56

Waw yang komen rame.

Yang ga sabar, silahkan ke sebelah. Kalau bingung top up di KK, ke KBM gpp. KBM lebih murce.

***

56 Madu in Training

Gmn hslnya, Mbak?

Layar ponsel Daisy masih menyala dan pesan dari Gendhis sejak tadi sudah dia baca. Namun, Daisy tidak memiliki keinginan untuk membalasnya. Dia sendiri masih berbaring di atas tempat tidur. Kepalanya menempel di atas bantal yang permukaannya mulai basah karena air mata. 

Entah sudah berapa lama dia menangis dan membiarkan ponselnya menyala. Sebagai ganti foto USG yang dirobek oleh Krisna, Daisy melihat kembali galeri ponselnya, di mana Gendhis sempat mengabadikan gambar langsung dari layar televisi di kamar periksa dokter Siwi. Iparnya sempat mengirimkan pesan gambar tersebut dan Daisy merasa amat bersyukur masih menyimpan CD-nya. Dia akan mencetak lagi foto janin si kembar di panti dan menyimpannya di dalam sebuah album atau malah di pigura.

 Tentu saja, Daisy akan meletakkannya di kamarnya di panti. Tidak ada guna menyimpan kenangan di rumah ini. Toh, semua isinya adalah milik Krisna dan Kartika, bukan dia.

Sebuah pesan masuk lagi, tetap dari Gendhis. Mungkin dia penasaran dengan hasil obrolannya dengan Krisna tadi. Tapi, apa bisa dia mengutarakan semua yang telah terjadi kepada Gendhis tanpa membuat gadis itu mengamuk kepada abangnya?

Km msh bgn kan?

Kamu masih bangun, kan? 

Daisy membaca pesan tersebut dan dia sempat mengusap air mata di pipi dengan tangan kiri sebelum berusaha mengetik huruf-huruf dengan kedua ibu jarinya. Agak sedikit susah karena dia tahu kelopak matanya mungkin sudah sebesar bola golf. Ditambah lagi, suasana kamar yang gelap karena dia sengaja mematikan lampu sejak tadi. Krisna mungkin tidak akan tidur bersamanya malam ini. 

Biarkan saja. Daisy sedang butuh ruang untuk sendiri. Dia telah berpikir untuk meninggalkan rumah esok pagi. Krisna yang menyuruhnya untuk membuang kedua janin tidak bersalah di dalam kandungannya sudah sangat bertentangan dengan prinsip hidup yang dia jalani selama ini. 

Br mau tdur. Udh ksh th mas krisna.

Daisy membaca lagi pesan yang dia ketik sebelum dikirim. Rasa-rasanya aman walau jelas, sebentar lagi iparnya tersebut pasti akan memberondongnya dengan pertanyaan-pertanyaan lain. Dia harus menjawab apa? 

Tolong aku, Dhis. Mas Krisna menyuruh untuk menggugurkan janinku.

Daisy menghela napas. Daripada menolong, yang ada, suasana malah bakal jadi tambah runyam. Di satu pihak, Krisna yang ngebet untuk memintanya membuang janin di dalam perutnya, di pihak lain, Gendhis bakal mengajak abangnya perang. Bila Daisy tidak berpikir jernih, dia akan menjadi penyebab pertengkaran antar keduanya.

Biarin aja mereka berantem. Dhis udah bilang mau belain aku kalau Mas Krisna nggak nerima si kembar. Apalagi, kalau dengar kangmasnya mau nyuruh gugurin … 

Air mata Daisy meleleh hingga dia merasa pipi dan bantalnya menjadi hangat karena air mata. Dia menyusut ingus dan menunggu jawaban dari adik iparnya saat terdengar gerakan di depan pintu. 

Cepat-cepat Daisy menyembunyikan ponsel ke bawah bantal setelah dia buru-buru menonaktifkan layar. Daisy juga pura-pura memejamkan mata di saat pintu kemudian terbuka. 

Untung saja, saat itu lampu kamar sudah mati sehingga dia tidak bakal ketahuan sedang menangis. Lagipula, kenapa Krisna malah masuk kamar? Apa dia pikir Daisy mau menerimanya? Hanya manusia tidak punya otak yang senang mendengar buah hatinya harus dimusnahkan dari dunia.

