubungan. Aku juga mau nonton sama iparku, sahabatku dan pamer di Insta, tapi kamu nggak mau. Tega kamu, Mbak."

Si ibu peri cantik nan baik hati yang hari ini memakai jilbab berwarna pastel itu langsung panik dan Gendhis senang dia punya bakat manipulatif. Memangnya hanya Bunda saja yang bisa mengadu dan memasang muka sedih supaya Gendhis dimarahi Ayah? Dia juga bisa akting sebagus itu. Lihat saja, Daisy sampai tidak kuasa menolak.

"Tapi, aku mesti kasih tahu Mas Krisna dulu kalau kita mau pergi."

"Eeh, nggak perlu." Gendhis menjulurkan tangan, "Pas kamu ke WC sudah aku kasih tahu."

Tapi bohong, Gendhis meminta maaf kepada yang kuasa untuk kelancangannya yang satu itu. Tetapi, demi kelancaran hubungan Daisy dan sang abang, dia rela, walau seharusnya, dia tidak boleh ikut campur dalam pernikahan mereka. 

Hanya saja, melihat wajah sembab Daisy dan kebodohan serta keras kepalanya Krisna Jatu Janardana, dia tidak bisa tidak ikut campur. 

"Benar? Aku mau telepon suamiku dulu."

"Beneran. Udah." Gendhis bangkit dan menarik tas milik Daisy supaya dia tidak menyentuh ponselnya sendiri, "ayo, Mbak. Kita ke atas. Takut tiketnya habis."

"Tapi tanganmu belum dicuci. Makanku juga belum habis."

Haduh. Dasar Daisy, keluh Gendhis. Dia hanya bisa menghela napas, tapi kemudian berlari menuju tempat cuci tangan dan berseru kepada iparnya agar dia menyelesaikan makan.

Rencana gilanya belum selesai sampai mereka kelar menonton bioskop saja. Jika perlu, dia akan memaksa Daisy menginap di hotel supaya abangnya sadar, dia telah melewatkan seorang bidadari demi ide sintingnya, melenyapkan buah hati mereka untuk selama-lamanya.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top