46
Yang mo dobel apdet jangan malas komen. Yang malas komen tapi mau cepet, ke KK atau KBM aja. Apalagi yang komennya cuma, buruan up, kak, berharap dobel apdet. Udah kaga follow, maksa lagi. Pengen tak ulek pake ulekan.
***
46 Madu in Training
Krisna yang sedianya berniat pulang pada akhirnya terpaksa beranjak ke kamar adiknya begitu mendengar Gendhis mengatakan kalau usai salat Isya, Daisy jatuh tertidur saat berzikir. Dia bahkan tanpa ragu menunjukkan kepada sang abang posisi istrinya yang masih duduk dengan kepala tertunduk menghadap sajadah.
"Nggak keangkat. Biar dia kurus juga, tetap aja gue nggak mau kena risiko turun peranakan."
Krisna semula hendak mengangkat Daisy dan langsung membawanya masuk mobil. Tetapi, Gendhis menghalangi. Dia juga sebetulnya hendak pulang ke kosan. Namun, rasa penasaran akan hadirnya jabang bayi di perut Daisy membuatnya nekat untuk menginap di rumah ibunya. Sayang, Krisna tidak seide. Tanpa melepaskan mukena yang dipakai sang nyonya, diraupnya saja tubuh Daisy ke dalam pelukan sementara dia menyuruh Gendhis mengambil barang-barang Daisy yang tercecer.
"Mukena lo gue pinjem dulu. Ntar beli yang baru aja."
"Buset." respon Gendhis yang kaget dengan kelakuan abangnya yang hampir tidak pernah dia lihat ketika berinteraksi dengan Daisy. Sahabatnya sendiri rupanya sadar diri. Begitu merasakan tubuhnya digendong, Daisy panik dan minta diturunkan.
"Eh, kenapa ini? Desi malu. Turunin, Mas."
"Nggak usah." balas Krisna. Dia belum berjalan ke luar kamar Gendhis, tapi respon istrinya yang ketakutan membuatnya menghentikan gerakan suaminya.
"Nanti dilihat Bunda. Desi malu. Nggak pantes." cicit Daisy yang akhirnya membuat Krisna menurunkan kembali tubuhnya sementara Gendhis yang jadi penonton di dalam kamarnya sendiri hanya mampu berdecak.
"Duileh. Gue nontonin orang pacaran."
Krisna melirik ke arahnya sementara Daisy berpura-pura sibuk melakukan entah apa, termasuk melepas mukenanya. Lalu, setelah beberapa detik, dia memutuskan untuk keluar.
"Gue siapin mobil. Habis itu langsung keluar, ya. Jangan lama-lama sama Gendhis."
"Heh." Gendhis bereaksi mendengar ucapan abangnya, "sama lo, tuh, yang mekar jadi kisut."
"Dhis, ah." Daisy protes. Agak tidak enak mendengar dia yang lebih muda menghardik abangnya sendiri. Daisy saja, walau kadang kesal dengan sikap suaminya, lebih suka memilih diam bila sikap Krisna belum terlalu kelewatan.
"Belain terus. Pantesan aja, sih. Udah cinta, ye, kan?" alis Gendhis naik turun dan dia yang saat itu duduk di tepi ranjang bersedekap demi melihat reaksi kakak iparnya.
"Bukan dibela, tapi, sayanglah dikit sama masmu. Kalau nggak ada dia, nanti dicariin."
Samalah kayak lo, Gendhis menggumam dalam hati. Daisy sendiri sedang melipat mukena sang ipar dan karena itu juga, Gendhis sadar, acara menginap yang batal tidak seharusnya menghentikan rencananya buat menyuruh Daisy memeriksakan kehamilannya. Dia lantas bergerak menuju laci meja rias. Di sana, disembunyikan alat pemeriksaan kehamilan yang tadi sore dia beli.
"Eh, apaan ini? Tespek? Kenapa dikasih ke aku?" tanya Daisy dengan wajah bingung. Gendhis kemudian tanpa basa-basi mulai mengoceh, "buat cek lah. Memangnya buat ngupil?"
"Ish, anak ini." Daisy hampir mencubit hidung Gendhis. Mau bagaimana lagi, dia selalu seperti itu. Tidak kepada abang, tetapi juga kepada iparnya. Hanya kepada Bunda Hanum dia tidak berani banyak berceloteh atau menanggapi, kecuali bila dia memang sudah kesal.
"Maksudku, kenapa mesti cek? Udah pakai pil juga."