Terdengar suara pintu kamar ditutup kembali dan tidak berapa lama, Daisy merasa sedikit tekanan di atas tempat tidur milik Gendhis yang kini menjadi tempat peraduannya. Tidak perlu ditanya, dia tahu dengan jelas siapa pelaku yang tidak tahu malu yang kini menaiki ranjang. Aroma tubuh yang kini masuk ke indra penciumannya adalah sebuah jawaban. 

Daisy tahu bahwa seharusnya dia bangkit dan mendorong tubuh suaminya hingga terjungkal dari kasur. Tetapi, dia merasakan satu usapan lembut di puncak kepala dan bisikan pelan di telinganya.

"Maaf sudah bikin kamu nangis." 

Daisy memejamkan mata, berusaha tak goyah. Namun, sentuhan ibu jari kanan Krisna di pipinya membuat dia harus menggigit bibir dan hampir lupa kalau saat ini sedang berpura-pura tidur.

"Aku pantas kamu benci." bisik Krisna lagi dan Daisy merasa kalau sekarang pria itu mengambil posisi di belakangnya, lalu kedua tangan pria itu mendekapnya dengan erat. Tangan kiri Krisna dengan pelan mengangkat kepala Daisy lalu dia menempelkan lengannya sebagai bantal sang istri. Tangan yang satu lagi Krisna gunakan untuk memeluk tubuh Daisy. 

"Maafin aku, Des. Maaf." 

Entah keberanian dari mana, Daisy kemudian berusaha melepaskan dekapan Krisna. Hanya saja, dia kalah tenaga, tidak peduli dari bibirnya dia nyaris berteriak sewaktu minta dibebaskan, "Lepas!"

Dia tahu kalau saat itu Krisna menggeleng. Dari bibirnya tidak putus keluar ucapan maaf sekalipun sang nyonya meminta untuk ditinggalkan dan melanjutkan tangis yang tadi tertunda.

"Aku salah." 

Pengakuan Krisna barusan membuat Daisy benci kepada dirinya sendiri. Ingusnya banjir dan dia tidak punya tisu. Entah bagaimana kondisi sarung bantal milik Gendhis saat ini. Yang pasti, dia yakin, hampir separuhnya basah kuyup. 

"Lepasin." Daisy memohon. Entah kenapa, Krisna makin mengeratkan pelukannya. Beberapa menit tadi dia sudah berpikir untuk pergi dan menjalani kehidupan bertiga saja dengan anak-anaknya. Tidak mengapa mereka tidak memiliki ayah. Anak-anaknya bakal punya banyak saudara yang menyayangi lebih dari ayah kandung mereka. Tapi kini, kedatangan Krisna, ucapan maaf serta pelukan hangatnya telah membuat pertahanannya kembali bobol dan dia tidak bisa berbuat apa-apa lagi ketika pria itu mengecup puncak kepalanya dan kembali meminta maaf.

Pergi, Des. Kamu bodoh kalau masih bertahan di sini. 

Tapi, Mas Krisna sudah minta maaf. Apa dia mengaku salah? Apa dia bakal mempertimbangkan ulang, mempertahankan anak-anak kami?

Daisy masih sempat menebak-nebak, ketika perlahan tangan kanan pria itu merayap hingga ke bagian bawah perut Daisy dan dia memberikan usapan begitu pelan, sehingga Daisy harus menutup wajahnya dengan kedua tangan lalu menangis sejadi-jadinya di sana.

***

Ketika bangun, Daisy merasakan kedua kelopak matanya terasa amat susah untuk terbuka. Dia bahkan tidak tahu jam berapa saat ini. Tubuhnya terbelit dalam pelukan Krisna yang tidak sadar sudah berjam-jam menahan kepala Daisy dengan tangannya sendiri. Tangan kanan kokoh milik suaminya masih mendekap perut Daisy. Namun, tidak seperti tadi malam, kini tangan itu sudah bergerak ke arah perut. Mungkin, saking lelapnya tidur, Krisna sudah tidak sadar lagi dengan posisinya saat ini. 

Daisy sendiri berusaha memicingkan mata. Sepertinya langit masih gelap. Mereka berdua tertidur sebelum tengah malam. Setelah lelah menangis dan bujukan lembut dari suaminya, membuat Daisy akhirnya terlelap dengan suara isak yang memilukan hati. 

