49

Olaah. Senin jadwal Dedes. Banyakin komen kalau mau dobel apdet. Yang gak sabar silahkan ke KK dan KBM app

***

49 Madu in training

Berada di panti bagi Daisy jauh lebih menyenangkan dibandingkan saat dia harus sendirian di rumah besar milik Krisna dan Kartika. Walau sudah menjalani pernikahan selama dua bulan lebih sedikit, dia masih belum bisa menerima sepenuhnya kenyataan bahwa Kartika telah mewariskan separuh hartanya untuk Daisy. Dia masih membiarkan saja kumpulan ATM dalam amplop beserta sejumlah uang tunai yang juga sempat diselipkan oleh Gendhis sebagai titipan dari sang mendiang. 

Daisy merasa dia sudah hidup berkecukupan, terutama di rumahnya sendiri, panti asuhan. Ingin makan, tinggal ke dapur. Nasi selalu tersedia. Walau lauknya amat sederhana, nyatanya, Daisy selalu menambah porsi makanannya jika dia melihat tahu, tempe, dan terong goreng panas yang disajikan dengan sambal ulek pedas. Rasa yang tidak bisa digantikan dengan makanan sekelas restoran mana pun bahkan yang menyajikan menu bintang sekian yang saat melihat harganya, membuat Daisy sering-sering mengucap istighfar.

Meski begitu, Ummi Yuyun tahu kalau sesuatu sedang terjadi karena dia jarang melihat Daisy melamun terlalu lama. Terakhir kali dia melihat anak asuhnya seperti itu adalah sewaktu Daisy meninggalkan rumah suaminya.

"Kamu berantem lagi sama Nak Krisna?" tanya Ummi Yuyun khawatir karena Daisy hanya mengaduk-aduk nasi di hadapannya dalam diam. Daisy sendiri yang mengangkat kepala setelah mendengar pertanyaan dari sang pengasuh memilih untuk menggeleng. 

"Jangan bohong sama Ummi."

Daisy tidak berbohong dan untuk hal itu, Ummi Yuyun tidak bisa menemukan jejak yang sama di wajah anak asuhnya tersebut. Percakapan mereka kemudian diinterupsi dengan dering ponsel milik Daisy yang berada di dekat siku kirinya, dari Gendhis. 

"Desi angkat telepon dulu, Mik." Daisy meminta izin. Dia meraih ponsel lalu berdiri dan bergegas menuju kamar meninggalkan Ummi Yuyun yang menatapnya dengan wajah heran. Namun, pengasuh senior panti asuhan Yayasan Hikmah Kasih tersebut tidak bisa berbuat apa-apa. Daisy sudah terburu-buru menghilang dan meski menyimpan rasa penasaran di dalam hati, Ummi Yuyun memilih untuk melanjutkan makan dan menunggu hingga Daisy sendiri mau buka suara. 

Sementara Daisy yang sudah berada di kamar segera mengambil posisi duduk di lantai dan menempelkan ponsel ke telinga demi mendengar suara ipar yang di sebelah sana mulai bicara.

"Salam dulu, Dhis. Kebiasaan." Daisy mengomeli Gendhis yang langsung masuk ke pokok permasalahan tanpa sempat basa-basi sama sekali.

"Assalamualaikum. Mbak, gimana? Tekdung?"

Tidak ada manis-manisnya, pikir Daisy. Tekdung-tekdung? Gendhis kira dia apa? Lagian, itu, kan, bahasa pergaulan dia di forum, bukan di dunia nyata seperti ini. 

"Waalaikumsalam. Apa pun hasilnya, serahkan pada Allah." Daisy mencoba menjawab dengan bijak. Dia tidak bisa bicara jujur saat ini karena tahu, sepelan apa pun suaranya, dinding panti tidak kedap. Ummi Yuyun masih berada di luar. Dia takut berita kehamilannya bakal membuat heboh.

"Astaga, Ya Allah. Mbakku, apa-apaan, ih, jawabnya kayak gitu?" Gendhis protes, "tespeknya sudah dipakai, kan? Tinggal jawab satu atau dua garis kalau kamu takut Mas Krisna bakal dengar."

