47

Makasih komennya rame. Eke kan seneng.

Siap-siap nabung, ya.

***

47 Madu in Training

Selama perjalanan kembali ke rumah, Krisna menyempatkan diri untuk melirik ke arah Daisy yang duduk di sebelahnya. Sejak  bertemu tadi sore, Daisy lebih banyak diam. Dia hanya bicara kepada Krisna karena Gendhis beberapa kali menggoda dan Daisy pada akhirnya lebih banyak menyembunyikan diri di kamar adiknya setelah azan Magrib berkumandang.

Alasannya jelas sekali. Setiap melihat dia berdiri atau mengobrol dengan Krisna, Bunda Hanum bakal ribut lalu mengadu kalau Daisy tidak punya pekerjaan lain selain mengekori suaminya. Pada akhirnya, menghindari omelan sang mertua yang ujung-ujungnya bakal membuat malu Krisna, Daisy memilih bersembunyi dan baru akan keluar bila Krisna memintanya untuk pulang. 

Untung saja pria itu memikirkan hal tersebut, pikir Daisy, karena jika tidak, dia tidak tahu lagi mesti bagaimana menghadapi sikap dua orang anggota keluarga Janardana yang membuatnya amat bingung. Saudara Bunda Hanum terus membesarkan hati Daisy agar dia selalu sabar sementara Gendhis, tidak berhenti meminta maaf karena kelakuan ibu kandungnya yang amat ajaib.

Kini, keresahan Daisy bertambah satu. Alat pemeriksaan di dalam tasnya telah membuat kecemasannya naik beberapa derajat dibandingkan dengan sebelum ini. Dia bahkan tidak sanggup mengangkat kepala dan memandangi wajah suaminya sendiri.

"Mau makan di mana?" suara Krisna menyadarkan Daisy yang sejak tadi tidak berani bersuara.

"Des." panggil Krisna lagi. Dia sempat menyentuh punggung tangan kanan Daisy hingga akhirnya wanita tersebut menoleh.

"Gue tadi di luar. Hampir seharian. Mau balas WA lo, tahu-tahu diajak klien ngomong."

Benarkah? Daisy tidak marah kepada Krisna meski dia agak terharu karena tumben-tumbennya pria itu mencoba menjelaskan apa yang telah dia lakukan hingga tidak sempat membalas pesan yang dikirimkan oleh Daisy. 

"Nggak apa-apa, Mas."

Sebenarnya dia merasakan sedikit iri kepada Gendhis yang langsung diangkat panggilannya oleh Krisna begitu dia meminta izin untuk menjemput Daisy. Sementara dirinya sendiri harus rela mengalah dengan klien yang sudah pasti jauh lebih penting keberadaannya. 

Istri siri, loh. Mau mengharap apa? 

Daisy meremas perut yang untungnya, tersembunyi di balik tas. Jika benar di sana ada janin mungil, maka, anak tidak berdosa itu tidak akan punya hak sama dibanding dengan anak-anak yang lahir dari pernikahan resmi. Lagipula, Daisy tidak tahu mesti bicara apa bila pria di sebelahnya ini tidak sudi memiliki anak selain dari rahim Kartika.

"Buang anak itu."

"Nggak bakal ada anak yang lahir, kalau bukan dari Tika."

Daisy mengucap istighfar di dalam hati, mencoba mengenyahkan pikiran buruk yang berkecamuk di dalam hati. Sungguh, rasanya jauh lebih buruk saat dia dituduh sebagai maling di rumah keluarga angkatnya. Dulu, tuduhan tersebut berhasil membuat napasnya seolah berhenti dan seluruh tubuhnya dingin bagai disiram es. Kini, ketakutan akan hasil kehamilan yang mungkin akan dia dapatkan esok pagi, telah membuatnya merasa ingin mati.

"Lo belum makan, kan? Mau mampir di mana? Nasi goreng? Jangan makan mie dulu, ya."

Jangan makan mie? Tadi Gendhis sempat mengatakan hal yang sama sebelum mereka terpisah. Jantung Daisy seolah diiris begitu mendengarnya. 

