58
Masih ada yang bacak?
Kalo masih, Alhamdulillah.
Tunggu open PO-nya segera, yes.
***
58 Madu in Training
Daisy baru keluar dari kamar mandi untuk yang ke lima kali pada hari itu ketika dilihatnya Gendhis sedang menatap layar ponsel dengan bibir maju. Televisi di ruang tengah sedang menyala dan Daisy berpikir kalau dia hendak membuat teh hangat saja. Perasaannya kacau karena sebelum ini dia belum pernah mengalami kejadian muntah-muntah. Entah kenapa, setelah dia memberi tahu keadaan dirinya kepada Krisna, tubuhnya menjadi amat sensitif dan lemah.
"Siapa yang telepon, Dhis?" tanya Daisy saat dia berjalan hendak mengisi teko dengan air di keran bak cuci piring. Tadi dia sempat mendengar dering telepon tetapi perutnya menolak untuk berkompromi sehingga yang bisa wanita itu lakukan adalah membiarkan Gendhis menjawab. Toh, yang menelepon biasanya Ummi Yuyun atau anak-anak panti. Krisna amat jarang menghubungi dan setelah peristiwa tadi malam, dia sangsi pria itu bakal mencarinya.
"Lakimu." balas Gendhis. Bibirnya masih maju dan Daisy memandanginya bingung.
"Mas Krisna? Kenapa telepon? Kok, nggak ngasih tahu?"
Daisy yang mulanya sedang mengisi air mendadak berhenti dan memilih untuk mematikan keran. Dia berjalan ke arah ruang tengah dengan sedikit terburu-buru. Siapa tahu tadi suaminya mencari karena ada sesuatu yang penting untuk disampaikan.
"Nyari kamu, lah. Habis dia aku maki-maki tadi."
Daisy mengucap istigfar. Dasar Gendhis. Padahal tadi dia sudah mewanti-wanti untuk tidak berbuat keterlaluan kepada abangnya. Bagaimanapun juga, dirinya dan Krisna sudah melakukan rekonsiliasi dan Daisy berharap setelah ini suaminya akan introspeksi diri terhadap ucapannya tadi malam. Daisy juga tidak tinggal diam. Dia juga sudah bersikap tegas. Meski begitu, dia masih berada di rumah Kartika semata-mata karena permintaan suaminya.
"Kan, tadi kubilang sabar dulu." Daisy buru-buru mendekat ke arah sofa demi memeriksa ponselnya. Pandangannya terarah kepada Gendhis yang kini tampak santai memencet remot TV.
"Udah. Aku sudah kelewat sabar. Tapi, Mas Krisna sendiri yang telepon. Jadi sekalian aja kubilang, bininya muntah-muntah di kamar mandi padahal dia seharian nggak makan. Nggak ada lagi yang bisa dikeluarin sampai yang tersisa cuma muntah pahit. Cuma pria laknat yang tega ngebuntingin bini, terus biarin dia kayak gitu."
Gendhis sama sekali tidak bicara berlebihan. Hanya saja, kalimat terakhir yang dia katakan barusan sudah membuat Daisy mengucap istighfar.
"Itu masmu, loh, Dhis."
"Masih aja dibela. Membunuh itu perbuatan yang dilaknat Allah, kan? Jadi, kenapa protes kalau aku ngatain dia begitu. Itu fakta, Mbak."
Perawan lugu yang tidak malu untuk berkata jujur. Tapi, Daisy berpikir, Gendhis seharusnya tidak perlu berbuat sejauh itu.
"Jangan kamu pikir, karena abangku, aku jadi lembut kepada Mas Krisna. Salah ya salah aja." lanjut Gendhis ketika dia yakin kalau Daisy ingin menceramahinya tentang akhlak dan budi pekerti.
"Iya, aku tahu." balas Daisy lagi. Baru hendak melanjutkan, Gendhis sudah keburu memotong, "Gimana kalau kamu minggat. Dia bakal kebakaran jenggot, nggak, ya?"
Kisah seperti ini sering sekali Daisy temukan di dalam kisah roman picisan. Bertengkar dengan suami, lalu kabur. Sang istri kecelakaan lalu amnesia. Di rumah sakit, wanita itu kemudian bertemu dengan seorang dokter tampan nan baik hati dan tahu-tahu adalah CEO perusahaan paling bonafit di dunia. Hartanya tidak habis sekian turunan dan kemudian ketika sang wanita mulai jatuh cinta, suami datang. Mereka memperebutkan cinta wanita tersebut, lalu berakhir dengan kembalinya ingatan sang istri dan dia ternyata memilih suaminya kembali.
Picisan dan mudah sekali ditebak. Daisy jadi ingin sekali mengobrol dengan rekan-rekannya di forum. Mereka pasti bakal menulis kisah-kisah konyol dan option di atas tidak bakal pernah masuk dalam pembahasan mereka.
"Sudahlah, Dhis." balas Daisy setelah mendengar ide tidak bermutu tersebut sementara Gendhis sendiri segera protes karena sarannya tidak disetujui.
"Biar Mas Krisna sadar betapa berartinya kamu buat dia, Mbak."
