42
42 Madu in training
Krisna yang kembali ke kamar sekitar pukul dua belas untuk menjemput Daisy makan siang di restoran hotel agak sedikit kaget ketika menemukan kalau butuh beberapa puluh detik bagi istrinya untuk membuka pintu kamar, padahal dia sudah jelas-jelas memberi tahu bahwa yang datang dan mengetuk pintu adalah dirinya sendiri. Daisy yang saat itu mengenakan mukena, memandangi Krisna dengan wajah pucat dan sempat mengintip ke arah lorong koridor hotel sebelum akhirnya meminta Krisna untuk cepat masuk kamar.
"Udah salat? Kita makan ke bawah, ya? Aku lapar."
Kali ini, Krisna sempat memeluk pinggang istrinya dan membubuhkan sebuah kecupan hangat di dahi Daisy, sebagai pertanda kalau hubungan mereka semakin membaik. Sayangnya, Daisy tidak seantusias Krisna yang berharap dia mau mengabulkan keinginannya.
"Makan di kamar aja, boleh? Gurame kemarin masih ada di kulkas."
Yang benar saja, pikir Krisna. Gurame sisa makan siang kemarin, terpaksa dimasukkan ke kulkas oleh Daisy saking tidak termakan lagi. Tapi, dalam kondisi seperti itu, Krisna tidak bakal sudi menyentuhnya. Siapa tahu ikan tersebut sudah menjadi fosil, penuh bakteri.
Pria itu lantas memandang ngeri kepada istrinya yang kini berjalan menuju ke arah kulkas. Tidak. Tidak. Krisna ogah makan benda itu.
Karena itu juga, dia lantas menarik pinggang Daisy menjauh dari kulkas lalu menggeleng.
"Nggak. Di bawah banyak makanan layak. Lo ikut turun."
Krisna bahkan membantu melepas mukena Daisy walau dengan segera, istrinya menolak. Wajahnya masih sepucat tadi dan Krisna sedikit penasaran.
"Aku di kamar aja, Mas. Susah jalan gara-gara kamu."
Benarkah? Krisna sampai memastikan pendengarannya tidak salah. Tetapi, Daisy yang saat itu memakai blus dan rok, terlihat baik-baik saja.
"Masak? Coba periksa, sini."
Daisy menepuk punggung tangan Krisna yang berusaha meraba-raba roknya. Bila dia menjelaskan tentang Fadli, takutnya, itu hanya perasaannya saja. Siapa tahu pria itu kelewat ramah dan tidak sadar kalau mulutnya memang bocor. Dia juga tahu seperti apa suaminya saat marah. Cukup tahu, karena malam pertama mereka terjadi karena Krisna dibutakan oleh amarah.
"Nggak usah. Nanti bukannya periksa doang. Tapi merambat ke yang lain."
Tangan Daisy saat itu sedang memegang lengan kanan Krisna. Wajahnya memerah menahan malu karena membayangkan perbuatan mereka berdua tadi malam.
"Lah, katanya sakit. Masak gue tega gituin lo."
Duh, rasanya dada Daisy yang panas karena melihat kelakuan gila Fadli, mendadak lumer seketika. Suara Krisna begitu lembut. Sayang, masih pakai gue-elo, pikir Daisy.
"Biasanya juga tega."
Daisy bicara dengan suara amat pelan. Tetapi, tetap saja Krisna bisa mendengar dan raut bersalah tampak di wajahnya. Dia bahkan merasakan sentuhan tangan kiri Krisna di punggungnya saat itu.
"Sori. Maafin gue, Des."
"Kayak nggak ikhlas gitu minta maafnya." Daisy berusaha tersenyum walau dia waspada dengan ucapannya sendiri. Meski semakin akrab, dia harus menjaga kata-katanya sendiri, Jangan ngelunjak, Des. Belum tentu dia senang kamu ngomong seperti itu.
Krisna amat berbeda bila dibandingkan dengan Fadli atau Syauqi. Dia tidak cengengesan setiap saat seperti Fadli, seolah ada hal yang selalu lucu buatnya, atau Syauqi yang setiap bicara selalu lemah lembut sehingga berhasil mencuri hati Daisy. Krisna di hadapannya saat ini seperti Pak Guru Killer yang meskipun menyebalkan, tetap saja harus dia datangi dan ambil hatinya demi mendapat nilai bagus saat bagi rapor.
Nggak sayang, nggak cinta, tapi masih dibutuhin, Daisy tertawa dengan batinnya sendiri.
Tapi, tumben-tumben dia terceplos mengatakan membutuhkan Krisna walau hanya di dalam hati. Biasanya, dia akan merasa masa bodoh, biarpun dia cinta atau tidak cinta.
"Iya. Maafin suami lo yang sudah nyebelin, jahat, nggak sayang."
