50
Banyakin komen yes.
***
"Soal Desi? Ada apa, ya?" Daisy mencoba mencari jawaban lewat raut wajah Syauqi yang bersih dari jerawat dan kumis. Tapi, tidak dia temukan jawabannya. Daisy juga sempat menoleh ke arah Ummi Yuyun, namun, pengasuhnya hanya mengedikkan bahu.
"Soal wasiat Mbak Tika. Ada baiknya kamu ikut."
Daisy terdiam sejenak sementara Syauqi mulai berbalik dan minta wanita itu untuk mengikutinya. Dalam sekejap, dadanya kembali berdebar dan dia merasa bingung. Ada berapa banyak lagi wasiat dari Kartika yang belum dia tahu? Untung saja, Ummi Yuyun tidak sempat melihat saat Daisy tidak sengaja mengusap permukaan perutnya. Untuk mengalihkan perhatian, Dia lantas menoleh ke arah pengasuhnya dan minta untuk ditemani.
"Desi nggak enak berduaan aja."
Enak dan tidak enak, pikir Daisy di dalam hati. Dia tidak berharap rasa hati terhadap Syauqi tumbuh lagi karena di saat yang sama, dia sedang menyemai sebuah perasaan baru untuk suaminya yang saat ini sudah pasti, tidak bakal sadar kalau sedang dirindukan oleh istrinya sendiri. Kehadiran Ummi Yuyun di sebelah Daisy saat dia harus menemui Syauqi seperti sebuah benteng penyelamat serta pencegah gunjingan orang yang tahu kalau saat ini dia sudah menikah. Berdua-dua dengan pria bukan mahram, adalah hal yang dihindari Daisy sejak dulu.
"Iya. Ummi ikut." balas Ummi Yuyun. Dia tersenyum dan tidak protes saat Daisy memegang lengan kanannya dan mereka berjalan bersisian menuju kantor yayasan. Tetapi, begitu tiba di kantor Syauqi, pria itu tidak ada di sana dan suara yang Daisy dengar dari arah luar, membuat dua wanita itu menoleh satu sama lain.
"Mas Syauqi ngajak kita ke mana, sih?"
Ummi Yuyun cuma memberikan sebaris senyum tipis penuh arti dan meminta Daisy mempercepat langkah supaya mereka tidak ketinggalan dan Daisy menurut, meskipun di dalam hati, dia merasa amat penasaran.
Semoga apa pun yang akan dia lihat atau temui nanti, bukan dalam bentuk menyeramkan seperti sosok bencong yang tiba-tiba muncul lalu minta dinikahkan dengan Syauqi, karena bukan apa-apa, dia masih teringat dengan omongan Gendhis tentang pria itu dan seketika, teringat dengan perbuatan yang dirinya sendiri lakukan kepada Krisna bertahun-tahun lalu.
Nggak masuk akal. Daisy mencoba menepis prasangka sinting di dalam kepalanya tersebut.
Ini tentang Mbak Tika, lho, Des.
Daisy menarik napas. Mereka bertiga berjalan menyuri bagian samping kiri panti, ke arah dekat proyek bangunan yang telah berlangsung selama kurun waktu dua bulan lebih dan Daisy langsung menyadari apa maksud kata-kata Syauqi begitu pria itu membuka gerbang yang terbuat dari seng sehingga menampakkan bangunan hasil hibah dari Kartika Hapsari, yang pernah menjadi salah satu hadiah yang wanita itu beri menjelang detik-detik kematiannya.
"Rumah buat kamu, sudah 80 persen hampir jadi. Silahkan dilihat. Siapa tahu ada yang mau diubah."
Deru suara para pekerja dan tukang yang diberi tugas untuk menyelesaikan proyek perbaikan gedung dan penambahan ruang di panti, membuat telinga Daisy sempat berdengung. Dia tidak bisa sepenuhnya menangkap kalimat yang disebutkan oleh Syauqi sampai akhirnya dia dibawa ke sebuah bidang tanah, posisinya agak sedikit terpisah dari kamar pengasuh yang baru dan pada akhirnya membuat dia sadar, amat banyak yang telah diberikan dan dikorbankan oleh Kartika untuknya, entah itu kasih sayang, uang, bahkan suaminya sendiri.
"Rumah yang mana? Desi nggak merasa beli rumah."
Daisy pernah mendengar soal ini sebelumnya, kalau tidak salah beberapa hari sebelum Kartika meninggal. Sayangnya, Daisy yang terlalu tersinggung memilih meninggalkan Syauqi yang saat itu sudah bersama dengan notaris serta seorang pengacara yang diutus Kartika untuk melegalkan tanah sehingga di kemudian hari, tidak akan ada sengketa yang memperebutkan hak waris tanah dan bangunan yang sudah dibeli dan dihibahkan oleh wanita itu untuk Daisy.
