48

Makasih sudah banyak mampir.
Betewe, extra part 1 udah up di Karyakarsa dan KBM. Tapi eke selang-seling sama Ola, Pelangi di Langit Gladiola. Sudah bab 15. Kalian mampir ke sana juga, ga?

***

48 Madu in training

Sikap baik Krisna tidak berhenti usai malam romantis yang membuat Daisy merasa amat malu kepada dirinya. Begitu lembut perhatian dan perlakuan pria itu, membuat Daisy mempertanyakan kalau saat ini Krisna pria yang sama yang menikahinya hampir dua bulan lalu. Di tempat tidur, dia sudah berubah drastis. Namun, sikap manisnya juga Daisy temukan saat mereka berinteraksi setelahnya. 

Tidak tanggung-tanggung, Krisna juga mengajaknya salat bersama di musala kecil di dalam rumah. Si tampan itu tanpa ragu menjadi imam dan Daisy sendiri menjadi makmum. Air mata wanita muda itu bahkan jatuh tidak tertahankan saat mereka rukuk di rakaat pertama.

Ya Allah, ini bukan mimpi, kan?

"Lho? Kok, nangis?" tanya Krisna dengan suara lembut ketika selesai berzikir. Dia sudah berbalik memandangi istrinya yang terisak-isak dengan mata basah.

"Nggak. Cuma terharu."

Siapa yang tidak terharu? Di awal pernikahan, mereka berdua bagai anjing dan kucing. Krisna dengan luapan emosi perpaduan dari permintaan sepihak Kartika, meninggalnya sang istri, harus satu rumah dengan wanita yang dulu pernah mempermalukannya. Sekarang, pria yang sama sedang duduk bersila, memandangi sambil mengusap air mata di kedua pipi putih mulus istrinya.

"Tumben? Gue ganteng?" 

Lagi-lagi dia menggunakan kata gue, pikir Daisy. Dia berusaha tidak marah atau protes. Momen yang saat ini terjadi amatlah langka dan dia tidak bisa menahan diri untuk tidak menitikkan air mata.

"Ganteng. Suami Mbak Tika kesayanganku paling ganteng sedunia."

Krisna sempat terdiam sejenak mendengar ucapan Daisy barusan. Tapi, dia kemudian memilih mengusap pipi kiri istrinya dengan ibu jari tangan kanan. Tidak tahu mengapa, tetapi, akhir-akhir ini dia selalu ingin melihat wajah Daisy dan mengajaknya berbicara secara langsung daripada berbalas pesan atau bertelepon, dengan begitu, dia tahu kapan wajah di hadapannya itu gugup, marah, kesal, kepadanya. Selama ini, mereka nyaris tidak pernah ngobrol. Momen paling akrab, tentu saja ketika mereka berdua sedang memadu kasih. Tapi, di saat intim seperti itu, nyaris tidak ada obrolan yang berarti keluar dari bibir keduanya. Mereka hanya saling pandang, saling memeluk, dan meluapkan perasaan satu sama lain dalam tarikan napas mereka masing-masing. 

Tidak banyak berkata-kata, tetapi kemudian, Krisna merasa dia malah lebih sering memperhatikan Daisy lebih dari biasanya dan dia tidak tahu mengapa.

"Yang benar yang mana? Kamu sayang Kartika atau sayang suamimu?"

Daisy memejamkan mata demi mendengar pria itu memanggilnya lembut, seolah-olah, Krisna melakukannya karena pria itu menyayanginya. Padahal, Daisy tahu, Krisna melakukan hal tersebut karena dia yang meminta, bukan karena suaminya jatuh cinta. Tapi, tidak masalah. Beberapa hari ini, dia merasa hubungan mereka berdua mengalami sedikit kemajuan. Namun, buat Daisy, hal tersebut amatlah luar biasa. Dia hampir tidak menyangka, dari seorang suami yang begitu tidak peduli menjadi seperti ini, adalah suatu anugerah yang membuatnya amat terharu. 

"Sayang semuanya. Ya, Mbakku, suamiku yang dulunya adalah suami Mbakku."

Air mata Daisy sempat jatuh setitik sewaktu dia berusaha tersenyum. Orang-orang pasti bakal mengatainya cengeng. Tetapi, untuk seorang wanita yang selama hidupnya selalu mengalami penolakan dan cuma punya panti asuhan sebagai tempat kembali, mendapat perlakuan lembut dan penuh kasih sayang seperti ini adalah hal amat istimewa. 

"Pinter, ya, mulutnya sok manis." Krisna menjawil pipi Daisy. Tapi, tujuan pria itu sebenarnya untuk menghapus air mata yang tadi meleleh di pipi istrinya. 