Tuh, kan. Daisy sepertinya agak sedikit telmi soal kontrasepsi, pikir Gendhis. Padahal tadi jelas-jelas dari bibirnya dia telah mengatakan semuanya dan kemungkinan hamil tersebut tetap ada terutama bila di awal pernikahan dia dalam masa subur.
"Pas awal nikah nggak pakai pengaman sama sekali, kan? Kemungkinan kamu hamil besar banget."
Daisy menutup mulutnya dengan tangan dan raut panik sama sekali tidak bisa disembunyikan sehingga Gendhis pada akhirnya maju dan menarik tangan kanan iparnya, lalu meletakkan beberapa biji alat pemeriksa kehamilan berbeda merk di telapak tangannya.
"Paling bagus periksa pas bangun tidur. Jangan dibawa stres pokoknya, ya. Kalau rejeki, bentar lagi aku nimang ponakan."
Wajah Daisy lebih ke arah takut daripada bahagia. Dia bahkan yakin, saat ini bila ada yang menyenggol tubuhnya, dia bakal pingsan. Kata-kata suaminya beberapa minggu lalu seolah terngiang kembali dan Daisy nyaris tidak bisa bernapas.
"Cowok atau cewek, aku nggak masalah." Gendhis nyengir, "Tapi, kalau cewek, kayak ada teman lagi ngemal gitu, loh."
Pikiran Daisy malah tidak sampai ke situ. Saat iparnya mengoceh tentang bayi dan rencana masa depannya yang amat indah, dengan tangannya yang gemetar, Daisy menyentuh perutnya sendiri.
Kenapa dia bisa tidak sadar dengan semua kemungkinan itu? Tentang kehamilannya yang dia pikir belum tentu bakal terjadi. Dia sudah membaca, tentu saja, tetapi, kematian Kartika yang mendadak, pertengkaran mereka, patah hatinya Daisy atas sikap diam Syauqi membuatnya tidak bisa berpikir dengan jernih.
Iya. Dia bodoh. Dia tidak waspada. Tapi, banyak pasangan menikah belum juga dikaruniai keturunan hingga bertahun-tahun lamanya dan dia pikir, benih Krisna tidak mungkin setangguh itu. Toh, bahkan setelah lima tahun, Kartika juga tidak kunjung hamil.
Dia kena kanker, Des. Mbak Tika sudah sakit.
Di awal pernikahan mereka, Krisna tidak menggunakan pengaman dan mereka beberapa kali bercinta. Di hotel dan di rumah pria itu. Daisy sampai memejamkan mata karena teringat lagi kilasan peristiwa saat suaminya tidak memisahkan tubuh mereka begitu pelepasan pria itu tiba.
Mas Krisna selalu keluar di dalam.
Daisy menggigit bibir. Pria itu pasti sedang menunggunya di luar.
"Dhis, jangan kasih tahu Mas Krisna soal ini." Daisy cepat-cepat berjalan mengambil tas cangklong miliknya dan memasukkan alat pemeriksa kehamilan tersebut ke dalam tas dan berusah terlihat tenang semetara Gendhis sendiri memandanginya dengan wajah heran.
"Lah, kenapa? Anak juga dia yang bikin."
Bikinan bersama, sih, gumam Daisy di dalam hati. Tetapi, memikirkan hal tersebut membuatnya malu sendiri.
"Nanti, biar aku yang kasih tahu."
Gendhis sudah tahu kalau sebelum ini Krisna tidak berniat punya anak dari Daisy. Hal itu juga yang membuatnya sadar akan perubahan sikap pada iparnya. Meski begitu, setelah Daisy pamit, dia tidak lupa membubuhkan satu pelukan serta bisikan semangat dan doa kalau Krisna akan bersikap sebaliknya. Abangnya pasti akan merasa amat senang dan Daisy tidak perlu mencemaskan hal tersebut.
Meski begitu, Daisy hanya mengurai senyum saja. Dia belum terlalu mengenal suaminya, tetapi tahu, kalau selama ini, Krisna Jatu Janardana tidak pernah main-main dengan kata-katanya.
Dia tidak siap hamil untuk saat ini. Tetapi, tidak menolak jika Yang Maha Kuasa memberinya kesempatan. Hanya saja, dia tahu, bila suatu saat terjadi, dia harus memilih, maka janin di dalam perutnya adalah yang paling utama, bukan suaminya.
Karena dia tahu, sekuat apa pun perasaan cintanya kepada pria itu, pada akhirnya, Krisna akan pergi dan memilih kembali kepada cinta pertamanya.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top