"Kita sempat bahas ini sebelumnya."
Nada suara Syauqi terdengar sama seperti saat dia bicara di awal. Tetapi, buat yang memahami pria itu dengan baik bakal tahu kalau Syauqi tidak bicara selembut seperti saat sebelum Daisy menikah dengan Krisna. Ada sedikit getar yang membuat Daisy bisa merasakan kepedihan.
Hanya saja, Syauqi sudah melepaskan Daisy dan wanita itu menerima keputusannya tanpa bisa protes sama sekali.
"Tapi, aku nggak menerima." protes Daisy yang membuat Syauqi mengangguk selagi mereka bertiga dalam perjalanan menuju ke arah rumah yang sebelum ini disebutkan oleh Syauqi.
"Ini rumahnya." ujar Syauqi begitu mereka tiba ke sebuah bangunan terpisah dari bedeng-bedeng tempat tinggal pengasuh baru. Posisinya tidak jauh dari bedeng lain, hanya sekitar tiga meter. Tetapi, Daisy bisa melihat perbedaan ukuran dan desain yang membuatnya ingin menangis.
"Mbak Tika berlebihan banget." Daisy mencoba mengusap air mata yang tahu-tahu meleleh di sudut pipinya.
"Nggak juga." balas Syauqi, "Ini aja udah dikecilin. Tika minta ukuran tipe 60. Cuma tanahnya nggak cukup karena siapa tahu kamu bakal beli mobil."
Yang ada dalam pikiran Daisy ketika Syauqi bicara seperti itu adalah jika dia memilih tinggal di rumah yang dibuat oleh Kartika, maka sejatinya, dia tidak tinggal lagi di rumah Krisna. Apakah Kartika sudah menebak kalau pernikahan mereka tidak akan berjalan sukses?
Daisy merasakan nyeri baik di dada dan perutnya secara bersama, perpaduan rasa sedih dan seolah-olah janin di perutnya bereaksi ketika sang ibu mulai berpikir yang tidak-tidak. Padahal, kenyataannya, kan, belum tentu begitu.
"Ah, mana mungkin." Daisy mengibaskan tangan. Dia merasa malu sendiri walau di saat yang sama, Ummi Yuyun menyuruhnya mengucap istighfar.
"Diaminin aja, Des. Siapa tahu ada rejeki buat beli mobil."
Daisy memilih mengangguk dan pada akhirnya mereka bertiga melangkah hingga ke depan pintu sementara Syauqi sendiri tengah menunjuk para tukang yang kini sedang bekerja memasang instalasi kabel listrik. Beberapa tukang lain sedang fokus membuat meja dapur, mengapur dinding dinding serta memasang keramik kamar mandi.
Bukan keramik, Daisy mengoreksi dirinya sendiri sewaktu mereka mengamati lantai rumah hingga ke kamar mandi. Yang dipasang di lantai adalah granit. Dia pesimis, bedeng lain akan dibuat semewah ini. Padahal bila tinggal di tempat itu, Daisy mungkin lebih memilih kembali ke kamarnya sekarang. Tinggal sendiri di dalam rumah dengan tiga kamar seperti yang sekarang dia datangi sepertinya bakal membuat kesenjangan di antara pengasuh lain.
"Sudah. Jangan berpikir negatif terus." Ummi Yuyun menyadarkan Daisy, "Saudara-saudaramu yang lain malah bersyukur dikasih bedeng sendiri, atas nama mereka masing-masing juga, walau nggak sebesar punyamu. Tika juga mikirin mereka. Tapi, untuk para pengasuh, mereka harus berkomitmen untuk tinggal dan mengabdi di panti. Kalau nggak, maka nggak bisa."
Ada banyak syarat untuk mendapatkan bedeng dan Daisy maklum. Para pengasuh sudah diberi kemudahan hak tinggal dan Syauqi sepertinya diberi wewenang untuk menyalurkan hak-hak anak buahnya jika mereka benar-benar punya komitmen untuk berjuang dan mengabdi demi panti. Hal itu dianggap wajar karena bukan tidak mungkin suatu hari nanti ada pengasuh yang menikah lalu memilih untuk turut suami dan keluarga mereka yang lain. Pemberian bedeng beserta surat-suratnya dimaksudkan Kartika untuk memberi penghargaan selain jaminan bahwa meski mereka tidak digaji dengan layak, ada rumah yang menjadi tempat berteduh bukan cuma di dalam kamar sumpek yang isinya dua orang.
"Ada yang mau ditambah? Warna cat atau warna granit buat meja dapur?" Syauqi menawarkan kepada Daisy kalau-kalau dia ingin mengubah desain rumah type 45 tersebut. Sayangnya, Daisy memilih menggeleng. Dia merasa tidak percaya diri dengan kebaikan hati Kartika dan daripada ingin bersorak dan meloncat kegirangan karena mendapatkan rumah baru, Daisy merasa dia lebih ingin kakak angkatnya itu hidup kembali.
