43
Masih bacak? Yang ga sabar ke KK atau KBM app yes.
***
43 Madu in Training
Daisy masih berada di panti ketika dia mendapat panggilan telepon dari Gendhis yang memintanya ikut hadir ke rumah keluarga Janardana. Saat itu sudah hampir satu minggu dari kejadian di hotel dan Krisna serta Daisy sendiri sudah kembali ke rumah. Tapi, sewaktu Daisy mengatakan kalau acara arisan yang diadakan di rumah ibunya bukanlah acara keluarga, Gendhis mengoreksi.
"Arisan di rumah Bunda itu selalu ngumpulin massa. Biasanya, Bunda, kan, suka pamer. Entah berlian baru, pajangan kristal baru, hadiah tas LV apalah dari Mbak Tika sama dua anak perempuannya. Nah, sekarang, Mbak Tika udah nggak ada. Aku nggak ada teman."
Wah, bila Bunda Hanum seperti itu, Daisy yang bukan apa-apa ini bakal dijadikan bulan-bulanan di depan para tamu. Dia tidak mungkin menunjukkan eksistensinya sebagai Duta Jendolan atau pamer sebagai level platinum salah satu konten kreator terbaik yang usianya paling muda se-Indonesia tahun 2020 kemarin kepada ibu mertuanya. Status dunia mayanya adalah rahasia perusahaan yang tidak boleh dia umbar, bahkan Krisna hanya tahu dia adalah seorang penulis kurang laku yang doyan bergadang. Dia, kan, belum pernah menerbitkan buku dan bila dicari ke toko buku paling terkenal pun, naka Daisy Djenar Kinasih tidak bakalan ada.
“Aduh. Aku nggak tahu kabar ini.” ujar Daisy ketika dia berjalan menuju kamar. Untung saat itu dia sedang bersiap hendak salat Zuhur.
“Mas Krisna nggak ngasih tahu kalau di sana ada acara.”
“Tumben. Biasanya dia selalu jadi yang pertama dihubungi Bunda kalau ada acara. Mbak Tika, kan, tamu kehormatan.”
Entah Gendhis sedang berusah sarkasme atau dia memang tidak tahu kalau sang ibu juga tidak suka-suka amat kepada menantu barunya, respon Daisy kepada Gendhis hanyalah, “Awas kalau kamu ke sini. Tak jewer kupingmu.”
Gelak Gendhis adalah tanda kalau hatinya amat senang melihat kakak iparnya susah.
“Udah nggak disayang emak, kamu juga nggak sayang aku. Bener-bener aku anak yatim terlantar, Mbak.”
Mereka berdua suka sekali menertawai kondisi masing-masing sejak dulu. Bila Kartika agak kurang suka karena orang tua meninggal adalah hal yang cukup sensitif, maka bagi Daisy dan Gendhis, hal itu merupakan pelipur lara karena mereka sudah putus asa untuk meluapkan kesedihan yang karatan. Jika Kartika sedih, dia punya Krisna untuk bersandar. Sementara, Daisy dan Gendhis hanya punya satu sama lain dan mereka jijik sekali harus berpelukan mesra seperti yang dilakukan Krisna kepada Kartika.
“Halah. Ratu drama kamu. Sudah makan, belum? Mampir sini. Mas Syuqi milad.”
“Terus, kalau dia milad, aku mesti jingkrak-jingkrak?”
Daisy tidak tahu kenapa, tetapi Gendhis selalu emosional jika dia menyebut nama Syauqi di hadapannya, seolah dia amat membenci pria itu. Dulu, sebelum menikah dengan Krisna, Gendhis tahu kalau Daisy amat menyukai pria itu. Dia dengan jelas menentang dan mengatakan kalau Syauqi tidak sebaik kelihatannya. Di depan orang-orang terdekatnya, dia tampak alim dan sopan. Jika jauh dari panti dan yayasan, kedok aslinya akan kelihatan jelas dan hal tersebut mengundang perdebatan antara Daisy dengan dirinya.
