53 & 54
Dua bab, nih. Kalau komennya nggak banyak, mending yang mau baca pindah lapak aja ke karyakarsa atau kbm. Beneran.
Eke lagi sensi banget. Apalagi sama pembaca yang ngakunya setia, tapi keliaran di lapak ebook ilegal. Eke sumpahin lo merana seumur hidup. Sumpaaaah. Di sini dah ada gratisan, masih aja nyari bajakan. Tukang bajak, bagi2 ebook gratis juga eke sumpahin, gak rido diriku dunia dan akhirat.
Nggak usah juga minta maaf terus maksa minta dimaafin, terus kilah mo ganti rugi. Esmeralda, maaf itu tidak semudah engkau mendonlot pdf eke terus yey nyalahin gugel.
Salahin nafsumu yang lebih besar daripada budget.
Kejam?
Emang. Baru tahu?
Tapi masih aja baca lapak eke.
***
5354Madu
Untung saja, kegaduhan yang terjadi di antara Gendhis dan Daisy tidak membuat Krisna curiga. Namun, gara-gara statusnya barusan, Daisy langsung memberi ultimatum kepada iparnya itu kalau dia tidak akan mengizinkan Gendhis menggendong anaknya ketika dia lahir. Gendhis tentu saja protes dan berkata, "Ya ampun, Mbak. Biar kalian nikah siri, anak kalian sah."
Daisy yang saat itu bersyukur, Krisna sudah kembali ke kantor dengan menumpang taksi online memandangi wajah saudara iparnya dengan tatapan sedih. Tidak banyak yang tahu kalau dia dan Krisna sudah menikah. Walau dia tidak merasa repot memberi tahu, termasuk meminta maaf karena tidak sempat mengundang, ketakutan yang paling besar tentu saja karena Bunda Hanum dan Krisna sendiri belum tentu senang. Gendhis sudah tahu tentang Krisna yang sejak awal tidak menginginkan anak selain yang dilahirkan oleh Kartika. Tetapi, dia belum tahu kalau Bunda Hanum juga berpikir hal yang sama.
Mungkin, ibu mertuanya berpikir suatu saat Krisna bakal menceraikan Daisy sehingga option hamil tidak ada dalam rencananya. Daisy juga tahu, beberapa kali acara yang melibatkan dirinya dan sang suami, wanita-wanita muda yang cantik, keturunan dari pejabat A, B, C, atau putri dari komandan serta bangsawan, turut hadir. Daisy sendiri tidak bisa protes. Dia sadar diri dengan posisinya sebagai istri siri. Bukan tidak mungkin, bila Krisna melihatnya marah kepada Bunda Hanum, dia bakal diceraikan.
Toh, Daisy tahu, betapa sayangnya Krisna kepada sang ibu. Kepada Kartika saja dia amat kasih dan begitu protektif hingga menjadikan Daisy sebagai bulan-bulanan saat kehilangannya. Apalagi, kepada ibunya sendiri, wanita yang telah melahirkannya. Meskipun sekarang hubungan mereka mulai membaik, Daisy selalu waspada. Dia belum mengenal Krisna sedalam Kartika dan dua bulan lebih pernikahan mereka masih amat kurang untuk tahu seperti apa pria yang menikahinya.
"Memang. Tapi, aku masih mempertimbangkan beberapa hal. Aku nggak bisa langsung bilang kepada Mas Krisna tentang keadaanku. Iya kalau dia menerima. Jika tidak, gimana? Aku masih ingat dengan jelas ancamannya di awal kami menikah."
"Dulu dia belum ngerasain enaknya." tanpa rasa berdosa Gendhis mulai berceloteh, "tuh, sampai bunting."
Astaga. Daisy terpaksa menepuk dahi melihat kelakuan saudari iparnya itu. Tapi, dia tidak heran lagi. Bunda Hanum sepertinya mewariskan bakat pandai berbicara kepada anak-anaknya. Tetapi, dari pemantauan Daisy, Krisna dan Gendhislah yang paling menonjol. Si bungsu bahkan tidak ragu menjadi pendebat ibunya sendiri bila tidak sependapat. Dan kini, dia dibuat pusing dengan kelakuan Gendhis.
