57
Apaan, sih? Yang komen kangan kangen di kolom komentar? Kayak baru pertama kali baca aja. Udah dibilang, yang mampir ke wattpad itu yang sabar. Segala kangan kangen ditulis. Eke ga suka. Jangan sampe eke blok ye, Jeng. Nyapa di DM atau di dashboard aja kaga pernah, giliran nagih apdetan, kangan kangen. Dahlah, basik. Geli banget eke bacanya tau.
Eke kangen sama mamak.
Eke kangen sama Dedes.
Maksudnya apa coba nulis gituan? Kangen ya tinggal baca ulang dari bab satu, susah amat. Ini mahluknya kagak nyata, aneh bener dikangen-kangenin. Yang baca sampai tamat aja kalau kepingin baca ulang, tinggal buka bab-bab sebelumnya. Eke kasih tahu, yes, mbak fitrikhair dan temen2nya itu sampe bolak-balik KBM KK Wattpad, kaga ada dese bilang kangen2.
Mo modus apdetan aja banyak bener gayanya.
Yang tersinggung, dahlah pergi jauh-jauh. Eke ga suka dikangenin ama yey. Kalo ngaku-ngaku kangen, komen aja banyak-banyak.
Ga usahlah kangen-kangen ama eke. Ga kenal kok kangen. Aneh banget.
***
57 Madu in training
Gendhis adalah orang yang paling marah begitu mendengar respon Krisna pada saat dia datang berkunjung ke rumah sang abang demi menuntaskan rasa ingin tahunya yang sejak tadi malam belum dijawab dengan tuntas oleh sahabatnya itu.
Kecemasan Gendhis beralasan. Sejak awal dia sudah tahu bahwa Krisna tidak berminat memiliki keturunan jika bukan dari Kartika padahal hal tersebut adalah hal paling konyol di dunia. Bagaimana bisa arwah seseorang yang meninggal mengandung dan melahirkan anak? Kepala abangnya yang dungu itu pasti sudah terbentur entah di mana karena pria normal mana saja di belahan dunia ini bakal amat bahagia bila tahu istri mereka berbadan dua.
“Biar aku telepon dan marahi dia.” Gendhis yang tidak sabaran pada akhirnya mengambil ponsel dari dalam tas sementara Daisy yang melihatnya, buru-buru mencegah.
“Jangan, Dhis. Aku nggak mau kami berantem lagi.” pinta Daisy begitu dia melihat wajah Gendhis sudah berubah merah. Kalau sudah begitu, Gendhis sudah tidak main-main marahnya.
“Biar aja berantem. Jangan bela dia. Apalagi Mas Krisna cuma bisa nyuruh-nyuruh gugurin. Nggak ada otak dia itu. Dia kira membuang nyawa manusia nggak bakal bawa dia ke neraka? Dia kira aborsi itu nggak ada risiko? Anaknya sendiri, lho, ini. Kalau nggak mau punya anak jangan bikin.”
Gendhis mengoceh panjang lebar memaki-maki abang kandungnya. Sesekali dia menoleh kepada Daisy dan mulai merepet lagi, “Kamu juga, Mbak. seharusnya nolak kalau dia ngajak. Ini malah nurut. Your body is your territory. Tubuhmu milikmu. Kamu punya kekuasaan mau di bawa ke mana tubuhmu. Jangan kayak gini, nangis-nangis.”
Sebenarnya Daisy sudah tidak lagi menangis. Dia sudah pasrah hendak dibawa ke mana hubungannya dengan Krisna. Pagi tadi, pria itu bicara dengan nada sopan kepadanya. Kelewat sopan buat mereka yang sebenarnya sudah tidak perlu lagi basa-basi. Daisy juga tidak mau banyak bicara. Baginya, pertengkaran mereka tadi malam seperti suatu peringatan buat Daisy supaya dia waspada. Di dalam tubuh suaminya ada jiwa penjahat yang tidak terkira hingga kadang Daisy mempertanyakan, ke mana sisi kemanusiaan Krisna ketika pria itu berhadapan dengannya.