Tidak ada Krisna di situ sehingga seharusnya mudah saja bagi Daisy untuk menjawab. Tetapi kenyataannya dia malah menyusut ingus dan hal tersebut membuat Gendhis waspada.

"Lho? Kok, nangis? Kenapa, Mbak? Kamu negatif?" tanya Gendhis dari seberang. Daisy sendiri menggeleng dan dia kemudian sadar, tidak ada iparnya di sana. 

"Nggak, Dhis. Aku … "

"Nah, Dhis jadi curiga, Mbak." suara Gendhis terdengar panik. Dia selalu begitu bila menyangkut Daisy. Kadang dulu, mereka sempat disangka lesbi saking dekat dan perhatian satu sama lain terasa mencurigakan. Setelah Gendhis harus fokus kuliah, mereka mulai sedikit renggang. Tetapi, tetap saja, bila bersama, dua-duanya begitu akrab dan erat bagai lem. 

"Aku ke sana, ya. Tunggu. Jangan lari. Kamu di panti, kan?"

Daisy memencet ujung hidungnya yang basah dan berair. Tidak perlu menjawab pun Gendhis sudah tahu jadwalnya setiap hari. Bila tidak di rumah Krisna, tujuan Daisy paling banter di panti. Dia adalah wanita karir yang lebih doyan Work From Home. Untung saja, pernikahannya dengan Krisna tidak via Zoom seperti kebiasaannya saat bertemu klien.

"Nggak usah. Kamu masih kerja, kan?"

"Aku dapat jadwal malam hari ini. Makanya nelepon. Biar nggak suntuk, sekalian rencananya mau ngajak kamu makan." jelas Gendhis. Terdengar suara kasak-kusuk dan Daisy yakin, di seberang, sang ipar sedang bersiap-siap.

"Aku lagi makan pas kamu nelepon." Daisy memberi alasan. Bila Gendhis masih nekat mengajaknya makan, maka gadis itu memang bebal.

"Ya, udah, sih. Makan lagi, nggak masalah. Perutmu juga perut karet. Gajah juga muat masuk situ."

Astaga. Lagi-lagi, Daisy mengucap istighfar. Gendhis selalu merasa dia punya lebih banyak duit daripada Daisy sehingga dia merasa lebih berhak mentraktir sahabatnya itu, tidak peduli Daisy menolak dan mengatakan kalau dia sudah lebih dari cukup makan lauk yang tersedia di panti. 

"Nggak perlu."

"Perlulah. Aku juga mau lihat keponakanku. Mau tahu dia sudah ada di dunia atau gimana. Emaknya sok sombong, mau nyembunyiin ini itulah, kayak sinetron. Heh, Desi Jenar, lo, tuh, bukan artis. Berhenti menye-menye kayak lo yang jadi pemeran utamanya."

Nenek lampir, pikir Daisy. Jika bukan sahabat dan iparnya, sudah pasti Daisy bakal mencekik leher Gendhis. Tetapi, kenyataannya, wanita itu adalah satu-satunya teman yang dia punya setelah Kartika pergi. 

Tapi, gara-gara itu juga dia sadar, Gendhis dan Krisna amat mirip cara berbicaranya. Mereka suka ceplas-ceplos walau suaminya lebih suka menahan diri untuk tidak banyak bicara akhir-akhir ini dan selalu membiarkan Daisy menebak isi kepalanya. Hal yang sama kemudian membuat Daisy menjadi takut sendiri bila suatu saat nanti Krisna tahu tentang kehamilannya.

"Ya, udah. Aku matiin teleponnya. Udah masuk mobil. Nanti aku mampir bawa makanan." ujar Gendhis sekitar dua menit kemudian. Saat itu juga, Daisy mencoba menyela.

"Nggak perlu, Gen … "

Sambungan telepon sudah kadung dimatikan oleh Gendhis dan Daisy hanya mampu memandangi layar dengan wajah nelangsa. 