Bukan Daisy tidak mau membalas. Jika dia mau, tentu bisa. Tetapi, sebenarnya Gendhis adalah wanita dengan hati yang amat sensitif dan mudah tersinggung. Punya ibu dengan mulut tajam membuatnya berani melawan, hanya saja, dia kemudian membuat benteng amat tebal dan tinggi supaya tidak ada yang tahu kalau hatinya amat rapuh. Daisy paham betul sifat sahabatnya itu. Karenanya juga, dia tidak berani bercerita tentang rundungan yang diperbuat ibu mertuanya kepada Gendhis. Sudah pasti gadis itu bakal membela Daisy mati-matian sementara dia sendiri tahu betul kalau Bunda Hanum kurang suka kepadanya.
Apalagi soal kehamilan ini. Sekarang, Daisy ingin merahasiakannya dulu. Biarlah hanya Gendhis yang tahu. Nanti, bila dia sudah siap, semua orang bakal dia beri tahu. Suaminya, sudah pasti. Ummi Yuyun, tentu saja. Dan Syauqi …
Untuk nama yang terakhir, Daisy merasa tidak yakin. Tapi, bila memberi tahu, pastilah Syauqi bakal merasa amat senang. Selama ini dia selalu salah mengira tentang perasaan pria itu. Nyatanya, tadi saja, Syauqi tidak menunjukkan rasa cemburu sama sekali saat Daisy menemani Krisna makan.
Kapalnya oleng karena cintanya tidak bersambut dan Daisy hanya sedikit menyayangkan betapa dirinya dulu begitu bodoh berjuang sendiri, berharap pria itu bakal membalas perasaannya.
"Ya udah. Sekarang masih mau beli laptop, kan?"
Daisy tersadar dari lamunan dan ketika menoleh ke arah Gendhis yang duduk di bangku pengemudi, dia mengangguk, "Jadi, Dhis. Aku malu pinjam laptop yayasan terus. Apalagi sejak aku minta libur di hari Sabtu dan Minggu, laptop kubawa pulang. Nggak enak aja. Lagian kemarin aku nulis cukup banyak pas Mas Krisna lembur. Nggak ada yang gangguin."
Jelas di telinga Gendhis, arti kata tidak ada yang mengganggu sama artinya dengan dia bebas mandi wajib. Seketika juga bulu kuduknya merinding dan Daisy hanya menggelengkan kepala melihat kelakuan sahabatnya itu.
"Dia nggak heran lihat kamu bisa digarap tiap hari?"
Daisy mengedikkan bahu. Krisna tidak pernah bertanya. Setiap pria itu ingin, dia akan meminta kepada Daisy. Daisy sendiri tidak keberatan melayani suaminya selagi sanggup. Tapi, karena kata-kata Gendhis barusan, dia tidak bisa berpikir jernih lagi.
“Nggak tahu. Tapi, kupikir karena sempat minum obat KB jadinya nggak mens.”
Wajah Gendhis kentara sekali hendak menertawakan Daisy yang kelewat polos, “Mbak. Mbak. Udah pernah kita bahas loh, ini. Aku senang karena kelalaianmu itu aku jadi punya keponakan. Tetapi, setelah anak kalian lahir nanti, kalian mesti concern buat rawat dia dulu.”
Gendhis sempat berhenti sejenak sebelum melanjutkan, “Mumpung kita sudah di jalan, mau periksa nggak? Atau kamu mau bareng Mas Krisna?”
Karena itu juga, Daisy terdiam. Dia tanpa sadar menyentuh perutnya sendiri. Di sana sudah bertumbuh buah cintanya dengan pria bermulut tajam yang kurang dari satu jam lalu membuatnya menangis. Padahal, Krisna hanya bicara seperti gaya dia yang biasa dan Gendhis yang sempat melihat keanehan pasangan tersebut kemudian menyimpulkan kalau hormon ibu hamil sudah mulai memengaruhi dirinya.
“Bagusnya gimana?” tanya Daisy dengan wajah bingung. Dia sebenarnya amat gugup saat ini. Tetapi, dia amat sering mendengar hampir semua pasangan berangkat bersama di hari pemeriksaan pertama. Masalahnya, Krisna bahkan belum tahu. Lalu, bila pria itu telah tahu, apakah mungkin mereka bisa melakukan kunjungan bersama ke klinik kehamilan?