Kenapa orang-orang terlihat begitu yakin ada janin di dalam perutnya? 

Tunggu dulu. Orang-orang? Bukankah hanya Gendhis yang berpikiran seperti itu? Krisna malah belum tahu sama sekali. Dan sekarang, dia sedang menanti respon Daisy tentang menu apa yang akan mereka santap malam ini.

Padahal tadi dia sempat menawari Krisna makan di rumah ibunya. Kenapa pria itu masih mengajaknya makan? Apakah Krisna tidak jadi makan di rumah Bunda Hanum?

"Bukannya kamu sudah makan?" Daisy bertanya dengan wajah bingung. Suaminya hanya tersenyum saat mendengar pertanyaan itu.

"Tadi ada yang bilang mau siapin makan. Ditunggu-tunggu sampai Isya,  nggak muncul. Gendhis bilang lo tidur."

Benarkah? Biasanya, mau Daisy bangun atau tidur, Krisna masa bodoh dan akan makan. Tumben dia jadi sebaik ini. Soal pertemuan dengan klien tadi juga tidak pernah dia lakukan sebelumnya.

"Maaf." 

Daisy tidak tahu mesti menjawab apa kecuali mengucapkan maaf. Kepalanya masih memproses semua keanehan yang terjadi pada sikap Krisna.

"Jadi, makan, ya?" Krisna lagi-lagi bertanya. Senyumnya nampak tulus dan Daisy seolah melihat pria sama yang menatap wajah penuh cinta kepada Kartika Hapsari, kakak angkatnya. 

"Boleh." 

Lagi-lagi dia tidak mampu bicara dan hanya bisa mengusap pelan perutnya yang dari tadi menjadi pusat kebingungannya. Entah kenapa, melihat kebaikan suaminya, Daisy berdoa, Krisna juga akan sebaik itu kepada anak mereka nanti. Memang dia belum melakukan pemeriksaan, tetapi, apa pun hasilnya nanti, suaminya tidak akan berubah menjadi pria jahat.

"Yang di pertigaan dekat rumah, ya?"

Daisy tidak menolak. Dia membalas dengan sebuah senyum, tetapi menahan diri untuk tidak menyentuh lengan kiri Krisna yang saat itu memegang persneling. Dia tidak berani berbuat lebih. Dia masih tahu diri. Keberadaannya belum bisa menggantikan Kartika. 

Toh, mulai diperlakukan dengan manusiawi saja sudah membuatnya bahagia dan Daisy munafik kalau perlakuan lembut suaminya tidak membuat dirinya tersentuh. 

Sungguh. Krisna yang rela tidak makan demi bisa makan malam bersamanya hari ini saja, sudah mampu membuat kekecewaan karena pesannya tidak berbalas, menguap entah ke mana. 

***

Mobil yang Krisna kendarai masuk ke pekarangan rumah sekitar pukul sembilan malam. Pria itu sendiri yang turun dan membuka kunci pagar besar yang melindungi sekeliling rumah. Setelah berhasil mendorong pagar hingga tampak bagian depan rumah mereka yang luas, Krisna lantas kembali ke mobil dan membawa kendaraannya untuk masuk. Setelah mesin mobil mati, Krisna menyuruh Daisy untuk membuka pintu rumah sementara dia sendiri menutup pagar.

"Iya, Mas." balas Daisy sambil membuka pintu mobil. Mereka berdua sudah makan dan Krisna sempat mampir ke mini market dekat tempat mereka makan nasi goreng lalu membeli beberapa botol minuman ringan. Sewaktu Daisy hendak membawa kantong belanjaan, Krisna mencegah.

"Aku aja. Kamu langsung masuk."

Daisy lagi-lagi merasa agak tersentuh dan memutuskan untuk mempercepat langkah menuju teras. Karena masing-masing dari mereka berdua memegang kunci rumah, dia langsung membuka pintu dan menyalakan lampu teras serta ruang tengah.