"Selalu, kamu tuh, ya. Nggak Mbak Tika, Mas Krisna, kamu, kalian selalu maksa. Apa dengan gitu kalian pikir aku bahagia?" 

"Bahagia kenapa?" wajah Ummi Yuyun muncul dari balik pintu dan Daisy merasa jantungnya berdebar amat kencang hingga rasanya memukul permukaan dadanya. Dia sempat kehilangan kata-kata selama beberapa saat dan mencoba tersenyum untuk mengalihkan rasa gugup.

"Ya, gitu, Mik." Daisy salah tingkah, "Ummi mau ke mana?" 

Daisy berusaha bangkit dari sisi kasur dan menyembunyikan ponsel di saku gamis yang dia pakai saat itu. Daisy lalu berjalan menuju sang pengasuh yang ternyata menoleh ke arah samping kanannya. 

"Dicari Syauqi." 

"Mas Syauqi?"

Syauqi Hadad jarang sekali mampir ke dapur karena di dekat situ, ada beberapa kamar pengasuh wanita. Kamar Daisy sendiri paling dekat dengan dapur. Gara-gara itu juga, Kartika merasa amat sedih adik angkatnya seperti tidak punya kebebasan. Tapi, mau bagaimana lagi? Kamar Daisy adalah kamar terluas kedua selain kamar Ummi Yuyun. Kartika sendiri yang memesan agar Daisy tidak perlu tidur berdua dengan pengasuh lain karena hampir sepanjang malam dia terjaga untuk menulis. Kartika bahkan seolah membayar kepada Syauqi agar memberi kebebasan kepada Daisy untuk memiliki sebuah kamar. Sebagai ganti, dia membuat kamar baru yang bisa ditinggali oleh empat orang pengasuh lain. 

Hanya saja, Daisy kemudian menolak pemberian lain berupa lemari, meja rias, bahkan springbed baru dari Kartika. Selain karena tindakan kakak angkatnya tersebut dia nilai terlalu berlebihan, Daisy tidak ingin terlihat lebih istimewa daripada yang lain. Tinggal bersama-sama dengan banyak kepala di dalam satu atap sering menimbulkan banyak konflik dan dia sadar hampir semua pengasuh lain tidak hidup seberuntung dirinya dan Kartika yang bisa mencari uang hanya modal duduk dan menatap layar laptop.

Kepala Daisy yang hari itu memakai jilbab berwarna kuning gading, muncul dari balik tirai. Dilihatnya Syauqi sedang berdiri sekitar tiga meter dari pintu dan dia seketika berusaha bersikap ramah. Sudah beberapa minggu ini mereka tidak bertemu. Daisy tahu bahwa pria itu amatlah sibuk. Tetapi, seperti dugaannya kemarin-kemarin, dia merasa Syauqi berusaha menghindarinya. 

Mereka hampir tidak pernah bicara atau sekadar basa-basi ketika berpapasan sejak Daisy mengabarkan dia akan menikah dengan Krisna. Sehingga kini, mendengar kalau pria itu mencarinya membuat Daisy merasa agak terharu. 

"Ada apa, Mas?"

Daisy agak gugup sebenarnya, tapi, kehadiran Ummi Yuyun yang berdiri di sebelahnya membuatnya tenang. Dia takut bila bicara berdua saja dengan Syauqi bakal membuatnya menjadi bahan pembicaraan. Sebenarnya, dia merasa agak sedikit beruntung pria itu menjauhinya. Daisy bakal goyah bila masa-masa awal pernikahannya dengan Krisna ada Syauqi. Dia pasti tidak sanggup melanjutkan hidup bersama suami Kartika tersebut bila Syauqi memberi celah untuk bersandar kepadanya setelah disakiti habis-habisan oleh Krisna baik dengan mulut atau perbuatannya. Tetapi, dia pada akhirnya berhasil bertahan dan seperti hari-hari terakhirnya bersama Krisna, mereka semakin akrab dan tidak terpisahkan. 

"Ini soal kamu." gugup, Syauqi memulai sementara Daisy sudah menunggu kelanjutannya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top