Sejak awal, dia sudah disiksa batin dan fisik. Mulanya Daisy berusaha amat kuat. Tapi, sekarang dia merasa tidak tahan lagi.
Meski begitu, ketika mendengar Gendhis hendak melabraknya, Daisy merasa agak sedikit tertekan.
"Nggak perl … "
"Apanya yang nggak perlu?" potong Gendhis menahan kesal. "Biarpun dia abangku sendiri, kalau berbuat salah, ya, harus ditegur. Kamu jangan sok membela dia, Mbak." Gendhis bicara dengan nada berapi-api. Kelihatan sekali kalau dia tidak peduli dengan statusnya sebagai adik Krisna. Baginya, pria itu tetap telah berbuat kesalahan yang amat fatal.
"Aku nggak membela dia." balas Daisy. Tangannya kini saling terkait dan dia memandangi adik iparnya yang bolak-balik memeriksa ponsel di hadapannya sementara dia sendiri duduk di sofa depan televisi. Tempat yang sama di mana dia dan suaminya tadi malam sempat bertengkar mengenai kehamilannya.
Ya ampun, kenapa hidupnya bisa serumit ini? Sekali lagi, sebelum berangkat ke kantor tadi, Krisna memintanya untuk tidak ke panti. Karena itu juga, Gendhis kemudian mampir ke rumahnya agar mereka bisa bicara.
"Atau jangan-jangan, kamu sudah cinta dia?" Gendhis menebak tanpa tedeng aling-aling. Jika sudah bicara tentang cinta, manusia suka tidak berpikir waras lagi. Entah dikibuli, dikhianati, bahkan disakiti berkali-kali, mereka bakal bertahan. Melihat sikap dan gelagatnya, dia yakin Daisy sudah terjeblos di dalam lubang yang sama bernama cinta.
"Bukan begitu. Mbak Tika nit…"
"Halah, Mbak Tika melulu yang jadi alasan. Tuh perut sudah melendung, Mbak. Kamu mesti tegas." Gendhis menyetir dengan kecepatan penuh. Setelahnya, dia diam dan menunggu respon dari kakak iparnya tersebut.
"Aku sudah berusaha, Dhis. Tapi pernikahan itu nggak kayak hubungan pertemanan anak SD, kalau nggak suka bisa kamu tinggal pergi. Nikah buatku untuk seumur hidup dan meski dia menyebalkan, aku berusaha memahami abangmu. Hatiku hancur ketika dia bilang nggak mau punya anak dan makin patah waktu dia menyuruh aborsi… " Daisy tampak tersendat dan dia diam selama beberapa saat sebelum melanjutkan.
"Rasanya saat itu aku mau langsung kemasi barang-barangku dan pergi. Aku sudah bodoh menyia-nyiakan hidupku buat pria yang nggak menghargai nyawa manusia yang nggak berdosa. Tapi, kalau aku pergi, aku yang dicap sebagai istri tidak tahu diri dan yang paling penting, aku pengecut karena kabur dari masalah."
Khas Daisy banget, pikir Gendhis. Tapi dia tahu Krisna masih harus dimarahi.
"Aku peringatkan, Mbak, suamimu itu manusia biasa. Jika salah, peringatkan. Jangan manjakan dia kayak yang dilakukan Mbak Tika. Oke kakak iparku itu sudah menitipkan dia kepadamu, tapi hidupmu adalah hidupmu. Kamu orang dewasa, Daisy Djenar Kinasih. Stop main baper-baperan …"
"Lalu kamu mendukung supaya aku minta cerai dari Mas Krisna?" Daisy lantas bangkit dari sofa dan menatap Gendhis dengan bibir tertekuk.
"Lha? Yang nyuruh cerai siapa? Dari tadi Dhis cuma mau telepon Mas Krisna dan kasih tahu kalau dia bodoh. Kenapa kamu jadi sewot?"
Daisy menggeleng. Dia meremas-remas kedua tangannya lalu sejurus kemudian dia merasa pening dan yang bisa dia lakukan adalah berjalan dengan cepat menuju kamar mandi, meninggalkan Gendhis yang mengerutkan dahi melihat sikapnya yang tampak tidak asing lagi.