Daisy sendiri pada akhirnya memutuskan untuk cepat-cepat ke kamar mandi. Kandung kemihnya penuh dan dia tidak tahan lagi untuk menuntaskan hajat yang tertahan karena kencan beberapa puluh menit di gerobak nasi goreng. 

Andai Krisna tidak banyak mendongeng, dia pasti sudah minta diajak pulang. Tetapi, suaminya malah memesan bandrek dan beberapa pisang rebus sehingga dia harus ikut menghabiskan makanan-makanan tersebut daripada mubazir. 

Daisy menghabiskan beberapa menit di kamar mandi termasuk mandi dan menggosok tubuhnya dengan lulur. Seharian berkutat dengan piring kotor entah di panti atau di rumah keluarga Janardana membuatnya amat gerah. Begitu keluar, Krisna masih berada di dapur, sedang memasukkan botol-botol minuman yang tadi dibeli ke dalam lemari pendingin.

"Mandi, kok, nggak ngajak?" Krisna nyengir ketika melihat Daisy keluar hanya memakai handuk. Rambutnya digelung tinggi dan tetesan air meleleh di lehernya yang jenjang.

"Giliran mandi aja, mau ikut." Daisy memajukan bibir. Matanya menangkap botol teh manis dan liurnya terbit. Meski hari sudah larut, dia merasa ingin sekali minum air dingin. 

"Lah, emangnya dosa? Gue udah dua hari nggak dapet jatah."

"Oh, kasian banget." Daisy pura-pura memasang wajah sedih. Perhatiannya tertuju kepada botol teh tetapi Krisna malah memilih menutup pintu kulkas dan berjalan ke arahnya.

"Malam ini, dapet, ya. Gue mandi dulu." Krisna meraup pinggang Daisy dan memandangi istrinya dengan tatapan memohon. Tubuh mereka bersentuhan dan dia dengan jelas merasakan bukti otak kotor suaminya di dekat perutnya. Daisy jauh lebih pendek dari Krisna sehingga dia harus mendongak untuk bisa melihat wajahnya dengan jelas.

"Ini perasaan aja, atau emang lebih gede?" 

Alis kanan Daisy naik begitu Krisna kelar bertanya. Apa yang lebih besar? Dia baru saja hendak membuka mulut begitu suaminya mengangkat tubuh Daisy ke atas meja makan.

"Ya, ampun. Ntar jatuh." Daisy mengeluh. Wajahnya memerah sementara dia berpegangan pada kedua bahu suaminya. 

"Nggak, lah. Ngapain lo jatuh. Dipegang ama laki kuat begini." 

Daisy sebenarnya merasa amat malu diperlakukan seperti itu. Tetapi, sorot mata suaminya yang semakin sayu dan tangannya yang mulai lancang, membuatnya dengan cepat berpikir bila tidak mau berakhir menjadi santapan Krisna di atas meja makan. Yang benar saja. Dia ingat dengan jelas bagaimana Krisna pernah mengamuk soal dia menyentuh barang-barang milik Kartika di dapur. 

"Udah. Mau turun. Ngeri. Desi juga mau ganti baju." Daisy mencicit. Raut kengerian tidak bisa lepas dari wajahnya dan Krisna entah mengapa, seolah mengerti, kemudian memilih untuk menggendong tubuh Daisy sekalipun istrinya kembali protes.

"Mas. Turunin. Desi bisa jalan sendiri ke kamar."

Protes Daisy tidak mendapat tanggapan dan dia tahu jelas alasannya. Karena itu, dia hanya bisa pasrah sewaktu Krisna membawanya ke kamar Gendhis, tempat mereka selalu memadu kasih selama beberapa minggu terakhir. 

"Gue mandi sebentar." Krisna pada akhirnya melepas dekapan mereka dan mendudukkan Daisy yang merasa amat kikuk di pinggir tempat tidur. Dia ingin sekali mengambil daster dan menghindari suaminya yang kentara sekali bakal minta jatah tidak lama lagi. Tetapi, setelah pria itu keluar kamar, Daisy memanfaatkan kesempatan tersebut untuk menyembunyikan tasnya ke dalam lemari walau kemudian dia merasa amat bingung, untuk apa melakukannya. Toh, alat pemeriksaan kehamilan yang diberikan Gendhis kepadanya berukuran kecil, tersimpan dalam kantong kresek kecil dan dia letakkan dalam salah satu saku di tasnya.