“Ya, bagusnya langsung periksa.” Gendhis membalas pendek. Matanya sesekali terarah pada jalan lalu gadis itu bicara lagi, “Bentar, kok, kalau mau periksa.”
“Disuntik, nggak, Dhis?”
Gendhis sempat menoleh dan melemparkan pandangan jijik kepada iparnya tersebut, “Mbak, ih. Disuntik Mas Krisna aja kamu kuat. Nggak mati, kan? Malam pertama itu paling nakutin, tapi, kamu masih cekakak-cekikik sampai sekarang.”
Andai dia tahu kalau malam pertamanya dengan Krisna jauh dari kata romantis. Daisy bahkan sempat berharap kalau saat itu nyawanya langsung dicabut. Hanya saja kematian Kartika, keruwetan pasca meninggalnya sang kakak angkat membuat Daisy berusaha berdamai. Jika ingin marah, dia seharusnya melampiaskan semuanya kepada Krisna, entah melempar pria itu dengan kursi, vas bunga, tetapi Daisy tidak melakukannya.
“Cekakak-cekikik apanya?”
Wajah Daisy berubah merah. Tetapi, dia memutuskan untuk tidak bercerita. Jika mulutnya bocor, sudah pasti Gendhis bakal marah dan memukul abangnya. Lagipula peristiwa tersebut sudah berlalu dan kini dia telah mengandung buah hati mereka. Semua dendam dan amarah sudah dia kubur dalam-dalam, terutama setelah Krisna meminta maaf.
Dia tidak peduli disebut wanita murahan karena begitu mudah memaafkan suaminya. Tetapi, buat Daisy yang seumur hidup ditolak dan diperlakukan kurang baik oleh keluarga angkatnya dulu, perbuatan Krisna telah menyentuhnya hatinya. Bahkan, saat pria itu tanpa ragu mengeluarkan sapu tangan dan mengusap air mata Daisy tadi sudah membuatnya amat terharu. Dua bulan lalu Krisna bahkan memperlakukannya dengan amat tidak manusiawi sehingga kebaikan sekecil apa pun amat berarti buat Daisy.
“Ke dokter dulu, deh.” tiba-tiba saja Daisy berubah pikiran. Mungkin ada baiknya mereka memeriksakan hamil tidaknya Daisy di klinik terdekat. Kalau hasilnya sudah pasti, dia bisa langsung berterus terang kepada Krisna. Harapannya, tentu saja pria itu merasa senang dan menerima kehamilannya.
Mas Krisna sudah berubah. Mungkin yang kemarin cuma emosi sesaat saja, Daisy mencoba menenangkan hatinya.
Gendhis sekali lagi meminta konfirmasi dan Daisy membalas dengan anggukan. Urusan laptop akan dia pikirkan sekembali dari Klinik. Lagipula, Gendhis sudah memberitahu Krisna kalau dia sendiri yang akan mengantarkan iparnya hingga masuk rumah sehingga pria itu tidak perlu memikirkan Daisy. Walau, selama ini, Daisy pergi dan pulang menumpang ojek atau taksi online. Dan ketika akhirnya Gendhis membelokkan mobilnya ke sebuah klinik ibu dan anak, Daisy mengelus perutnya dan merapalkan sebaris doa, semoga ini menjadi awal yang baik untuk keluarga mereka.
***
Setelah antre dan akhirnya diizinkan masuk ke ruang periksa, Daisy yang mulanya amat gugup, merasa makin tidak karuan begitu dia diminta oleh dokter kandungan untuk naik ke atas ranjang periksa. Hanya saja, tatapan Gendhis yang menyuruhnya untuk mengikuti instruksi dokter, pada akhirnya membuat jilbaber itu menyerah.
Daisy baru panik ketika dia diminta membuka gamisnya karena harus diperiksa bagian perutnya yang membuat Gendhis nyaris mengatainya kampungan. Tapi, sadar kalau iparnya adalah mantan perawan sebatang kara, tak beribu bapak sehingga pengetahuan di bidang reproduksinya amblas dan hampir minus, Gendhis kemudian mengatakan kepada Daisy kalau dokter akan melakukan prosedur pemeriksaan.