Seolah Deja Vu, kejadian sama pernah terjadi antara Daisy dan Kartika. Bedanya, jika Krisna jadi amat membenci Daisy karena perbuatan itu menyebabkan reputasinya anjlok di mata istri dan saudara perempuannya, maka Syauqi menganggap ketidakcocokan antara dirinya dan Gendhis bukanlah suatu masalah. Dia tidak peduli bila Gendhis tidak terlalu senang kepadanya. Sejak awal malah banyak yang meragukan Syauqi hadad yang tidak sekeren Anton Hadad, adiknya yang sukses menjadi salah seorang foto model. Dunia yang dipilih oleh Syauqi adalah dunia yang membuatnya harus bekerja keras demi kebahagiaan anak-anak asuhnya bukan untuk urusan duniawi.
“Bukan begitu,” Daisy mengoreksi. “Artinya ada banyak makanan di sini. Ada tumpeng sama bihun goreng kesukaanmu. Tadinya mau kubawa pulang. Tapi, Mas Krisna jarang makan di rumah.”
Daisy dan Krisna memang sudah berdamai. Mereka pun tidur di ranjang yang sama meski masih di kamar Gendhis. Tetapi, Krisna masih belum sanggup makan masakan Daisy dan mereka lebih banyak makan di luar atau layanan pesan antar. Krisna sempat meminta maaf karena setiap dia melihat Daisy masak, hati dan jiwanya masih merasa melihat Kartika. Buat Daisy sendiri hal itu tidak merupakan masalah. Baginya, menjadi istri tidak saklek mesti memasak buat suami. Dia juga sadar diri, mungkin masakan buatannya tidak enak-enak amat sehingga Krisna lebih memilih makanan luar. Toh, jika tidak Krisna, masih banyak yang menikmati dan tidak jarang memuji masakannya, seperti yang dilakukan oleh anak-anak panti yang dia asuh. Buat Daisy, hal itu lebih dari cukup.
“Lah, kalian masih berantem? Bukannya kemarin bulan madu di hotel?”
Jika bukan karena Gendhis hendak berkunjung ke rumah dan Daisy serta Krisna masih berada di hotel, tidak bakal dia memberitahu iparnya tersebut. Bahkan, Gendhis yang melakukan panggilan video saat itu nyaris berteriak karena wajah krisna muncul di layar hanya memakai kolor amat pendek dan mengatakan kalau dia mengganggu acara bulan madu sang kakak. Jadi, gara-gara itu juga, Daisy berpikir kalau hari-harinya sudah dikelilingi manusia aneh. Mulai dari Fadli dan juga Gendhis yang bukannya memarahi Krisna karena dandanannya yang dinilai memalukan buat pria yang mulanya benci sang istri, malah mendukung abangnya buat balas dendam sesuka hatinya sehingga bila kembali dari hotel, dia mendoakan mereka berdua bakal membawa hadiah paling indah dari Yang Maha Kuasa.
"Nggak berantem," Daisy berusaha melonggarkan tenggorokan yang entah kenapa terasa kering kerontang. Dia saat itu sudah duduk bersila di pinggir kasur dan bersyukur ketika melihat secangkir plastik air minum kemasan di atas meja rias lapuk yang berada tidak jauh dari posisi duduknya saat ini.
"Cuma, dia masih belum bisa terima …"
"Halah, sodokin aja ke mulutnya, Mbak. Dia memang gitu dari dulu. Buktinya, nagih jatah bawah perut mulu, kan? Mas Krisna, tuh, cowok paling muna' yang pernah aku kenal. Bilang masih berduka, lah, sedih, lah. Toh, nurunin celana kamu terus, toh, tiap malam?"
Dasar perawat sinting. Tidak tahu bagaimana nasib para pasien yang berada di bawah penanganannya. Daisy berharap jantung mereka semua kuat saat berinteraksi dengan Gendhis. Agak salah juga bercerita kepadanya kalau dia dan Krisna sudah melewati malam pertama hingga ke sekian mereka. Untung saja, Gendhis tidak meminta detil adegan sehingga dia merasa masih mencintai iparnya sebagai sahabat yang tidak rese. Tapi, meski begitu, Daisy berharap Gendhis bicara tidak seceplas-ceplos ini bila berkaitan dengan ranjang. Bagaimanapun juga, dia, kan, masih perawan.