"Dasar! Kalau sudah cinta, tai kucing rasa cokelat, ya, Mbak? Disiksa batin sama Mas Krisna aja kamu masih bela. Padahal, aku mau wakilin kamu ngulek mukanya sampai puas."
Gendhis menghela napas lalu dia melemparkan ponsel miliknya ke atas sofa untuk kemudian menyusul Daisy yang kini sepertinya sedang menguras semua isi perutnya di dalam kamar mandi.
***
Jika saja hari itu dia tidak menghadiri pertemuan antar cabang regional, Krisna sudah pasti bakal memilih berada di rumah dan menemani Daisy. Wajah istrinya amat pucat dan menangis semalaman telah membuat penampilannya amat menyedihkan. Memang Daisy masih bersikap normal seperti biasa walau kata-kata yang Krisna ucapkan telah membuatnya hampir hilang semangat. Tetapi, Krisna tidak menampik bahwa perbuatannya tadi malam sudah membuat jarak selebar jurang menganga di antara mereka berdua.
"Ambil saja pisau, Mas. Kamu bisa tusuk dan cincang aku daripada pisahkan kami."
Tangisan Daisy saat wanita cantik itu sudah bersiap turun dari tempat tidur membuat Krisna menahannya. Dia sudah tidak lagi memaksakan kehendak kepada istrinya. Tapi, Daisy yang terlalu terluka sepertinya begitu tersinggung sehingga dia menolak setiap sentuhan yang Krisna berikan kepadanya.
"Maaf Desi selalu buat kamu kecewa, Mas. Sejak awal kita nikah, aku adalah sebuah bencana buatmu. Pergi menjauh mungkin sebuah solusi yang baik."
Napas Krisna seolah tercekik ketika teringat kembali betapa Daisy mencoba kuat di hadapannya tadi malam. Dia tidak tahu setan mana yang merasuk ke dalam kepalanya hingga bicara begitu tega kepada istrinya. Yang pasti, setelah dia sadar, tangisan Daisy yang sedang menangis gemetar sambil memeluk perutnya adalah hal yang paling menyedihkan yang pernah dia lihat.
"Desi sudah biasa dibuang, Mas. Kali ini pun, tak apa-apa. Aku rela dan pasrah. Bagaimanapun juga, dibandingkan Mbak Tika, aku sungguh tidak berguna."
"Kris?"
"Krisna?"
Sebuah tepukan di bahu kanan membuat Krisna tergagap. Dia mengangkat kepala dan seketika merasa agak panik karena tatapan semua orang di dalam ruang rapat tertuju kepadanya.
Krisna berusaha tersenyum. Di hadapannya sekarang sedang duduk salah satu petinggi exportir mobil yang salah satu hak dagangnya dipegang Astera. Karena itu juga, Krisna yang sempat salah tingkah sempat berdeham dan bangkit sembari menyiapkan slide presentasi yang sudah dia siapkan sejak kemarin.
"Maafkan saya. Akan saya mulai presentasi kami, Pak Rahmat."
Krisna berjalan menuju bagian depan ruang meeting diikuti oleh Faris, asistennya yang ternyata sudah siap menunggunya sejak tadi dan dia segera memulai presentasi setelah sebelumnya sempat mengucap basmalah dan berharap, pekerjaan yang susah payah dia tuntaskan akan mendapat hasil dan respon yang amat baik dari semua rekan kerja Astera Prima Mobilindo.
Satu jam kemudian, Krisna keluar dari ruang meeting dengan langkah terburu-buru. Dia bahkan tidak sempat menoleh lagi pada Fadli yang memanggil dari belakang. Pada saat itu, cabang yang dibawahi oleh sahabatnya juga turut serta ikut pertemuan sehingga kemudian dengan santai Fadli berniat untuk mengajak Krisna makan bersama.
"Gue nggak ikut, Fad. Lo aja temenin para bos." balas Krisna. Di tangannya saat ini dia memegang ponsel. Di layar tertulis nama Desi yang sempat membuat Fadli melirik sekilas. Tidak ada gambar wajah di sana padahal jelas-jelas tertulis nama istrinya di sana.
