51

Hari ini apdet.

BTW ga usah nulis di wall, nungguin desi lama apdet, kok ga apdet2 min. Eke apdet di Karyakarsa dan KBM app. Udah tamat. Mau Yaya Malik, mau Desi Nana. Jadi kalo ga sabar ya ke sana aja.
2000 rupiah satu bab.

Min, mending beli minyak, beli sembako.

Iya. Berarti silahkan beli minyak. Yang nunggu di wattpad berjiwa sabar dan bukan debt collector. Mereka tahu, kalo komen banyak, vote banyak pasti diapdet. Kalo nggak apdet-apdet jawabannya apa, Esmeralda?

Tuh, ngertik.

Ngertik, dong.
Masak gitu aja gak ngertik?

***

51 Madu In Training

Dalam pelajaran matematika, Daisy mengenal pelajaran tentang peluang yang melibatkan dadu dan berapa persen kemungkinan suatu hal bakal terjadi. Dengan pola dan rumus, akan didapat suatu perhitungan yang bisa berbentuk dalam persentase untuk tahu, sebuah hal akan jadi nyata atau khayalan belaka. 

Selama ini, Daisy berpikir kalau Krisna tidak mungkin tahu tentang panti. Tapi, dia juga sangsi mengingat Kartika berasal dari tempat ini dan juga dia rutin memberikan donasi. Gendhis sendiri juga selalu datang entah cuma buat absen wajah, bergosip, numpang makan, atau menjemput Daisy. Sekarang, melihat batang hidung suaminya sendiri yang sejak beberapa detik lalu sibuk melayangkan tatapan ke seluruh penjuru panti dan sekarang, ruang makan para pengasuh, membuatnya amat penasaran isi di dalam kepala sang mantan juara Pria Sehat Indonesia tersebut. 

"Pantesan lupa sama laki sendiri. Di sini matanya jelalatan lihat gebetan." 

Gendhis tampaknya tidak peduli apakah abangnya sedang merundung atau malah menggoda sang istri. Dia lebih memilih mengisi perutnya yang sejak tadi melilit. Meski begitu, karena tahu seperti apa sikap sang abang lewat laporan Daisy selama ini, Gendhis kemudian sesekali melemparkan tatapan waspada saat dia menyuapkan bakso ke mulut. 

"Gebetanku sibuk, Mas." 

Tanpa ragu dan gentar, Daisy membalas kata-kata Krisna yang saat ini ikut duduk di meja makan. Sesekali matanya melirik ke arah dapur karena di sana terdengar suara ketukan palu beradu dengan paku, seng, dan kayu. Syauqi tampaknya sudah beraksi. 

"Kalau dia sudah nggak sibuk, memang kamu mau apa?" 

Tatapan mata Krisna tampak menantang Daisy dan anehnya, dia tampak tidak takut sama sekali dengan tingkah suaminya barusan. 

"Nggak mau apa-apa, wong mandor serem udah melotot aja dari tadi."

Tangan Daisy sibuk menuangkan nasi ke piring dan di hadapan Krisna terdapat semangkuk sayur asem panas, ikan asin goreng beserta sambal ulek segar, tempe dan tahu, dan terong goreng, beserta telur dadar. Amat sederhana dan menu itulah yang selalu tersedia di panti. Jika Krisna tidak mau makan, tidak masalah. Ada banyak anak asuhnya yang mengantre di belakang pria itu untuk menunggu bagian mereka. 

Krisna sendiri sebenarnya hendak membalas, tetapi dia tahu, adiknya yang bermulut tajam sedang mengawasi dalam diam. Gara-gara itu juga, dia teringat kelakuan Gendhis yang menculiknya paksa dari tempat makan siangnya bersama beberapa klien. Untung saja mereka semua memaklumi karena Gendhis dengan begitu piawai berakting pura-pura sakit di depan mereka dan gara-gara itu dia bisa mengajak sang abang ke panti asuhan tempat istrinya bakal membuka rahasia besar, yang akhirnya malah membuat Gendhis kena jewer Daisy.