"Pakai legging atau kulot, kan? Ya, kali langsung pakai sempak."
Astaga, kelakuan ipar siapa ini? Keluh Daisy di dalam hati. Gara-gara itu juga, dokter wanita berparas amat cantik di hadapannya tertawa. Daisy tadi sempat membaca namanya dan mendapati kalau dokter cantik tersebut bernama dokter Siwi. Seperti Daisy, dia juga berhijab. Karena itu, Daisy langsung merasa nyaman dan tidak terlalu gugup seperti saat awal tiba di klinik tadi.
"Papanya nggak ikut?" tanya dokter baik hati itu setelah dia mengoles gel dingin di permukaan perut Daisy, hingga membuat wanita itu sedikit merinding. Sejenak, dia juga merasa agak sedikit mual begitu bagian alat pemindai menyentuh perutnya. Dokter juga agak sedikit menekan-nekan alat itu sehingga Daisy merasa berdebar-debar. Tapi, untuk mengalihkan perhatian, Daisy menjawab kalau Krisna masih berada di kantor.
"Makanya ditemenin sama Tantenya?" tanya sang dokter ramah. Gendhis menjawab dengan anggukan karena Daisy tampaknya lupa cara berbicara dengan baik dan benar.
"Dua kantong kehamilan." gumam dokter Siwi setelah beberapa saat menatap layar di mesin USG di hadapannya. Hal tersebut membuat Gendhis nyaris berteriak, "Yang benar, Dok?"
Daisy yang masih bingung tampak tidak mengerti, walau dia telah dibantu untuk melihat ke arah layar LED besar yang berada di dinding, tepat di seberang tempatnya tidur saat ini. Gambaran dari mesin USG tampak di layar yang sama. Meski begitu, Daisy yang pertama kali mengalami hal seperti ini di dalam hidupnya butuh penjelasan lebih banyak lagi.
"Iya. Ini udah jelas banget. Masuk sebelas minggu. Dua embrio."
Dua? Apa maksudnya dua kantong kehamilan dan dua embrio? Daisy belum mengerti sama sekali. Gendhis malah terlihat amat bersemangat dan tanpa ragu mengeluarkan ponselnya untuk membidik layar. Duh, Daisy harus mengingatkan kembali wanita tersebut untuk tidak gegabah seperti tadi. Dia tentu akan memberi tahu Krisna, suaminya, tetapi, setelah dokter Siwi memberikan penjelasan seterang-terangnya.
"Maksudnya apa ya, Dok? Dua kantong kehamilan sama dua embrio, artinya anak saya sehat atau gimana?"
Dokter Siwi tersenyum tipis, begitu manis hingga membuat Daisy minder. Untung saja sore itu dia memakai gamis pemberian suaminya sehingga rasa malu karena biasanya hanya memakai gamis yang kelewat sering dicuci dan dipakai lagi tidak nampak hari itu.
"Kembar, Bu."
Kembar? Daisy sempat kehilangan kata-kata selama beberapa detik. Dia memilih diam dan membiarkan Gendhis mengambil alih menanyakan tentang ini dan itu sementara Daisy hanya sanggup memandangi dua bayangan mungil di layar televisi dengan perasaan yang amat sulit dia jelaskan.
"Buang."
"Nggak boleh ada anak yang lahir dari rahim selain Tika."
"Mbak."
"Mbak Desi."
Sebuah tepukan pelan di bahu kanan Daisy menyadarkan wanita itu bahwa kini Gendhis sedang mengajaknya berbicara. Daisy sempat mengerjap beberapa kali lalu dia menoleh ke arah sekeliling. Mereka sudah tiba di depan pagar rumah milik Krisna. Dari depan, Daisy bisa melihat mobil miliknya berada di depan garasi.
Krisna sengaja memilih rumah dengan pekarangan luas agar bisa menampung beberapa mobil. Semasa Kartika hidup, wanita itu sering mengundang keluarga suaminya untuk makan bersama dan biasanya akan ada lebih dari lima mobil yang datang, termasuk milik Gendhis dan Bunda Hanum.