"Memang. Mulut Desi begini-begini aja. Tapi, kalau lagi ngebet, kamu juga doyan."

Tawa Krisna pecah. Jarang sekali dia seperti itu. Bahkan kemudian dia meraih wajah istrinya dan merangkum bibir wanita muda tersebut dalam sebuah kecupan hangat singkat yang langsung membuat Daisy salah tingkah. 

Sudah. Stop. Yang berlebihan nggak baik, Daisy memberi peringatan kepada dirinya begitu ciuman mereka terlepas. Dia tidak tahu semurah apa harga dirinya saat ini karena begitu mudah terlena pada kelembutan yang Krisna beri kepadanya.

Krisna pria paling baik di dunia.

Dia paling penyayang, Dek. Kamu akan sangat bersyukur menikah dengannya. 

Kata-kata yang pernah diucapkan Fadli dan Kartika sempat membuatnya tidak percaya. Tetapi, kini dia merasakan sendiri perbedaan itu meski harus terus meyakinkan diri kalau yang sedang terjadi saat ini bukan berarti Krisna sudah jatuh hati kepadanya. 

"Ma … mas mau sarapan?" gugup, Daisy mencoba menawari Krisna makan pagi itu. Jika suaminya tidak menolak, berarti kembali ada kemajuan. Tapi, di saat yang sama, dia juga penasaran dan menunggu respon Krisna yang mengangguk sama rasanya seperti ketika dia menunggu email jawaban saat memulai pekerjaan menjadi content writer dulu.

Daisy merasakan sebuah usapan lagi di dahi dan dia tanpa sadar menubruk tubuh Krisna begitu pria tampan itu mengangguk pelan. 

"Tumben jadi mau peluk-peluk kayak gini. Biasanya paling anti kalau bukan aku duluan yang mulai." Krisna menyeringai. Gara-gara itu juga, Daisy mengangkat kepala. Bagaimana bisa di hari biasa dia nekat memeluk Krisna jika menatapnya saja dia kena maki? Bukannya Daisy tidak ingat masa-masa menyedihkan diusir dan diabaikan oleh pria tampan itu. Daisy masih menjaga diri agar tidak kebablasan. Padahal, yang barusan juga karena dia tidak sadar, karena kelewat antusias. Butuh dua bulan buat Krisna untuk menikmati makanan buatannya. Siapa yang tidak terharu?

"Mana mungkin Desi berani. Gara-gara kamu marah-marah terus, aku mesti mikir seribu kali kalau mau ngapa-ngapain." balas Daisy dengan bibir maju. Gara-gara itu juga, dia jadi pengepul Pop Mie dan menanak nasi secara sembunyi-sembunyi karena takut menyentuh barang-barang Kartika. Bahkan, jika bukan karena dia harus membersihkan kamar suaminya, dia tidak bakal sudi masuk kamar itu. 

"Bodoh."

Kalau tidak bicara seperti itu, bukan Krisna namanya, pikir Daisy. Dia juga tidak mau kalah. Digigitnya tangan kanan Krisna yang sempat mencubit hidungnya lalu suaminya mengaduh.

"Jigong lo."

Ish. Dia kira pria itu bakal berakting kesakitan. Tahunya, malah mengatai Daisy bau. Dia, kan, sudah mandi sebelum subuh. Jadi, tidak mungkin mulutnya bau.

"Ih, sudahlah. Desi nggak mau dekat-dekat kamu lagi, Mas. Apa-apa selalu dikatain. Desi malu. Kayak nggak punya harga diri. Di matamu aku memang banyak kurangnya." 

Daisy melepaskan pelukannya di tubuh Krisna dan hendak beranjak. Entah mau diletakkan ke mana lagi mukanya saat ini. Mungkin, yang paling benar adalah menjauh.

Daisy yang sudah setengah berdiri mendadak terduduk lagi dan bokongnya menghantam lutut Krisna sehingga dia mengerenyit. Untung saja pantatnya besar, pikir Daisy, sehingga tidak langsung mengenai tulang ekornya. Meski begitu, tetap saja dia merasa ngilu dan makin menjadi ketika suaminya tertawa dengan suara amat besar.

"Dasar. Dari awal nikah, doyan banget ngambek." ujar Krisna, tidak menghentikan tawa karena melihat Daisy cemberut semakin membuatnya senang.

"Desi nggak ngambek, Mas. Kamu kali. Bilang nggak mau, nggak sudi, tapi tetap aja nyosor. Lepas, ih." 