Kenapa bisa seperti itu, pikir Fadli? Apakah Daisy memang tidak punya foto profil? Atau memang dia membatasi foto pribadinya bahkan untuk suaminya sendiri?
"Kenapa? Tumben nggak ikut."
Krisna tahu bahwa di saat yang sama pandangan sahabatnya itu terarah kepada ponsel miliknya yang saat ini sedang terhubung dengan nomor Daisy. Tetapi, yang jadi fokus Fadli adalah sebuah cincin emas putih yang melingkar di jari manis kanan Krisna. Dia hapal betul tentang sejarah benda tersebut. Karenanya, tanpa rasa canggung, Fadli kemudian bicara lagi.
"Sama nyonya? Udah akur, dong, sekarang? Mau janjian makan bareng?"
Setelah insiden di hotel beberapa waktu lalu, hubungan mereka berdua sempat berjarak dan Krisna tidak lagi mau berurusan dengan Fadli. Tetapi, hari ini mereka kembali dipertemukan dan Krisna yang berpikir kalau ketegangan di antara mereka berdua seharusnya telah berakhir, memilih untuk tersenyum.
"Nggak. Nanya kabar aja."
Fadli sempat diam sejenak dan memperhatikan Krisna menunggu panggilannya terjawab sementara di belakang mereka, para petinggi perusahaan sudah keluar dari ruang rapat dan asisten keduanya sudah mengarahkan mereka untuk segera bergabung di ruang makan.
Krisna masih harus mengulang panggilan kembali karena yang pertama tidak mendapat respon. Untung saja, pada detik ke lima, panggilan berikutnya diangkat dan dia sempat mengulum senyum tanda lega karena yang dia tunggu akhirnya merespon.
"Bentar, Fad. Gue telepon dulu."
Krisna mundur beberapa langkah agar dia bisa bicara dengan istrinya sementara Fadli yang masih mengamati, mempersilahkan Krisna untuk melanjutkan pekerjaannya dan dI sendiri mengulum sebuah senyuman demi melihat gelagat pria yang selama ini selalu dibangga-banggakan oleh jajaran petinggi distributor mobil tempatnya bekerja.
Hm, agak aneh gue lihat lo, Kris. Udah nikah lagi, tapi cincin kawin lo sama Tika nggak dilepas-lepas sampai sekarang. Agak lucu. Sampai detik ini, lo nggak ngadain resepsi bahkan yang kecil-kecilan, mentang-mentang dia nggak protes.
Lo cinta nggak, sih, sama Desi? Cewek baik dan super alim itu mesti nahan sabar dikasarin sama manusia kayak lo. Sumpah gue nggak tega.
Desi nggak layak dapat laki kayak lo, Kris. Pria gagal move on yang tiap hari masih ngadu di kuburan bininya, lalu pulang ke rumah dan pasang akting seolah nggak terjadi apa-apa.
Entah apa yang dibicarakan oleh Krisna saat ini, tapi suaranya menegang dan dia menyebut istrinya dengan kata lo dan bicara dengan nada cukup tinggi sehingga membuat Fadli menggelengkan kepala dan menghela napas.
Wanita sebaik dan selembut Desi lo kasarin sampai segitunya. Benar-benar nggak ada otak lo, Kris.
Krisna kemudian tampak memutuskan panggilan dan memandangi ponselnya selama beberapa saat sebelum mengusap rambutnya dengan frustrasi dan kembali memasukkan ponsel ke saku celana. Dia lalu mendekat ke arah Fadli dan pura-pura bersikap santai lalu mengajak sahabatnya untuk ikut bergabung ke ruang makan bersama yang lainnya. Sementara, Fadli sendiri, mencoba tersenyum tetapi, di dalam hati dia menyesali tindakan sahabatnya itu.
Lo bakal nyesel kalau suatu saat ada pria baik yang merebut dia dan menjadikan dia ratu di istana lain, Kris.
Bahkan gue sendiri nggak bakal nolak kalau Desi dengan sukarela minta bantuan atau bahkan, minta gue jadi pengganti lo.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top