"Kamu, kan, tahu aku takut bukan main kalau Mas Krisna sampai tahu. Tapi, malah sengaja bawa dia ke sini. Lagian, mau ngapain coba nyuruh dia lihat panti? Yang ada, Mas Krisna bakal ngomel."

Daisy dan segala ketakutannya, pikir Gendhis. Bukannya Krisna sudah menerima dia apa adanya? Bila perut Daisy sampai berisi bayi, artinya mereka berdua amat akrab. Gendhis tidak percaya cerita bodoh yang kerap didongengkan oleh Daisy tentang permusuhan mereka berdua. Biji matanya tidak menangkap keanehan sama sekali. Bahkan, dia bisa melihat betapa lancang tangan Krisna bermain di pinggang, punggung, bahkan bokong bininya selagi Daisy sibuk menuang air ke dalam gelas. 

"Mas, ah. Nanti tumpah. Kamu mau makan atau nggak? Kalau nggak mau, Desi balikin lagi ke dapur." ancam Daisy saat dia berusaha menarik tangan Krisna usai dirinya mengembalikan teko kaca ke atas meja.

"Nggak usah ke dapur." 

Nada suara Krisna terdengar panik begitu dia mendengar Daisy menyebut dapur. Meski begitu, Daisy masih saja memutuskan untuk meninggalkan suaminya sebentar dan kembali lagi dengan sebuah piring berisi sambal kecap manis.

"Itu buat apa lagi?" tanya Krisna begitu Daisy duduk di sebelah Gendhis, tepat di seberang Krisna.

"Dicocol sama tahu." Daisy memperagakan cara memakan tahu goreng panas di hadapannya dan mulai makan dengan nikmat, seolah dia tidak ingat kalau sebelum suaminya tiba tadi, Daisy tidak bernafsu sekadar menyuap nasi ke mulutnya.

"Sini. Minta."

Gendhis merasa dirinya menjadi obat nyamuk saja saat melihat interaksi sepasang suami istri sok malu-malu kucing di hadapannya saat ini. Dia bahkan lupa melanjutkan makan bakso dan hampir saja tersedak ketika Daisy seperti kerbau dicucuk hidung malah pindah ke sebelah suaminya. Daisy juga tanpa ragu mencocol potongan tahu goreng ke dalam sambal kecap lalu menyuapkan ke mulut suaminya, sehingga membuat Gendhis lagi-lagi tidak percaya dengan kelakuan sang abang.

Tapi, kali aja udah sayang. Mbak Desi sampe bunting gitu. Sama aja udah ketagihan, kan? Ya kali, otong bisa bangun sama cewek yang nggak disuka. Lagian, Mbak Desi pernah bilang, urusan kasur selalu lancar, sampe nambah-nambah. Dia aja yang insecure, Gendhis menyimpulkan. Apalagi di saat yang sama, Krisna tidak sengaja menggigit potongan cabai rawit dan Daisy cepat-cepat menyorongkan segelas air kepadanya.

Duh, ngapain gue ke sini liat mereka kayak ABG pacaran? Jomlo, kan, kepingin juga.

Lesu, Gendhis memilih kembali fokus kepada makanan di depannya. Lama-lama melihat interaksi antara Daisy dan Krisna membuatnya kepingin punya pacar halal. Kalau cuma pacar-pacaran seperti yang diidamkan oleh banyak orang, big no. Dia tidak yakin bisa tahan cuma lirik-lirik dan tatap manja apalagi panutannya kini sedang cekakak-cekikik dengan suaminya. Bukan munafik, jika pacarnya ganteng, Gendhis bakalan mau dielus-elus. Tapi, kalau perawannya bobol sebelum sah, rugi bandar. Toh, pelacur saja dibayar mahal, kok, bisa dia kasih gratis sama pria yang belum tentu bertanggung jawab pada hidupnya?

Gue, sih, nggak alim-alim banget. Cuma, buat suami, maunya yang sayang ke gue dunia akhirat, bonus, ngajak pinter juga.