Daisy berusaha melepas kedua tangan Krisna yang membelit perutnya. Entah kenapa, timbul perasaan geli di perutnya sendiri yang tidak bisa dia jelaskan ketika sang suami mendekapnya seperti ini. Bila tidak minta dilepaskan, Daisy yakin, lima atau sepuluh menit lagi, mereka bakal berakhir di atas tempat tidur. Bukan dia tidak suka dengan perbuatan itu, tetapi bukankah dia harus memasak? Omong-omong, cacing-cacing di perutnya bahkan sudah protes sejak tadi dan dia yakin, tidak sanggup menunggu lebih lama lagi. 

"Ampun, Mas. Desi mau pipis." keluh Daisy setelah dia lelah tertawa dan tergelitik oleh suaminya sendiri. Air mata Daisy bahkan sampai menetes saking dia tidak tahan dengan gelitikan tersebut.

"Bohong." Krisna masih semangat menggoda. Jemari tangannya bermain di perut istrinya dan Daisy kemudian bangkit tanpa sadar dan mendorong tubuh Krisna yang teramat kaget karena perlakuan tersebut.

"Sudah, ah. Nggak sanggup lagi." 

Krisna bahkan sempat memandangi kedua tangannya sendiri dan dia merasa amat heran karena Daisy kemudian memutuskan untuk berlari ke kamarnya lalu menutup pintu tanpa banyak bicara lagi.

"Loh? Kok, malah kabur?" Krisna bertanya pada dirinya. Pandangannya kemudian beralih ke tangannya kembali dan dia tidak menemukan sesuatu yang aneh di sana.

"Des. Desi?"

Krisna bangkit dan bergegas menyusul Daisy hingga ke kamar Gendhis. Namun, begitu dia hendak masuk, ternyata pintunya terkunci. Padahal, amat jarang sekali wanita muda itu melakukannya.

"Kok dikunci? Kamu kenapa? Sakit perut?"

Di balik pintu, Daisy duduk menekuk lutut. Mukenanya sudah terlempar ke atas tempat tidur. Wajahnya tersembunyi di lutut dan dengan gemetar Daisy mencoba tidak mengingat kejadian sebelum dia mandi subuh tadi.

"Ingat, Mbak. Paling bagus pas bangun tidur. Kamu pipis, terus celupin ke batangnya. Jangan nggak. Bisa-bisanya kamu teledor padahal seharusnya kamu tahu. Kucing betina aja kalau disenggol kucing jantan, dua bulan langsung beranak lima. Apalagi kamu." 

Tentu saja alasannya karena dia bodoh. Dia tidak bisa berpikir dengan jernih saat pertama kali Krisna menyentuh tubuhnya. Dia kira pria itu bakal setuju menikah dan membiarkannya saja sendirian di hotel. Nyatanya mereka bahkan tidak bisa berhenti melakukannya hingga tadi malam. Seluruh tubuh dan jiwa Daisy telah dia berikan kepada suaminya sendiri. Tetapi, begitu dia melihat hasil pemeriksaan kehamilan itu, dunia terasa gelap. Daisy bahkan mencoba beberapa kali dan menemukan kalau semuanya sama.

Dua garis. 

Sesuatu telah bertumbuh di dalam rahimnya bahkan saat ayah janin itu berkata dia tidak menginginkannya. 

Ya Allah, padahal Mas Krisna baru aja berubah lembut. Aku nggak mungkin buat dia marah dan mempertaruhkan momen baikan kami dengan kasih tahu kalau aku hamil anaknya.

"Desi, buka pintunya, Sayang."

Air mata Daisy meleleh. Bahkan Krisna memanggilnya sayang. Hal yang nyaris tidak pernah dia dengar kecuali saat mereka bercinta.

Dengan tangan gemetar, Daisy menyentuh perutnya sendiri. Tangisnya bahkan hampir pecah begitu Krisna mengeluh perutnya sudah lapar dan dia ingin makan nasi goreng. 

Sembunyikan, Des. Sembunyikan semua tespek itu. Jangan sampai Mas Krisna lihat. Setelahnya, hapus air matamu dan segera keluar. Tunjukkan kalau tidak terjadi apa-apa. Kamu bisa berakting, bukan? Orang-orang bahkan percaya kamu bukan perempuan. Ayo, sekarang tunjukkan kehebatanmu. 

Jangan beri tahu dia tentang keadaanmu, kehamilanmu, minimal untuk saat ini. 

Kamu tahu benar risikonya kalau berani mencoba. Entah kamu, atau anak itu, atau kalian berdua bahkan tidak akan bisa menginjakkan kaki di rumah ini lagi.

Batin Daisy terus menggodanya agar tetap kuat. Dia tentu tidak mau kehilangan Krisna dan sosok baru penghuni di dalam perutnya. Nanti, dia bakal jujur. Krisna bakal dia beri tahu. Tapi, untuk saat ini, biarlah dia menikmati masa-masa indah berumah tangga, menjadi pengganti Kartika Hapsari yang tidak pernah bisa memberikan keturunan untuk suaminya tercinta. 