Daisy sendiri ketika pertama kali diajak datang ke rumah Kartika, merasa amat minder. Tetapi, sifat kaka angkatnya yang begitu baik dan tidak pernah pilih-pilih teman, membuat Daisy mau tidak mau harus terbiasa dengan keadaan di rumah wanita itu. Meski kini sudah menjadi ratu di rumah milik suaminya, Daisy belum merasa dirinya adalah bagian dari rumah tersebut. Dia sadar diri dengan tempatnya sendiri dan tahu, dia tidak layak menghuni istana milik Kartika meski madu tuanya tersebut amat mengizinkan Daisy menguasai rumah itu sesuka hatinya.
"Kita udah sampai." bisik Gendhis kemudian. Dia seolah mengerti kegalauan yang melanda Daisy sehingga tidak lagi bicara dengan suara keras apalagi menyindir seperti biasa.
Usai keluar dari klinik, bukannya bahagia, Daisy malah memandangi foto hasil USG beserta CD di dalam genggamannya dalam diam. Daisy sempat termenung di dalam mobil dan begitu Gendhis menyentuh bahunya, dia malah menitikkan air mata.
"Gimana ini, Dhis? Ada dua bayi di dalam perutku. Satu saja Mas Krisna belum tentu setuju. Ini ada dua. Aku mesti gimana?"
Tangan Daisy bahkan begitu dingin dan gemetar saat dia menangis sehingga Gendhis ikut merasakan panik. Ketika dia mengusap bahu Daisy, Gendhis berpikir bakal salah kalau dia ikut larut dalam tangisan.
"Mbak, di tempat lain, orang berusaha buat bisa hamil dan punya anak. Kalian, tahu-tahu dikasih anugerah dua sekali hamil. Dulu, Mbak Tika melakukan segala cara, sampai akhirnya rahimnya capek dan dia harus menyerah karena keadaan. Syukuri dulu, ucap alhamdulillah. Diberi satu anak saja orang-orang sudah bahagia, kamu dikasih dua, loh."
Daisy sampai susah bernapas karena dia kesulitan mendeskripsikan perasaannya saat ini. Bahagia? Sejak tahu dirinya berbadan dua dia sudah berbahagia. Tapi, menyimpan semua untuk dirinya sendiri amat menyesakkan. Dia ingin Krisna tahu tanpa pria itu mesti marah. Hanya saja, kenyataannya susah. Bila nanti Krisna meminta Daisy untuk menggugurkan dua janin di dalam perutnya? Apa yang bisa dia lakukan? Dia sudah jatuh cinta kepada dua calon bayinya. Membayangkan Krisna bakal memisahkan mereka, membuat Daisy tidak bisa berpikir dengan jernih.
"Aku mesti gimana, Dhis?" Daisy terisak-isak. Gendhis yang melihatnya semakin bingung.
"Aduh, Mbak. Hadapi saja dulu. Ini sudah mau salat Magrib. Kamu masuk, salat, doa yang banyak supaya hati Mas Krisna dilembutkan. Atau butuh bantuanku?"
Mendengar tawaran bantuan dari Gendhis bukannya membuat Daisy tenang. Dia makin khawatir bakal ada perseteruan antara dua kakak beradik itu. Keadaan pasti bakal tambah runyam. Karenanya, Daisy memilih untuk menggeleng.
"Jangan, Dhis. Kabar gembira ini seharusnya aku yang kasih tahu Mas Krisna. Kamu nggak perlu repot. Tapi, nanti, kalau butuh bantuan, aku bakal kasih tahu kamu." Daisy menyentuh lengan kiri Gendhis yang saat itu mengenakan T-shirt berwarna pink neon, serasi dengan cat rambutnya yang saat ini selalu membuat mata Daisy sakit jika melihatnya.
"Yang benar? Yakin berani ngomong di depan Mas Krisna?" Gendhis memastikan. Alis matanya naik sebelah dan dia kelihatan tidak percaya dengan kata-kata iparnya barusan. Bagaimanapun juga, Daisy tidak seperti teman-temannya yang lain, yang berasal dari keluarga lengkap. Daisy yang kini sah menjadi iparnya ini adalah wanita yang lebih suka mengalah demi menghindari konflik. Karena itu juga, dia lebih suka bekerja sendirian, di belakang layar, daripada menjadi pegawai kantoran. Di dunia nyata, dia lebih suka bergaul dengan keluarganya yang ada di panti. Bagi Daisy Djenar Kinasih, hidup yang dia punya sebatas panti. Krisna adalah semesta baru yang membuatnya lebih banyak belajar.