Meski begitu, Daisy tidak bisa menolak sewaktu Ummi Yuyun memintanya untuk berkeliling ke semua bagian bangunan, termasuk bedeng-bedeng baru yang tampak jauh lebih layak dibandingkan dengan kamar-kamar pengasuh yang sekarang.
"Nanti, kalau selesai, semua bisa pindah ke sini lalu kita lanjut perbaiki bagian dalam gedung utama. Sudah nggak layak tinggal. Gentengnya bocor dan lantai kita banyak yang jebol."
Kadang Daisy berpikir, bila dia tidak menerima tawaran Kartika, mungkin panti tidak akan mendapat dukungan sebanyak ini. Tetapi, dia lalu sadar, meski Daisy menolak, Kartika tetap melanjutkan membantu panti sekuat yang dia bisa karena sejak awal, Kartika ingin menyerahkan hartanya agar bisa lebih berguna.
Tidak sampai lima menit, mereka dikejutkan oleh suara klakson nyaring yang pada akhirnya membuat Daisy sadar, hanya satu manusia yang bisa melakukan hal itu tanpa malu kalau saat ini dia sedang berada di panti asuhan. Karena itu juga, Daisy kemudian keluar dari rumah pemberian Kartika untuknya dan menemui sang pelaku sambil protes, "Dhis, jangan berisik, ih. Banyak bayi lagi tidur siang."
Saat itu, Gendhis sengaja parkir di seberang panti. Ada sebuah pohon mangga berukuran besar dan di sebelahnya ada bangku kayu panjang yang sering mereka jadikan tempat mengobrol atau bahkan mengudap ketika Gendhis datang berkunjung. Begitu Daisy mendekat, dia sempat menghentikan langkah karena menyadari bahwa saat ini, Gendhis tidak datang sendirian. Ada seorang lelaki yang duduk di sebelah wanita itu.
"Kok?"
Belum selesai Daisy bicara dengan dirinya saking takjub melihat pemandangan baru di depan wajahnya, Syauqi muncul dari belakang sambil membawa sepotong seng bekas entah untuk apa. Dia baru tahu alasannya ketika pria itu memanggil namanya dan berkata, "Aku mau bawa ini, pasang di dapur. Kasihan kamu kalau masak pas hari hujan kadang kena percikan."
Detik yang sama, Gendhis membuka pintu mobil dan berdiri sambil memegang kap dengan bibir cemberut. Tetapi, bukan itu yang membuat Daisy cepat-cepat menoleh ke arahnya, melainkan ke arah sosok pria yang berusaha keluar dari mobil mini milik adik bungsunya sementara dia punya perawakan jangkung.
"Udah dibilangin pakai mobil gue aja."
"Lo, sih. Aneh banget nekat ikut." bibir Gendhis maju, tidak peduli, abangnya, Krisna hanya mendelik ke arahnya.
"Soalnya gue penasaran, kenapa dia betah banget ke sini." Krisna menyeringai. Saat itu, Syauqi masih berdiri tidak jauh dari Daisy, memegang seng dan menatap bingung ke arah mereka berdua. Setelah memastikan dia tidak salah lihat orang, tatapan Krisna lalu terarah kepada istrinya sendiri.
"Pantesan dia rajin mampir."
Daisy menaikkan alis, menatap suaminya dengan wajah bingung, lalu melemparkan pandang penuh tanya kepada Gendhis yang mengacungkan sebuah kantong berukuran cukup besar kepadanya.
"Makan, yuk. Aku lapar." ujar Gendhis dengan wajah nelangsa, "Pinjam mangkok, ya, Mbak."
"Lho, Des? Suami kamu datang?"
Giliran Ummi Yuyun muncul dan ikut memandangi ketegangan di antara mereka bertiga dengan raut kebingungan.
"Udah makan? Ayo masuk. Masuk dulu. Kebetulan tadi Desi masak banyak. Eh, ngomong-ngomong dia belum makan. Ayo, sekalian."
Haduh. Daisy merasa ingin menepuk jidatnya sendiri. Kenapa pula Ummi Yuyun mengajak Krisna masuk dan makan. Pakai diberitahu kalau dia yang memasak. Sudah pasti dia akan menolak mentah-mentah. Krisna tidak bakal ragu menolak, sekalipun di depan semua orang. Daisy pernah mendapat malu di depan Fadli dan Faris. Bagaimana mungkin dia akan mendapat malu untuk kali kedua? Bukankah saat ini Syauqi sedang menuju dapur? Pria itu pasti bakal mendengar penolakan Krisna.
Ya Allah, Ya Tuhanku, mau ditaruh di mana muka Desi nanti?
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top