Obrolan Daisy dan Krisna sempat terhenti karena di saat yang sama, Syauqi keluar dari dapur. Kepada mereka bertiga, dia menyunggingkan senyum lebar dan berkata, "Silahkan. Silahkan. Makannya nambah juga nggak apa-apa. Masih banyak di belakang."

Krisna membalas dengan anggukan sementara Daisy sendiri berceloteh kalau sisa jatah nasi di belakang bukanlah untuk suaminya.

"Jatah anak-anak, itu, Mas." balas Daisy tanpa peduli saat ini Krisna mendelik ke arahnya. Gendhis sendiri malas mengangkat kepala karena dia, kan, makan bakso yang dibeli dengan uangnya sendiri, bukan uang yayasan yang peruntukannya untuk jatah makan anak yatim. 

Sementara Krisna yang tadinya sudah menyuapkan nasi ke mulut, mendadak berhenti dan bicara kepada Daisy dengan nada kalau dia tidak enak hati sudah makan makanan yang tidak diperuntukkan kepadanya.

"Lah, kenapa ngasih makan kalau ini jatah anak-anak?" tanya Krisna dengan wajah bingung sembari menyorongkan piring berisi nasi yang sudah dia makan seperempatnya, sementara Daisy sendiri belum melepaskan tatapannya sama sekali ke arah Syauqi yang menghilang menuju ruang depan.

"Nggak apa-apa kalau satu piring. Kalau nambah, mesti bayar."

Gendhis sampai harus menahan tawa mendengar jawaban Daisy kepada suaminya, sementara Krisna sendiri menaikkan alis dan siap untuk memuntahkan kalimat entah apa dari dalam bibirnya. Tetapi, sejurus kemudian, dia memilih mengeluarkan dompet dari saku celana dan menyuruh Daisy mengambil sendiri uang yang dia perlukan sementara Krisna sendiri melanjutkan makan nasi.

"Ih, apa-apaan, sih?" Daisy menyorongkan kembali dompet milik Krisna dan mengerucutkan bibir, "Makan aja. Nggak usah bayar-bayar kayak gini. Dilihat Ummi malah kena marah nanti."

Daisy kembali menoleh ke arah dapur, demi melihat apakah Ummi Yuyun mendengar keributan kecil siang itu. Untung saja beliau tampaknya tidak mendengar dan Daisy bisa kembali memperhatikan Krisna yang tampak lahap makan, tanpa peduli saat ini dia ada di panti asuhan. 

Daisy sendiri amat penasaran dengan alasan pria itu, karena sebelum ini dia tidak peduli dengan kegiatan Daisy di panti. Mustahil karena Gendhis yang mengajaknya. Ketika Daisy menoleh dan mempertanyakan sikap sang abang kepada Gendhis, jawaban yang sama dia dapat seperti di awal, saat Gendhis berniat memberi kejutan tentang hasil pemeriksaan kehamilan Daisy. 

"Ih, sudah dibilang jangan macam-macam." ujar Daisy dengan nasa suara waspada. Saat itu, Krisna sudah selesai makan dan sedang ke kamar mandi. Untung saja, ketika Gendhis memberi jawaban seperti itu, abangnya sedang tidak berada di tempat.

"Habisnya, aku penasaran." Gendhis membalas. Matanya menerawang menatap langit-langit di kamar Daisy. Wanita berjilbab itu terpaksa menarik iparnya hingga masuk kamar agar Krisna tidak tahu bahwa kini mereka sedang membahas tentang kehamilan Daisy.

"Positif." balas Daisy pendek. Matanya tidak lepas memperhatikan gorden pembatas kamar sementara Gendhis sudah meloncat kegirangan dan memeluk tubuh iparnya. Pipi Daisy juga tidak lepas jadi sasaran peluk dan cium sehingga dia kemudian kesusahan untuk melepaskan diri.

"Dhis. Lepas. Jangan jingkrak-jingkrak gini. Nanti kalau Mas Krisna tahu, gimana?" 

"Biar aja. Malah bagus. Aku panggil dulu …" 

Belum selesai Gendhis bicara, Daisy sudah menarik lengan kirinya, "Jangan."