Krisna tidak pernah repot-repot memeriksa isi dompet atau tas Daisy. Selain tidak ada urusan, Daisy merasa dirinya tidak sepenting itu. Kebanyakan pria akan membawa tas pasangannya dan dia selalu mengamati setiap ada kesempatan entah itu ke pasar atau mal. Sesekali, ketika bertemu Kartika dulu, dia juga sempat melihat Krisna memegangi tas istrinya. Hal yang sama tidak terjadi kepadanya dan Daisy tidak mau repot-repot bertanya. Di satu sisi hal tersebut menguntungkan, karena jika dia menyimpan benda-benda aneh, Krisna tidak bakal memergoki.

Daisy pada akhirnya memutuskan untuk memakai pakaian tidur. Krisna belum juga kembali setelah sepuluh menit dan dia tidak mau masuk angin karena terus memakai handuk sedari tadi. Lagipula, tidak mungkin suaminya mandi di kamar mandi bawah karena hampir semua pakaiannya berada di kamarnya di lantai dua. Karena itulah, setelah memastikan suaminya tidak bakal turun (atau malah ketiduran) Daisy berjalan ke luar kamar, menuju dapur, hendak mematikan lampu lalu kembali lagi ke kamar Gendhis. 

"Dicari ke kamar tahunya malah ke dapur." 

Daisy yang saat itu hendak merapikan cangkir dan mengembalikannya ke dalam kabinet di atas kepalanya, nyaris terkejut begitu menemukan Krisna sudah memeluknya dari belakang. Tubuh suaminya amat harum dan Daisy hampir tersenyum karena tahu dengan pasti, Krisna memakai sabun yang dia belikan. Memang sabun yang dipakai pria itu adalah merek yang sama dengan yang dibeli oleh Kartika, tetapi, Daisy tahu kalau sabun yang lama telah habis dan mau-tidak mau Krisna harus memakai sabun baru pemberian Daisy jika dia mandi.

Tapi, dia yakin, suaminya tidak bakal sadar. Semua yang tersedia di kamar Krisna dan Kartika, sudah barang tentu merupakan benda-benda yang dikumpulkan dan dibeli oleh mereka berdua.

"Mau matiin lampu. Kirain kamu tidur." Daisy memejamkan mata, melawan keinginan untuk tidak bergidik karena Krisna mengusap lengan kanannya dengan amat lembut.

"Kan mandi dulu. Bersih-bersih biar wangi."

Ish, kenapa dengan suaminya ini? Daisy merasa amat tersanjung tetapi dia bersyukur Krisna berada di belakangnya sehingga tidak perlu melihat betapa gugupnya Daisy saat ini. Dia bahkan kesulitan untuk meneguk air ludah dan saat-saat hening selama beberapa detik tersebut kemudian dipecahkan oleh gerakan Krisna yang menyibak rambut Daisy ke arah kiri bahunya.

"Mas?"

"Jangan bergerak." 

Sesuatu yang berkilau dalam sekejap memenuhi pandangan Daisy dan dia amat terkejut sewaktu merasakan sesuatu yang dingin di lehernya, Krisna sedang mengaitkan sebuah kalung rantai emas putih dengan mata berlian mungil amat cantik yang membuatnya sangat kaget.

"Eh, apa-apaan ini? Kenapa kamu kasih ke aku?"

Daisy tidak bisa mengatasi perasaan terkejut yang muncul setelah Krisna membalikkan tubuhnya dan mereka berhadapan. 

"Ini juga alasan gue nggak sempat balas WA lo tadi. Habis dari ketemu klien, mampir sebentar ke toko."

Toko apa? Toko mainan? Daisy sampai ingin menggetok kepalanya sendiri. Tapi, siapa tahu benar, Krisna mengunjungi toko mainan dan membeli kalung murahan untuknya. 