Dia juga ingin menjadi wanita yang menyambut suaminya sepulang kerja atau menungguinya makan dengan lahap setiap menu yang dia masak dengan suka cita. Bahkan untuk yang terakhir, dia belum sempat melakukannya untuk Krisna sama sekali. Memasak Indomie tentu tidak bisa dihitung dan Daisy ingin merasakan kebahagiaan itu walau cuma sebentar. 

"Desi." 

Suara ketukan terdengar lagi dan Daisy mengangkat kepala dengan perasaan campur aduk. 

"Iya, Mas. Sebentar. Lagi ganti baju."

Daisy bangun dan mengusap air mata di pipi dengan kedua tangan. Jantungnya masih berdegup kencang dan pandangannya sempat terarah ke bagian bawah lemari milik Gendhis, tempat dia menyimpan "semua" hartanya di sana, termasuk alat pemeriksaan kehamilan yang dia sembunyikan segera setelah dia selesai dari kamar mandi subuh tadi. Untung saja, Krisna kembali ke kamarnya sehingga dia merasa terselamatkan dan pria itu tidak perlu melihat matanya yang memerah akibat menangis di kamar mandi tadi.

Anakku, nanti Ibu ajak periksa ke bidan dekat panti, ya. Tapi, untuk sekarang, diam-diam di perut Ibu. Jangan berisik. Ayahmu belum siap menerimamu, Nak. Jangan khawatir. Ini untuk sementara saja. Nanti, kita bakal kasih tahu.

Daisy menarik napas panjang dan mengerjap beberapa kali sebelum dia pada akhirnya menarik gagang pintu dan berakting seceria mungkin di hadapan suaminya yang menunggu dengan wajah amat cemas di balik pintu.

"Kenapa? Kamu marah gara-gara barusan aku gelitik?"

Daisy berusaha menggeleng. Dia juga menyunggingkan senyum selebar mungkin agar suaminya tidak curiga. Tetapi, pada saat yang sama, dia meletakkan kedua tangan ke depan perut supaya Krisna tidak tahu saat ini dia sedang memberi tahu calon anaknya kalau yang saat ini sedang berbicara dan berdiri di hadapannya adalah ayah sang calon bayi. 

"Kalau nggak kabur, kamu pasti bakal ngelunjak." Daisy mencoba memberikan alasan logis. 

"Ngelunjak apanya? Cuma gelitik doang, kok." Krisna membela diri. Gara-gara itu juga, Daisy kemudian mendapat kesempatan untuk berjalan ke luar dan menutup pintu kamar Gendhis. Dia belum yakin dengan tempat persembunyian alat pemeriksaan kehamilan miliknya dan jika berlama-lama di sana, Krisna bakal berubah pikiran. Adalah keputusan bagus mengajaknya ke dapur dan mulai menawari kembali pilihan menu sarapan serta kopi yang dia mau. 

"Nasi goreng. Kopi dikasih gula setengah sendok aja. Nggak usah banyak-banyak. Lihat kamu aja sudah kerasa manisnya."

Daisy berhenti melangkah dan terpaksa mendongak ke arah Krisna yang kini dengan santai merangkul bahunya seolah mereka sahabat akrab. 

"Kasih tahu Mbak Tika, nih, lakinya selingkuh." Daisy mendelik dan mulutnya maju. Dia hampir terpekik karena di saat yang sama, tangan Krisna yang tadi di bahunya, mulai pindah ke pinggang dan dia membawa tubuh Daisy ke dalam pelukannya. 

"Kasih tahu sana. Bilang makasih sudah ngasih adik sintingnya ini buat menemani aku setiap hari."

Daisy menggeleng, berusaha melepaskan diri. Bisa gawat kalau Krisna semakin diladeni. Mereka bakal sarapan paling cepat dua atau tiga jam lagi, padahal setelah ini ada  pekerjaan rumah yang mesti dia kerjakan.

"Iya. Iya. Aku sinting. Aku cengeng. Aku cerewet." Daisy memberi kesimpulan lalu menarik kedua tangan Krisna agar lepas dari membelit pinggangnya. Ada rasa tidak nyaman ketika tangan pria itu mampir ke daerah sekitar perutnya, seolah dia sedang diawasi oleh mandor garang yang siap memukul kepalanya dengan pantat wajan. 

Sementara Krisna sendiri mulai menaikkan alis. Sungguh aneh sikap Daisy sepagian ini dan dia ingin sekali tahu mengapa dia menjadi seperti itu.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top