Semangat empat lima, dasar perawat judes, pikir Daisy. Tidak urung akhirnya dia mengambil posisi duduk di sebelah Gendhis lalu bicara, "Dari awal dia sudah menegaskan, nggak ada aku di antara dia dan Mbak Tika. Kamu lihat, rumah ini milik mereka. Dapur itu, semua isinya milik Mbak Tika, lalu TV dan kursi yang kita duduki ini juga. Aku cuma numpang dan karena kebaikanmu aku bisa tidur di kamarmu."
"Kalau jadi kamu, aku sudah pasti kabur."
Sambil bersandar pada jok sofa, Daisy menelengkan kepala menoleh kepada iparnya.
"Aku juga. Mau banget. Tapi tetek bengek pernikahan ini merepotkan dan menyebalkan. Sumpah, Dhis, nikmatilah hidupmu sampai puas baru kamu menikah supaya kamu sadar, hidup nggak melulu soal kawin, lari, dan sebangsanya." lalu Daisy menambahkan, "Aku sudah siap kabur tadi malam dan di pagi hari, aku berpikir buat mengepak barang-barangku kembali ke panti. Kamu tahu yang Mas Krisna lakukan? Dia berdiri di depanku, memeluk aku, lalu bilang kalau dia adalah bajingan tengik," Daisy menirukan suaminya, "Aku pantas kamu tinggalkan. Tetapi, setelah Tika pergi, yang kumau cuma kamu, Des. Bertahanlah sebentar lagi. Aku sedang belajar menata hati. Kehilangan dia nggak mudah. Hampir seluruh hidupku bersamanya dan kita baru beberapa minggu bersama."
Daisy berhenti sebentar untuk menarik napas. Saat itu matanya sudah merah, tetapi dia berusaha tersenyum, "Aku tahu pasti ada alasan kenapa dia nggak mau punya anak dan dia minta aku bersabar. Apa aku harus meninggalkan dia dan ikut saranmu?"
Daisy menatap ibu jarinya selagi bicara, "Aku tahu rasanya kehilangan dan sampai detik ini aku masih merasakannya di sini," Daisy menunjuk dadanya sendiri, "Tapi aku berusaha mengikhlaskan."
Gendhis menduga kalau Daisy sedang membahas Kartika juga seperti dialami oleh Krisna, tetapi, dia tidak tahu bahwa saat itu, Daisy sedang membahas Syauqi. Dia tidak menyebutkan nama karena memang antara dirinya dan pria tersebut tidak pernah ada kisah. Daisy menyimpan semuanya di dalam hati dan cinta bertepuk sebelah tangannya pada akhirnya tetap tidak berbalas.
"Bedanya, aku masih bisa melihat dia tetapi harus kukendalikan diriku dan bilang kalau saat ini ada Mas Krisna."
"Syauqi, kan?" tebak Gendhis tanpa basa-basi. Dia tahu walau Daisy tidak pernah mau mengaku. Dan kini, melihat iparnya memilih diam daripada mengiyakan menandakan kalau dia tidak salah.
Cih, bisa-bisanya Daisy naksir Syauqi yang punya keanehan macam begitu. Kalau dibandingkan dengan dia, Gendhis lebih setuju Daisy jadi istri Krisna. Walau kemudian dia juga sadar, abangnya tidak kalah sinting dan gila dengan Syauqi.
Kenapa tidak ada pria normal yang benar-benar sayang kepada istri mereka dengan tulus? Rasa-rasanya, Gendhis jadi takut menikah karena melihat betapa merananya Daisy gara-gara cinta.
Dulu Mas Krisna sayang banget sama Mbak Tika sampai dijadiin ratu. Tapi, sayangnya hubungan mereka nggak abadi.
"Aku lapar, Mbak." Gendhis pada akhirnya bangkit dan dia merentangkan tangannya dengan lebar, lalu bicara, "Yuk, makan di luar."
Wajah Daisy jelas sekali terlihat kalau dia tidak percaya dengan sikap iparnya.
"Ya Allah, nggak mungkin aku bawa kamu kabur. Cuma buat makan, Mbak. Udah jam dua lewat dan kamu bahkan nggak ngasih aku air minum." sindir Gendhis dan dia agak tidak enak hati saat Daisy bilang dia tidak nafsu makan. Walau muntah-muntah tadi seharusnya membuat perut Daisy keroncongan.
"Masmu nggak ngasih izin."
Gendhis mendesah lalu mengacak-acak rambutnya dengan perasaan kesal. Dia hampir saja menghentak-hentakkan kaki bak anak gadis yang tidak diajak pergi namun berhenti karena Daisy selalu menertawakan sikap kekanak-kanakannya tersebut. Tetapi, hal tersebut tidak menghentikan Gendhis untuk mengoceh lagi, "Ya Allah, mau makan doang, bukan kubawa kabur. Astaga, kamu benar-benar nggak percaya sama aku, Mbak?"