"Lho, kenapa sih, Mbak? Ini berita bagus. Bunda juga sebaiknya dikasih tahu."

Memberi tahu Bunda Hanum juga sama namanya dengan cari mati. Daisy jelas sekali ingat bagaimana ketidaksukaan wanita itu kepadanya dan ucapan yang pernah dia katakan saat terpaksa menerima Daisy di rumahnya telah membuat Daisy merasa amat minder.

"Awas aja kalau kamu bunting. Krisna anakku, adalah orang terhormat, terpelajar. Kami semua keturunan ningrat. Andai aku tidak menikah dengan ayahnya Krisna dan memilih seorang Raden Mas sebagai pendampingku, maka anak-anakku juga akan mewarisi gelar yang sama denganku. Sayangnya, aku memilih ayah mereka. Tapi, itu saja tidak mengurangi kehormatan keluarga kami …"

Daisy tidak tahu apa isi kepala Bunda Hanum saat itu sehingga begitu santai membicarakan keturunan di depan Daisy. Iya  dia tidak tahu asal-usulnya sendiri. Tetapi, Kartika juga sama nasibnya. Kakak angkatnya tersebut sedikit lebih beruntung karena diadopsi oleh keluarga dengan latar belakang amat mapan dan terpandang sementara dia sendiri tetap betah berada di panti. Untung saja, jatah bulanan dalam amplop yang diserahkan oleh Daisy berhasil membungkam mulut nyinyir Bunda Hanum dan dia dibiarkan nongkrong di dapur bersama para ART serta adik wanita itu. Hanya di tempat itulah Daisy merasa diterima dan bila Gendhis sedang sibuk, dia merasa bagian dapur adalah penyelamatnya yang amat berharga.

"Jangan. Jangan dulu." Daisy memohon. Wajahnya amat gugup dan khawatir. Dia bahkan menangkupkan kedua tangan di depan dada sebagai tanda kalau dia benar-benar meminta Gendhis tidak melakukan hal tersebut yang pada akhirnya diiyakan saja oleh iparnya itu. 

"Gimana, sih? Yang lain pada senang-senang dikasih anak, kamu malah ketakutan." keluh Gendhis. Dia ingin sekali duduk. Tetapi, mengingat kasur Daisy sudah kelewat tipis, diurungkan niatnya dan memilih untuk meminta alat pemeriksaan kehamilan Daisy.

"Mana mungkin kubawa." balas Daisy. Kepalanya terarah ke luar kamar, hendak mencari bayangan Krisna namun belum juga muncul. 

"Yah, padahal mau kuposti… " 

Lagi-lagi jantung Daisy dibuat hampir meletus gara-gara kelakuan ipar sintingnya itu. Baru saja mereka saling janji tidak akan membocorkan berita kehamilan Daisy sebelum dia siap, eh, Gendhis malah memanas-manasi Daisy. 

"Bercanda." Gendhis nyengir begitu tangan Daisy hampir mampir ke lehernya. Di saat yang sama, suara Krisna yang mencari dirinya membuat Daisy buru-buru ambil langkah meninggalkan kamar dan menyongsong suaminya. Namun, sebelum itu, Daisy masih sempat memperingatkan Gendhis, "Awas, lho, Dhis. Kalau kamu masih jahil, kita putus."

"Iyaaa." balas Gendhis dengan wajah muram. Tapi, begitu iparnya berlalu untuk menemui Krisna, Gendhis mulai mengambil ponsel dan dengan senyum yang bila dilihat Daisy bakal membuatnya mengamuk, Gendhis mulai memposting teka-teki demi menyambut anggota baru keluarga Janardana yang bakal dia sayangi sepenuh hati dan jadikan sekutu untuk membungkam bibir nyinyir Hanum Sari Janardana. 

Hanya sebuah kata sederhana disertai emotikon dot bayi. Dia juga sudah menyembunyikan status WA-nya dari Daisy dan masa bodoh bila satu dunia meledak. Karena yang dia tahu, paling banter, yang bakal meledak adalah dunia ibu dan abang gantengnya, Krisna Jatu Janardana.

Alhamdulillah🍼

***


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top