"Soal makanan mungkin ada momen emosional, Dhis. Aku nggak mau maksa. Tapi, kami mulai sering makan bareng. Nggak kayak pertama dulu."
Daisy masih menahan diri untuk tidak memaksakan kehendak kepada Krisna. Bagaimanapun juga, dia sendiri sedang belajar memahami suaminya sendiri. Dia telah mengamati banyak anak asuhnya yang memiliki beragam sifat dan walau dia berusaha menyamaratakan mereka semua, nyatanya, mengambil hati Jelita, Nirmala, atau Dwi tidaklah sama. Ada yang mesti disogok dengan ciki, ada yang mesti diberi pujian, atau juga dengan peringatan. Karena itu, dia tahu, merawat suaminya juga tidak sama. Orang dewasa memiliki masalah lebih rumit dari sebungkus ciki dan hidup mereka tidak semudah jalan cerita di sinetron atau curhatan emak-emak di akun Facebook yang bila menemukan suami mereka marah langsung balas emosi, memaki dengan seluruh isi penghuni kebun binatang, atau yang paling umum, minggat dan minta cerai.
Andai semudah itu, Daisy yakin, akan ada banyak sekali wanita menjadi janda karena alasan tidak cocok dengan suami mereka. Lagipula, dia masih belajar dan rumah tangga masing-masing orang tidak sama meski manual dan cara memahami mereka banyak tersedia di toko buku, bahkan diajarkan di pesantren dengan judul Qurrotul Uyun.
"Yah, terserah Mbak aja." Gendhis berusaha bersikap profesional meski di dalam hati, dia geli membayangkan abang dan sahabatnya makan dua-duaan di restoran, sementara mereka dulu benar-benar bagai anjing dan kucing.
"Pokoknya, bentar lagi aku ke sana. Mesti ikut."
"Tapi, aku belum bilang masmu, loh. Kalau katanya ndak boleh …"
Gendhis mengoceh tidak jelas, perpaduan antara ucapan Krisna pasti bakal mengizinkan kalau itu menyangkut sang bunda yang baginya adalah belahan jiwa dan bila Daisy menelepon pria itu, dia sudah pasti bakal kena marah karena seharusnya Daisy berangkat sejak subuh bukannya lewat tengah hari seperti ini.
"Ngawur. Aku tanyain dulu, deh." balas Daisy setelah dia pamit dan memutuskan panggilan kepada Gendhis. Setelahnya, Daisy cepat-cepat membuka pesan WA. Krisna biasanya sedang istirahat dan dia memberanikan diri untuk berkirim pesan. Beberapa waktu yang lalu, atas inisiatifnya, Krisna mengirim WA kepada Daisy. Wanita muda itu bahkan tidak percaya dengan penglihatannya. Tetapi, meski begitu, Daisy amat membatasi interaksi mereka karena dia pernah sekali bertanya apakah Krisna mau makan nasi goreng buatannya yang kemudian dilihat saja tanpa diberi jawaban.
Yah, untuk bagian itu, dia kurang begitu beruntung. Tetapi, Daisy tidak ambil pusing. Biarlah kata pepatah, ambil hati suamimu lewat perutnya, tidak berlaku untuk dirinya
Yang penting, ketika Daisy membuka jilbab dan gamis di depan Krisna, dia langsung gelisah bak cacing disiram air panas. Itu saja, sudah lebih dari cukup untuk membuat isi kepala pria itu hanya memikirkan Daisy selama beberapa saat.
Assalamualaikum. Dhis mau jemput Desi ke rumah Bunda. Boleh?