"Kalau ngomong doang, sih berani. Tapi aku takut kalau dia nggak terima. Itu aja." Daisy mengambil sehelai tisu dari tempat tisu di atas kepalanya dan menyeka air mata di pipi yang sejak tadi tidak berhenti meleleh, "Bayangkan dipisahkan dengan calon anak-anakmu sebelum sempat ketemu."
Daisy berusaha tersenyum tetapi, Gendhis yang paham perasaannya segera mengelus bahu kanan iparnya, "Mbak, aku juga ikut berdoa semoga Mas Krisna nggak segila itu. Kamu harus kasih tahu kabar setelah bicara dengan dia. Kalau memang dia jadi sinting, sumpah aku bakal datang. Enak aja dia suruh-suruh kamu buang keponakanku."
"Makasih sudah mau dengerin, Dhis. Kamu temanku yang sangat baik." Daisy menyusut air matanya kembali, "Aku beruntung banget dikasih Allah … "
Daisy berhenti berbicara karena di saat yang sama, pintu pagar tahu-tahu terbuka dan sosok Krisna muncul dengan pakaian kesukaan Daisy, koko putih dan sarung hitam.
"Sudah sampai, kok, nggak bilang-bilang?" Krisna mendekat ke arah mobil dan gara-gara itu juga Daisy cepat-cepat memeriksa keadaan diri yang dia tahu sedang kacau. Hidungnya sudah pasti merah dan kelopak matanya sudah jelas bengkak.
Krisna menghampiri pintu penumpang tempat istrinya berada. Dia agak sedikit terkejut melihat wajah istrinya yang jelas sekali habis menangis.
"Lho? Kenapa? Berantem sama Gendhis? Tadi katanya mau beli laptop. Uangnya kurang?"
Daisy menggeleng tepat saat Gendhis protes kalau seharusnya yang bertanggung jawab atas Daisy adalah Krisna. Krisna sendiri yang membantu istrinya keluar mobil mengedikkan bahu. Dengan wajah tanpa dosa dia lalu bicara, "Dia kalau belanja sama suaminya malah nggak mau. Malu. Takut duitku diabisin sama dia."
"Ya, lo usaha, dong. Dia nggak mau belanja bareng, lo delivery, kek. Alesan aja. Nih, gue yang cuma ipar aja mau dia ajak ke mana-mana."
Daisy memberi kode lewat pandangan mata kepada Gendhis kalau dia tidak perlu memperpanjang obrolan dengan Krisna. Selain karena hari sudah mulai gelap, dia juga mesti menyiapkan mental untuk bicara kepada suaminya.
"Masuk dulu aja, Dhis. Udah mau Magrib." ujar Daisy yang akhirnya merasa khawatir karena Gendhis memutuskan untuk pulang tidak lama setelah Daisy turun dan Krisna membawa belanjaan istrinya, satu kantong kertas dengan sebuah boks besar berisi laptop baru.
"Iya, masuk, gih. Perawan masih di luar magrib-magrib gini." sambung Krisna begiu Gendhis menggeleng dan mulai menyalakan mesin mobil.
"Nggak, ah. Mau balik. Mandi. Gerah semua badan gue dari siang panas-panasan."
Saran Daisy agar Gendhis mandi di sana terlebih dahulu tidak mendapat respon positif. Alasannya jelas, Gendhis tidak mau banyak ikut campur lagi sebelum Daisy siap memberitahu Krisna. Tapi, sebelum berlalu, Gendhis tidak lupa membuat gerakan menelepon kepada Daisy yang artinya adalah dia harus cepat memberi kabar segera setelah info kehamilan didengar oleh Krisna yang dibalas anggukan pelan. Begitu si perawat cantik itu berlalu, Krisna menggenggam tangan Daisy untuk masuk ke pekarangan rumah bersama-sama.
"Aku beli nasi padang, dua bungkus."