"Kulit lo putih, cocok banget sama berliannya."

Berlian? Yang punya kadar keras luar biasa? Benarkah? Daisy ingin mengigit mata liontin tersebut tapi takut kalau-kalau Krisna mengatainya norak. Lagipula, ada angin apa suaminya bisa royal begitu? 

"Seharusnya nggak perlu. Desi nggak mau dibilang ngabisin duit kamu, Mas. Kalau mau beli, bisa sen… "

Krisna membungkam bibir Daisy dengan sebuah kecupan panas yang memabukkan. Dia terlihat begitu ahli menguasai bibir istri keduanya tersebut bahkan dengan lidahnya, Krisna amat terampil menggoda Daisy hingga pipi wanita muda tersebut memerah.

"Nggak boleh. Setelah ini minta sama suami lo, apa aja. Bakal gue kabulin." Krisna membalas dengan sebuah senyum saat jeda mengambil napas yang membuat Daisy menggeleng. 

"Jangan panggil Desi lo, aku nggak suka." 

Jika boleh meminta, dia ingin Krisna lebih ramah dan lembut kepadanya. Itu saja sudah lebih dari cukup. Emas atau uang bisa dicari walau dia mesti bergadang setiap hari. Tetapi, memiliki seorang suami yang memanggilnya sayang, adalah sebuah impian yang paling dia inginkan.

"Kalau pun kamu nggak cinta aku, seenggaknya, perlakukan aku kayak manusia normal, Mas. Itu aja udah cukup." 

Krisna tersenyum tipis. Dia meraih dagu Daisy sebelum membubuhkan kecupan-kecupan kecil di pipi dan hidung mancung istrinya. Dia mengangguk lalu melanjutkan ciuman mereka yang sempat terputus.

"Boleh." Krisna menjawab dengan suara serak, meminta Daisy untuk balas memeluknya, "Apa pun yang kamu mau, Sayang."

Tubuh Daisy bergetar dan dia merasa ingin sekali menangis, tetapi Krisna terus menggoda dan daripada air mata, dia harus banyak-banyak menggigit bibir menahan godaan paling nikmat yang dilakukan oleh suaminya.

"Ke kamar, ya?" bisik Krisna di telinga kanan Daisy. Separuh tali gaun tidurnya telah melorot dan bibir bayi tua di depannya sedikit basah akibat perbuatan kurang ajarnya kepada sang nyonya yang kini tidak sanggup membuka mata. Benar-benar gila, tetapi, Daisy, tidak bisa menolak.

"Aku jadi murah, dibayar kamu pakai kalung." keluh Daisy ketika Krisna sudah melempar gaun tidurnya entah ke mana. Krisna sendiri hanya tersenyum. Matanya jelalatan memandangi tubuh istrinya yang akan dia santap dengan puas malam ini.

"Mataku nggak salah. Udah lebih gede daripada kemarin."

Entah apa maksud suaminya. Daisy tidak sanggup lagi bertanya. Tidak mungkin perutnya bertambah besar, kan? Dia masih harus memeriksa kehamilannya esok pagi. Tetapi, di dalam hatinya dia merasa amat takut. Krisna sudah amat lembut dan perhatian kepadanya. Bila tahu tentang kenyataan bahwa mungkin saja ada calon anak pria itu bersemayam di dalam tubuhnya, Krisna mungkin akan sangat marah.

"Desi… sayangku …. "

Daisy terpejam, tersengal, merintih menyebut nama suaminya. Entah kenapa, setiap sentuhan yang Krisna buat, membuatnya berhasil menegang berkali-kali. Dia ingin sekali mendekap tubuh gagah perkasa di depannya saat ini, tetapi, dia sadar diri, dirinya belum seberarti itu untuk mendapatkan cinta Krisna. 

Jangan…

Jangan berakhir.

Aku ingin, bersamanya sampai nanti. Sampai kami tua. 

Aku mungkin sudah gila. 

Tapi, aku sepertinya jatuh cinta sama kamu, Mas. 

Bodoh, kan? 

Aku benar-benar bodoh dan murahan.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top