Salahkan saja Krisna yang sebelumnya memaksa Daisy untuk membuang anak mereka padahal dia sendiri punya latar belakang sebagai anak buangan. Bagaimana dia bisa melakukan hal yang sama terhadap bayinya sendiri? Karena itu, Daisy begitu marah kepada suaminya karena begitu keji, selain memisahkan ibu dan anak, perbuatan Krisna nyaris disebut dengan pembunuhan. 

"Nggak peduli kamu rajin baca Al Quran, salat, berbakti kepada orang tuamu, begitu kamu minta anakmu untuk digugurkan, aku nggak pernah lagi memandang kamu sama, Mas."

Daisy mengusap air mata yang tahu-tahu saja kembali mengalir begitu dia teringat cuplikan pertengkaran mereka sebelum tidur. Daisy yang tidak ingin disentuh oleh suaminya, mendadak ingin turun dari ranjang dan merasa dia harus berkemas. Tetapi, bodohnya dia malah diam begitu Krisna kembali mengucapkan kata maaf. Mulutnya sempat mengucap, "Enak saja kamu bilang maaf. Setelah ucapanmu di luar tadi, kamu kira Desi bisa dengan mudah maafin kamu, Mas? Boleh kamu hina aku, bilang lonte atau pelacur. Kamu juga boleh bilang aku nggak sehebat atau seujung kukunya Mbak Tika, atau aku anak buangan, tapi, menyuruh anak-anakku digugurkan? Kamu nggak beda dengan pembunuh."

Daisy tidak pernah suka dengan marah. Dia merasa tidak bisa bicara normal bila emosinya sedang meluap-luap. Tangannya bakal gemetar, jantungnya bakal berdentam-dentam. Tapi, untuk pertama kali, dia ingin mempertahankan harga dirinya, anak-anaknya di depan pria brengsek dan dungu yang tidak pernah bisa move on dari istri pertamanya yang sudah lebih dulu pergi.

"Sudah bangun?" 

Suara Krisna membuat Daisy mendadak menghapus air mata. Gara-gara itu juga, Krisna kemudian meninggikan tubuhnya lalu mengusap air mata di pipi kanan istrinya. 

"Masih nangis?"

Apakah Daisy mesti menjawab? Dasar Krisna gila, dengan air mata bercucuran walau dia sudah berusaha menghapus, jelas sekali Daisy menangis. Kini, dia seperti orang bingung bertanya apakah Daisy masih menangis? 

"Nggak. Habis ceramah." Daisy menyusut ingus. Kurang asemnya, Krisna malah mengecup pipi kanannya dan membuat tubuh Daisy berada di bawah rengkuhannya. 

“Mau pukul aku?” 

Tanpa menunggu jawaban, Krisna menarik tangan kanan Daisy dan membawanya untuk memukul-mukul dada dan kepala pria itu. Sekalipun Daisy menolak, Krisna terus melakukannya hingga istrinya mengeluh kalau tangannya sakit. 

“Sori.”

Daisy memilih tidak menjawab. Dia memalingkan wajah dan berusaha tidak melihat wajah menyebalkan milik suaminya. Dia tahu, seharusnya segera pergi begitu pria itu menyuruh menggugurkan anak mereka.

“Jangan pergi, Des. Aku tahu kesalahanku tadi malam tidak bisa ditolerir. Aku cuma berusaha jujur, saat ini aku nggak bisa punya anak …”

“Mereka nggak butuh kamu sebagai ayah mereka. Aku bisa mengurus anak-anakku sendiri.”

Daisy berusaha melepaskan diri, namun Krisna yang menatapnya saat ini kembali meminta maaf seolah hanya itu yang bisa dia lakukan. Kenyatannya, permintaan maafnya tetap membuat Daisy terluka. 

“Kasih Desi waktu, Mas.”

Pernyataan barusah berhasil membuat Krisna diam selama beberapa detik. Setelah melihat wajah Daisy yang tetap menolak balas menatapnya, dia tahu akhirnya harus menyerah. Krisna kemudian melepaskan tautan tangan mereka dan berusaha duduk dari tempat tidur, sementara Daisy memilih bangkit dan cepat-cepat keluar dari kamar tanpa menoleh lagi.

Gara-gara itu juga, Krisna memilih untuk menghela napas dan meremas rambut. Perasaannya kacau dan dia kemudian memijat pelipis demi mengenyahkan perasaan tidak enak yang menjalari kepala hingga dada. 

Bodoh! 

Lo manusia paling bodoh di dunia, Krisna Jatu Janardana.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top