Daisy merasa Krisna pegangan tangan Krisna di pinggangnya menjadi sedikit kencang. Tetapi, dia tetap bersikap biasa dan buat Daisy hal tersebut jauh lebih baik dibandingkan tidak sama sekali.
"Sekarang makan. Turun, yuk. Nggak enak makan di kamar. Baunya masih terasa walau kita udah nggak makan lagi."
Krisna memang benar. Apalagi, dia hanya menghabiskan waktu di dalam kamar tersebut selama berjam-jam. Meski begitu, dia yakin, bila jendela kamar dibuka, aroma apa pun bakal ikut terbang bersama angin.
"Mas." Daisy sempat memanggil Krisna yang saat itu masih memeluknya. Tetapi, mulutnya entah mengapa merasa kaku. Tidak terbayang nanti pada akhirnya Krisna yang bakal menyalahkan dia karena jelalatan memandangi perabot Fadli atau yang lebih parah, memfitnah sahabatnya.
"Kenapa?"
Agak aneh melihat Krisna mau memeluknya dan merespon panggilannya saat ini dengan senyuman. Meski begitu, Daisy merasa bersyukur kalimat yang tadinya hendak dia ucapkan kembali tertelan ke tenggorokan karena jika tidak, dia tidak tahu bakal membalas apa, terutama kalau tahu, respon dari suaminya belum tentu baik.
"Nggak. Nggak apa-apa. Cuma mau bilang terima kasih, sudah mau ke sini dan jemput aku buat makan siang bersama."
Krisna hanya memandangi wajah Daisy setelah beberapa detik sebelum akhirnya memutuskan untuk mengusap-usap puncak kepala Daisy yang siang itu belum dipakaikan jilbab.
"Dah, buruan. Gue lapar."
Wajah Krisna nampak aneh saat melepaskan pelukan dari tubuh istrinya. Tetapi dia tidak banyak bicara dan hanya memperhatikan langkah Daisy ketika wanita itu bolak-balik dari kamar menuju kamar mandi untuk mengambil jarum pentul yang tertinggal. Daisy sempat meminta maaf karena dia memakai jilbab dan gamis yang belum sempat dicuci karena baru dibeli dari toko tadi malam dan balasan Krisna hanyalah sebuah anggukan.
Dan satu hal yang tidak disangka oleh Daisy adalah ketika mereka keluar dan berjalan bersama melintasi koridor menuju lift, Krisna menggenggam tangan istrinya dan berkata, "Cepat sembuh, ya. Gue mau nambah dua hari di hotel ini soalnya."
Kurang asem. Padahal Daisy sudah baper ketika Krisna juga mengusap-usap punggungnya dan menatap wajah Daisy dengan pandangan amat khawatir. Tahunya, isi kepala pria itu tetap sama saja.
"Jangan dilepas." cegah Krisna begitu Daisy yang sebal, berusaha menarik tangannya dari tautan tangan sang suami, sementara Daisy, dengan bibir maju kemudian dengan gagah berani, menarik lengan Krisna lalu menggigitnya kuat-kuat hingga pria itu menjerit kaget.
"Lain kali, jangan pasang muka sok khawatir kalau ujung-ujungnya sama." Daisy berkacak pinggang dan siap membalas bila saat itu Krisna hendak memukul kepalanya atau sesuatu seperti itu. Namun anehnya, pria itu malah nyengir dan menarik tangan Daisy masuk lift begitu pintunya terbuka. Tak lupa, dia membubuhkan satu kalimat sebelum akhirnya pintu lift menutup dan Daisy membalas dengan sebuah cubitan sebal di pinggang suaminya.
"Siapa tahu malam nanti udah sembuh. Kan, nggak apa-apa berdoa. Aduuuuh."
"Doa yang cuma bikin kamu enak, Mas." gemas, Daisy membalas. Tidak tahu kenapa, hal kecil seperti ini seolah sanggup membuatnya melupakan kekesalan lantaran Fadli tadi dan dia tidak mengerti, memandangi wajah Krisna yang mulai mau tersenyum kepadanya telah membuat sudut-sudut kecil di hati dan perutnya berdenyut-denyut aneh.
Tapi, setelahnya, cepat-cepat Daisy menghela napas dan terus memperingatkan diri kalau dia tidak boleh terhanyut.
Jangan baper, Desi. Mas Krisna memang sudah bilang maaf, sudah mau senyum dan pegang tanganmu. Tapi, kamu jangan lupa. Buatnya, cuma ada satu wanita dan wanita itu bukan kamu. Hatinya, jiwanya, milik Mbak Tika.
Jangan sekali-kali kamu anggap dia tersenyum karena suka. Tetapi, karena dia mulai berdamai dengan kehidupannya.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top