Tidak perlu basa-basi seperti pesan WA pasangan mesra lainnya. Tujuan Daisy mengirim pesan tersebut bukan untuk menggoda suaminya melainkan untuk mengonfirmasikan bahwa Gendhis sudah dalam perjalanan siap menculiknya lantaran tidak mau mati gaya sendirian di rumah sang bunda. Sebagai sahabat yang amat baik, Gendhis tanpa ragu mengajak Daisy ikut mati bersamanya. Padahal, seharusnya, sahabat yang baik mendukung satu sama lain, bukan seperti persahabatan mereka.
Krisna tidak membalas bahkan setelah Daisy menunggu tiga menit. Boro-boro membalas. Saat ini bahkan, pesan tersebut belum dibaca oleh suaminya. Daisy kemudian sadar, kemungkinan besar Krisna salat Zuhur terlebih dahulu dan gara-gara itu juga, dia kemudian bergegas menarik mukena dan hendak melaksanakan Zuhur yang tertunda.
Jangan kalah sama Mas Krisna. Dia nggak mau ajak aku ke surga karena udah ditunggu Mbak Tika, ya, nggak masalah. Yang penting, aku bisa berangkat sendiri ke sana.
Daisy tertawa geli menanggapi kata-katanya sendiri, seolah-olah dia sedang mengucapkan sebuah sarkasme yang di awal pernikahannya dengan Krisna, sempat jadi pembahasan. Gara-gara itu juga, Daisy sampai berniat hidup tanpa bantuan suaminya sama sekali. Bahkan, hingga detik ini, uang pemberian Krisna masih berada di dalam amplop, di atas lemari es, tidak dia sentuh sama sekali.
Toh, segala tagihan seperti listrik, PAM, internet juga didebet langsung dari rekening suaminya dan Daisy tidak mau makan pemberian pria itu jika Krisna juga tidak sudi menerima pengabdiannya.
Walau begitu, anak kos di rumah Krisna Jatu Janardana alias Daisy Djenar Kinasih itu merasa dadanya sedikit nyeri. Mereka berdua seolah sedang main drama bohong-bohongan berkedok rumah tangga yang mungkin hanya bertahan karena satu penyangga, bernama se*s. Krisna membutuhkannya agar hasrat pria itu tersalurkan sementara Daisy sendiri, demi janji kepada Kartika dan anggapan Krisna bakal menendangnya jauh-jauh bila suatu hari pria itu menemukan tambatan hati yang sepadan dengan dirinya.
Toh, statusnya masih sama dengan hari pertama setelah dia dinikahi siri oleh Krisna. Tidak ada diskusi lebih lanjut dari suaminya tentang mengumpulkan berkas-berkas yang diperlukan untuk mendaftar ke KUA semisal kartu keluarga, fotokopi KTP, akta kelahiran, surat pengantar. Tidak ada. Mereka hanya menjalani rutinitas mirip orang pacaran, tanpa buku sah, tapi boleh sepuasnya memadu kasih. Selain itu, bila nanti Daisy hendak menggugat nasibnya ke hadapan pengadilan, dia tidak bakal bisa maju. Tidak ada bukti yang menunjukkan dia adalah istri kecuali kesaksian Fadli dan seorang penunggu pasien di kamar sebelah ketika Kartika dirawat.
Oh, iya, ustadz yang menikahkan dan kedua kakak ipar Krisna juga, dan Bunda Hanum serta Gendhis, tentu saja. Tetapi, di antara mereka semua, paling banter hanya Gendhis yang akan berjuang paling depan untuk meyakinkan semua orang kalau Daisy, juga bagian dari hidup Krisna yang seharusnya amat penting buat wanita itu.
Walau, semakin dia memandangi pesan Krisna hingga berjam-jam kemudian, usai dia duduk seperti orang bodoh di depan ember cucian piring rumah keluarga Janardana, Daisy tahu, asumsi tersebut belum sepenuhnya benar. Malah, lebih terkesan seperti pepesan kosong.
Krisna hanya memanggilnya sayang ketika tubuh mereka bersatu, agar Daisy tidak lagi marah saat pria itu menyebutkan nama mantan istrinya yang sudah lebih dulu menghadap Yang Maha Kuasa.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top