Dengan penuh rasa bangga, Krisna memberi tahu Daisy prestasinya hari itu. Membeli dua bungkus nasi rendang dan tambahan seporsi ayam pop beserta gulai nangka yang membuat Daisy terkejut, "Nggak kebanyakan?"
"Nggaklah." balas Krisna masih dengan senyum lebar. Dia sendiri kemudian memperhatikan isi belanjaan Daisy dan berkata seharusnya wanita itu tidak perlu membeli laptop. Dia punya satu lagi laptop yang tidak terpakai di ruang kerjanya dan Daisy boleh meminjam sesuka hati.
"Nggak lah, Mas. Mana berani Desi pakai barang-barangmu."
Suara Daisy terdengar pelan dan lembut. Bahkan, wanita itu sendiri tidak sadar dengan ucapannya barusan. Tetapi, Krisna sampai harus berhenti di tempat demi mendengar kalimat tersebut keluar dari bibir istrinya.
"Kan, sudah kamu bilang, Desi nggak boleh sembarangan pakai benda-benda di rumah."
Daisy kemudian melanjutkan, "Lagian laptop ini buat Desi cari uang, kok. Masak pakai yang gratisan. Harus keluar modal."
Daisy mengulas seutas senyum dan mempercepat langkah meniti anak tangga yang terbuat dari granit hitam. Pintu rumah terbuka lebar dan dia mengucap salam ketika masuk rumah sementara Krisna sendiri hanya diam ketika melihat Daisy memegang erat tas selempangnya. Di sana terdapat beberapa jenis vitamin dan foto serta CD USG milik Daisy yang tidak berani dia perlihatkan kepada suaminya. Daisy sedang mengumpulkan niat dan semoga saja mood suaminya sedang baik ketika mereka bicara nanti.
"Boleh. Mau pakai apa aja, juga nggak masalah. Kamu mau pakai kolorku juga boleh." Krisna membalas setelah dia menutup pintu, sementara Daisy memajukan bibir, "Aduh. Kolormu gede-gede. Yang benar aja." Daisy berusaha tersenyum. Bila benar dia boleh menggunakan apa saja, seharusnya dia juga diperbolehkan tidur di kamar pria itu dan Kartika. Tetapi, Daisy dengan bijak menahan diri. Bagaimanapun juga, Krisna tetap butuh ruang sendiri dan dia tidak bakal melangkahi teritori yang suaminya buat. Bukankah dia juga punya wilayah sendiri, di lemari paling bawah milik Gendhis, tempat dia menyimpan hampir semua barang-barang berharganya? Krisna juga tidak dia perbolehkan menyentuh dan membuka tempat itu sampai kapan pun.
Impas, bukan? Kalian sama-sama punya rahasia, ujar Daisy kepada dirinya sendiri.
"Habis Magrib nanti, Desi mau ngomong."
Dia tahu, cepat atau lambat kehamilannya bakal diketahui. Benar kata Gendhis, lebih cepat jauh lebih baik. Lagipula, sebelum si kembar lahir, dia mungkin bisa membujuk Krisna melegalkan pernikahan mereka. Tidak ada resepsi, tidak masalah. Yang penting anak-anak mereka punya kedudukan kuat di mata hukum.
"Ngomong apa, sih? Bikin penasaran." Krisna bertanya setelah dia meletakkan laptop Daisy di depan sofa ruang tengah. Tidak butuh waktu lama, Daisy mengambil benda itu untuk dia bawa ke kamar Gendhis.
"Soal penting. Tapi, Desi juga butuh mandi dan salat. Juga doa."
Daisy tersenyum lalu pamit izin ke kamar sementara Krisna memandangi istrinya dengan tatapan perpaduan antara bingung dan penasaran. Dia ingin bertanya tetapi di saat yang sama azan Magrib telah berkumandang dan itu artinya, dia harus bergegas.
Apa pun yang akan dikatakan Daisy nanti, semoga saja merupakan berita yang bagus karena sungguh, dia ingin sekali tahu apa penyebab sang nyonya sampai menangis di depan adik iparnya sendiri.
Berita bagus, tidak bakal membuat Daisy Djenar Kinasih menangis hingga terisak-isak seperti itu.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top