Daisy mengedikkan bahu. Siapa tadi yang menyuruh dia kabur? Wajar kemudian dia berprasangka buruk. Dia tahu, Krisna mesti mendapat pembalasan setimpal, tetapi saat ini dia sedang membaca situasi. Status pernikahannya saat ini memang tidak kuat dan dia bisa saja kabur lalu melepaskan statusnya sebagai istri. Hanya saja, Krisna pasti bakal amat senang dan besar kemungkinan Bunda Hanum langsung mencarikan pengganti dirinya tanpa basa-basi.
Membayangkannya saja sudah membuat Daisy sesak napas. Memang dia belum sepenuhnya mencintai sang suami. Namun, dia sudah berusaha menyayangi pria itu melebihi perasaannya kepada Syauqi. Daisy belum bisa melabuhkan sepenuh hatinya kepada Krisna karena dia tahu, di dalam hati suaminya, posisi Kartika tidak tergantikan sama sekali.
"Ayolah. Jangan jual mahal terus, Mbak. Meski gajiku nggak gede-gede amat, apalagi kalau dibandingkan sama bos Astera, aku masih sanggup jajanin kamu KFC. Hayuklah cepat, nggak usah ganti baju. Pakai yang ada aja." Gendhis menarik tangan Daisy sementara Daisy sendiri segera saja panik.
"Makan KFC? Nggak, ah. Aku masih mual."
Kedua tangan mereka bertaut, tetapi Daisy masih menggunakan tangan kirinya yang bebas untuk menutup mulut. Membayangkan minyak atau lemak menempel di sela kulit ayam, langsung membuatnya bergidik.
"Ih, aku mau. Kamu duduk aja kalau nggak mau makan. Lagian aneh, dulu senang banget kalau diajak Mbak Tika ke KFC."
Dulu, ketika dia belum bekerja, KFC adalah impiannya. Kartika kadang mengajak mereka berdua makan bersama. Karena itulah, Gendhis dan Daisy lantas menjadi akrab.
"Ya, mana aku tahu, Dhis. Tahu-tahu aja mual." Daisy kemudian melepaskan pegangan mereka dan berjalan ke arah rak dekat televisi untuk mengambil tisu dan minyak kayu putih. Aneh, padahal hanya disebut namanya, tapi entah kenapa dia merasa amat mual.
"Tapi, kayaknya mereka nurut bapaknya." Gendhis berkata ketika pada akhirnya mereka berdua sudah berada di teras rumah. Daisy sudah mewanti-wanti kalau mereka harus segera pulang. Dia tidak ingin rumah kosong saat suaminya pulang.
"Kenapa?" tanya Daisy. Dia sedang merogoh tas, mencari ponsel miliknya.
"Mas Krisna juga kurang suka makan ayam gitu-gitu. Katanya hasil suntik. Halah, padahal tinggal makan aja." Gendhis menjelaskan.
Hal tersebut berhasil membuat Daisy tertegun mendengarnya. Selama ini, jika hendak makan, Krisna memang lebih suka mampir ke warung-warung lokal seperti pecel lele, ayam bakar. Daisy pun lebih suka kepada pilihan suaminya karena di panti, menu-menu tersebut biasanya muncul pada saat hari istimewa seperti ulang tahun Ummi Yuyun atau ditraktir oleh Syauqi.
"Tunggu, Dhis. HP-ku ketinggalan di sofa tadi."
Daisy buru-buru membuka pintu dan dia bergegas meninggalkan adiknya, sementara Gendhis yang melirik ke arah layar ponsel miliknya menemukan kalau saat itu hari hampir menunjukkan pukul dua lewat tiga puluh menit.
Krisna tidak bakal peduli dengan keadaan istrinya, pikir Gendhis. Daisy sendiri terlalu kaku dan nurut kepada suaminya hingga membuat Gendhis gemas bukan main.
Gendhis lantas menjulurkan kepala ke arah dalam rumah, lalu niat jahil membuatnya mengarahkan ibu jari kanan ke aplikasi Whatsapp.
Bini lo mau minggat. Gue diminta nganterin dia kabur ke Jawa. Baek-baek lo jadi duda lagi.
Gendhis menekan tombol kirim ke nomor ponsel milik abangnya, tepat saat dia melihat Daisy yang sibuk memasukkan ponsel ke dalam tas, berjalan menuju pintu. Agar kelihatan alami, Gendhis kemudian melempar sebuah senyum semringah yang membuat Daisy menaikkan alis.
"Lah? Kenapa?" tanya Daisy sementara Gendhis masih tersenyum kepadanya.
"Nggak. Lagi senang aja."
Lagi senang? Daisy tidak paham maksud kata-kata iparnya. Tetapi, dia kemudian menyusul langkah kaki Gendhis menuruni anak tangga menuju city car kesayangan sang perawat junior, hadiah dari almarhum mertua laki-lakinya yang di penghujung hidup, tidak sempat memeluk si bungsu.
"Suatu hari nanti, lo bakalan bilang makasih sama gue, Mbak. Beneran." Gendhis berbisik sebelum dia masuk ke mobil membuat Daisy bertanya-tanya, hal apa yang baru saja terjadi di dalam waktu sesingkat itu karena amat aneh, melihat adik suaminya bersikap amat misterius.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top